Rabu, 29 Januari 2014

Merebut Kembali Idealisme yang Terbiaskan



Realita bangsa yang begitu memprihatinkan hari ini nampaknya masih menunggu waktu yang sangat lama untuk menemui titik terang ke arah perubahan yang lebih baik.  Pasalnya, semua komponen yang menjadi organ penyusun tubuh negeri ini nampak sedang sakit. Birokrat dan penguasa yang korup, kapitalis yang licik dan rakus, aparat yang represif dan tidak bertanggungjawab, pendidik yang tidak berdedikasi, dan sebagainya. Yang nampak hanya rasa pesimis disana- sini seakan semua telah kehilangan harapan dan kepercayaan akan adanya masa depan yang manis di hari esok.

Dalam pelik fenomena itu sesungguhnya mahasiswa hanya sebagian kecil saja dari bangsa yang besar ini. Namun keberadaannya menjadi sangat berarti serta menjadi tumpuan harapan ketika kita mengingat peran, fungsi dan posisi mahasiswa yang sangat strategis dalam tatanan kehidupan masyarakat. Posisi strategis mahasiswa ini penulis maknai bukan hanya dari segi hakikat secara terminologi dan kondisi ideal saja, namun lebih lanjut kepada tanggungjawab moral serta konsekuensi logis yang diemban.

Secara ideal, sebagai insan akademis, mahasiswa memiliki konsekuensi untuk mengembangkan jiwa pembelajar sejati agar dapat terus mengembangkan diri sehingga menjadi generasi yang tangguh dan mampu menghadapi tantangan masa depan. Jiwa pembelajar sejati akan memunculkan peran selanjutnya dengan mengikuti watak ilmu itu sendiri. 

Manusia yang telah tercerahkan oleh terang ilmu pengetahuan pada hakikatnya akan selalu resah serta cenderung pada kebenaran sebab sukmanya selalu mendorong untuk menyelesaikan kezaliman- kezaliman penguasa yang belum tuntas diselesaikan. Manusia berilmu itu selayaknya sanggup berdiri sendiri dengan lapangan ilmu pengetahuan sesuai dengan bidang yang ditekuni dan dipahaminya, baik secara teoritis maupun teknis. Hal ini dapat dicerminkan pada sikap peka dan peduli pada realita- realita sosial dan perilaku tidak merugikan baik bagi dirinya dan lingkungan sekitar.

Namun, Realita yang ada nampaknya masih jauh dari idealisme yang kita miliki. Peran, fungsi, dan posisi yang semestinya terwujud nyata dalam kemahasiswaan kita masih hanya terbatas kata dan belum mengejawantah dalam wujud perilaku keseharian. Dunia kampus kini justru akrab dengan sikap apatis, individualis, pragmatis, serta yang paling tidak terelakkan yakni hedonisme yang secara nyata tercermin dalam kultur intelektualitas, moralitas, dan produktifitas yang melemah. Terlepas dari pengaruh eksternal yang mempengaruhi kondisi kemahasiswaan kita, kita menyadari bahwa akar semua permasalahan itu ada di subjek utamanya yaitu mental mahasiswa itu sendiri. Seperti ungkapan “educate brain, educate mind, without educate the heart is blind”. Semua itu berawal dari ketidaksadaran kita terhadap peran, fungsi, dan posisi kita sebagai mahasiswa.

Kali ini, penulis akan mencoba menguraikan materi Orientasi Studi Kehidupan Mahasiswa (OSKM) ITB yang menurut penulis sangat bagus untuk diterapkan di kampus- kampus lainnya. Materi tersebut menjelaskan mulai dari memahami esensi hidup, pembentukan paradigma manusia pembelajar, penyadaran kembali tiga potensi dasar manusia, integritas, realita bangsa, posisi peran dan fungsi mahasiswa, dan berujung pada semangat kontribusi yang harus dimiliki oleh masing- masing pribadi, utamanya mahasiswa sebagai tonggak perubahan bangsa.

Mahasiswa kita perlu disadarkan kembali akan esensi mereka hidup di dunia ini. Sebab, kesadaran akan esensi hidup adalah awal dari pembelajaran yang sesungguhnya bagi seorang manusia. Kesadaran akan makna dan hakikat hidup merupakan akar dan sebab bagi kesadaran- kesadaran yang lain. Juga awal dari pembangunan paradigma sebagai manusia pembelajar. Hidup yang sejati adalah hidup yang dijalani dengan sungguh- sungguh dan sempurna, yang didalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan kecakapan- kecakapan dan memenuhi keperluannya. Manusia yang hidup berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kegiatan- kegiatan yang membawa perubahan kearah kemajuan- kemajuan baik yang mengenai alam maupun masyarakat yaitu hidup berjuang dalam arti yang seluas- luasnya (Al- Ankabut (29) :6). 

Namun seringkali manusia kehilangan hal tersebut disebabkan kehidupan yang sangat materialis. Manusia berubah menjadi robot-robot rutinitas yang menyebabkan manusia kehilangan makna. Hidupnya mengalir dan berputar seperti mesin pabrik. Hal tersebut penulis analisa disebabkan pula oleh sistem pendidikan yang mekanistik dan dikebiri sekedar hapalan rumus dan ujian yang bersifat formalitas belaka. Ironis, tanpa kita sadari, sistem yang kita buat sendiri justru menyebabkan hilangnya potensi manusia sehingga berujung hilangnya semangat kontribusi itu sendiri.

Jika kita menengok sejenak pada Tri Dharma Perguruan Tinggi maka kita akan sampai pada hakikat kemanusiaan mahasiswa. Kita akan mendapati tiga tujuan luhur Perguruan Tinggi yang terdiri dari Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengngabdian Masyarakat. Tiga tujuan yang telah terangkum ini sebenarnya memiliki makna yang dalam bahwa menjadi kaum elite akademis sebenarnya adalah kembali menjadi bagian dari masyarakat. Bagaimanapun kita harus menyadari bahwa kita adalah satu kesatuan dalam sebuah entitas kehidupan, tidak memisahkan diri dari mereka yang seringkali dianggap berada di luar lingkaran.

Bukti- bukti bahwa mahasiswa kita seringkali melupakan kedudukannya sebagai bagian dari masyarakat adalah era pragmatis yang saat ini kita hadapi. Misalnya adalah pada pendanaan Program Kreativitas Mahasiswa. Kucuran dana dari Kementrian Pendidikan Nasional yang jumlahnya mencapai angka triliun pertahun bahkan menjadi pengeluaran terbesar tiap tahunnya itu terlihat hanya Nampak sebagai pemborosan anggaran belaka tanpa goal- setting yang pasti. Program- program tersebut sebagian besar tidak banyak membawa dampak yang signifikan bagi masyarakat dikarenakan terhenti di tengah jalan. Banyak yang dikerjakan hamper tanpa dedikasi yang disertai ketulusan untuk mengabdi. Paradigma matrealis dan pragmatis telah melekat pada jiwa- jiwa mahasiswa yang berorientasi pada pendanaan yang mencapai 10 juta rupiah per judul tersebut.

Masalahnya disini adalah bukan pada program- program yang ditelurkan. Melainkan pada mental mengabdi itu sendiri. Jika kesemuanya dari para pemegang kekuasaan masih berorientasi pada prokeristik tahunan semata, maka sampai kapanpun bangsa ini tidak akan berubah.

Paparan yang penulis sampaikan berujung pada sebuah harapan yakni munculnya laboratorium- laboratorium baru untuk mahasiswa kita merebut idealisme yang sementara ini terbiaskan karena beberapa nilai yang tidak sesuai untuk diinternalisasikan di republik kaya raya ini. Jika mahasiswa Fakultas MIPA memiliki laboratorium riil untuk mereka bermain- main dengan larutan dan tabung reaksi, maka bagaimana dengan mahasiswa dari disiplin ilmu yang lainnya? Selama ini mereka telah cukup disibukkan dengan diktat dan teori. Mereka butuh laboratorium untuk menguji ilmu yang telah mereka serap sehingga ketika lulus kita tidak lagi miris dengan pemandangan antrian jutaan mahasiswa di Job Fair atau pameran- pameran pekerjaan yang juga dijual seharga tiket masuknya.

Mahasiswa kita butuh laboratorium riil untuk mereka membayar hutang janji tri dharma paling tinggi yakni pengabdian terhadap masyarakat tanpa orientasi apapun. Sudah saatnya mahasiswa Fakultas Keguruan turun untuk mendesain kurikulum sendiri di pelosok- pelosok kampung pinggiran, mengajar anak- anak dengan penuh suka cita, menyaksikan mereka berprestasi tanpa tendensi sekedar sepuluh juta. Sudah saatnya mahasiswa Fakultas Kedokteran mencari peluang untuk menyelesaikan persoalan gizi buruk juga mengatasi kasus masyarakat yang tak memiliki dana untuk berobat. Sudah saatnya mahasiswa Hukum turun ke masyarakat mencoba mengamati regulasi- regulasi yang selama ini meresahkan. Serta para mahasiswa Fakultas Ekonomi yang sangat dinantikan masyarakat untuk menjawab persoalan kemiskinan karena setiap harinya kita digerus pasar bebas globalisasi.

Laboratorium- laboratorium itu hendaknya lahir dari pemikiran mahasiswa sendiri sebagai akibat dari keresahan mereka melihat ketidakadilan di sekitar mereka. Itulah yang penulis sebut dengan perebutan kembali idealisme yang terbiaskan. Terbiaskan oleh nilai pembenaran nisbi, kapital dan serangan mental melalui media virtual. Negeri ini tak butuh lagi para manusia banyak bicara, tapi miskin kontribusi. Begitupula tidak kita butuhkan lagi para manusia yang sekedar banyak bertindak namun sedikit sekali untuk berfikir. Sebab mahasiswa adalah asset mahal yang dimiliki bangsa ini. Kembalilah!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar