Jumat, 19 Agustus 2011

3 good : Konsep Pendidikan berbasis Komunitas menuju Wanita Ideal


Pondasi perbaikan bangsa adalah perbaikan keluarga dan kunci perbaikan keluarga adalah perbaikan kaum wanitanya. Karena wanita adalah guru dunia, dialah yang menggoyang ayunan dengan tangan kanannya dan mengguncang dunia dengan tangan kirinya ( Hasan Al Banna)
Potret yang menggambarkan sosok wanita “beauty inside beauty outside” di negeri ini nampaknya masih jauh dari ideal walaupun konsep emansipasi dari R.A Kartini sudah dikenal lebih dari seabad lalu. Pasalnya, karakter yang tercitrakan dari banyak sinetron dan film di Indonesia adalah wanita sang tokoh utama dengan nasib yang kurang beruntung dengan hari- hari yang diliputi air mata. Si wanita dengan pasrah menerima takdir serta meratapi penderitaannya yang tiada henti sembari berkhayal datangnya si pangeran penolong yang diakhir kisah dipastikan akan menjadi jodohnya.
Jika dibandingkan dengan film- film bollywood misalnya, kisah- kisah yang mereka hadirkan jelas lebih berkarakter. Dalam film bollywood, jika ada tokoh anak laki- laki yang jahat, kriminalis atau kerapkali mengganggu lingkungan pasti mereka tetap tunduk dan sayang  pada ibu mereka. Ya, karakter film bollywood adalah menempatkan perempuan pada strata tertinggi yang dihormati. Berbeda dengan film- film dalam negeri yang seringkali menokohkan ibu sebagai pribadi lemah, bodoh dan bebas dihujani sumpah serapah bahkan siksaan fisik.
Padahal, jika menilik kutipan dari Hasan Al Banna diatas, konsep diri dari wanita jelas luar biasa. Perumpamaan “menggoyang ayunan dengan tangan kanannya dan mengguncang dunia dengan tangan kirinya” berarti wanita memiliki kekuatan ganda yang bahkan tidak dimiliki kaum lelaki. Wanita dengan penuh kasih tetap melakoni kodratnya sebagai calon ibu. Di sisi lain, juga harus tetap cerdas, kritis, independen dan menjadi pembelajar sejati agar dapat mengguncang dunia dengan pemikiran yang revolusioner.
Sayangnya, wanita- wanita lemah seperti yang ditokohkan diatas juga benar adanya di dunia nyata. Tingkat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kasus kekerasan terhadap istri di Indonesia masih tinggi. Demikian kesimpulan dari catatan tahunan kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2010 yang dikeluarkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Selain karena paradigma publik yang sudah terpengaruh dampak media seperti sinetron dan film, sosiologi budaya dan masyarakat memberikan sumbangsih besar dalam pembentukan konsep diri wanita. Di Jawa sendiri misalnya, istilah 3 M “masak, macak, manak” yang menyimbolkan bahwa tugas wanita hanya terdiri dari tiga hal yaitu memasak, berdandan dan melahirkan keturunannya terlampau melekat erat terutama dalam kehidupan di sudut- sudut daerah.
Penulis sendiri bukannya tidak setuju dengan tautan diatas, namun alangkah lebih baik jika kita mampu memberikan makna yang lebih mendalam. Wanita idealnya memang berada dalam koridor ibu rumah tangga yang wajib pandai memasak dan berdandan untuk suami, namum kaitannya dengan manak, ia juga merangkap peran sebagai ibu yang berkewajiban tidak sekedar menyusui. Lebih dari itu, pesan moral dari manak saya pahami sebagai kewajiban sang ibu dalam memberikan pendidikan mulai dari ayunan hingga kelak sang anak menemukan jalan hidupnya sendiri. Peran sebagai guru primer inilah yang menyebabkan mengapa pendidikan kewanitaan menjadi penting.
Kartini, pahlawan emansipasi wanita mendirikan sekolah wanita atas keprihatinannya terhadap wanita- wanita pribumi yang susah mendapat pendidikan formal. Namun, sekolah yang dibangun Ibunda Kartini hanya berkisar pada tataran kognitif  dan belum mampu membangun karakter positif sebagai bekal wanita ideal. Konsep Woman’s school yang penulis tawarkan adalah buah dari ketertarikan penulis menilik konsep wajib militer di Korea Selatan yang diwajibkan bagi kaum pria selama dua tahun dengan batas tempuh pendidikan maksimal usia 30 tahun. Kondisi negara yang rawan konflik merupakan cikal bakal diselenggarakannya wajib militer tersebut. Hal yang diharapkan adalah sewaktu- waktu apabila negara dalam keadaan gawat, posisi lelaki sebagai kepala keluarga minimal dapat menjadi pemimpin yang mengarahkan mulai dari komunitas paling kecil yaitu keluarga ataupun dirinya sendiri.
Konsep 3 good
Woman’s school yang berarti sekolah wanita gagasan penulis memiliki dasar konsep 3 good yang terdiri dari Good wife, good mother, dan good agent. Woman’s school memiliki konsep berbasis komunitas, tujuannya adalah untuk mewadahi latar belakang serta karakter yang beragam.
Implementasi konsep good wife berarti woman’s school mengajar bagaimana peran wanita seharusnya kelak dalam menjadi seorang istri. Ketua Komisi Pemantauan Komnas Perempuan, Arimbi Heroepoetri  menyatakan bahwa penyebab terus meningkatnya tingkat kekerasan terhadap perempuan diantaranya disebabkan adanya relasi kuasa yang timpang antara perempuan dan laki-laki serta perangkat hukum yang ada belum maksimal melindungi perempuan dari kekerasan. Selain itu, para pejabat publik juga belum memiliki perspektif gender yang baik.
Oleh karenanya, konsep good wife akan diimplementasikan dengan pendekatan individu maupun pendekatan sosial. Pendekatan individu penting menilik perannya untuk memberikan pemahaman agama tentang kewajiban- kewajiban wanita terhadap suami. Nilai- nilai agama terutama agama islam adalah pendidikan terbaik sebagai media pembelajaran bagaimana seharusnya menjadi istri yang tidak hanya cantik dalam mengurus pekerjaan rumah tangga tetapi juga cantik dan bersinar di mata suami secara fisik. Oleh karenanya, di dalam kurikulum juga diajarkan bagaimana berdandan dengan cantik oleh komunitas ibu yang paham tentang rias dan kosmetik.
Konsep good mother  mengajarkan bagaimana seorang wanita menjadi seorang ibu yang baik, termasuk di dalamnya menjadi sosok pendidik profesional bagi anak- anaknya. Bimbingan belajar sebaiknya tidak hanya diberikan kepada si anak namun kepada ibunya. Menjamurnya jasa bimbingan belajar anak usia sekolah dimanfaatkan oleh para orang tua sebagai media untuk mendidik putra-putri dengan alasan bahwa mereka tidak mampu mengikuti perkembangan pendidikan putra-putri yang semakin pesat. Dorongan kepada ibu untuk mengawasi pendidikan putra-putri setidaknya dengan mengambil langkah pengawasan ulangan harian anak, jadwal mata pelajaran, bahkan turut serta mengamati perkembangan kurikulum pendidikan anaknya perlu ditingkatkan.
Terakhir tetapi juga konsep paling penting yakni konsep good agent yang mengajarkan bagaimana kaum perempuan harus menjadi agen utama dalam memperjuangkan cita- citanya sendiri. Secara konseptual seorang suami adalah kepala keluarga yang memiliki tugas mencari nafkah dan sebagai pengambil keputusan dalam setiap kesepakatan yang terjadi dalam keluarga. Serta tugas yang melekat dalam peran sebagai istri adalah sebagai pengurus rumah tangga yang diharuskan memiliki kuantitas waktu yang banyak untuk menjaga keutuhan keluarganya. Dalam perannya untuk ‘macak, masak, manak’ seorang wanita tidak diidentikkan dengan pencapaian cita-citanya sendiri. Penanaman ideologi mengenai pentingnya wanita yang memiliki pondasi cita-cita terhadap dirinya sendiri untuk menjadi wanita yang tangguh, memiliki kelebihan tersendiri yang dianggap spesial selain sebagai istri yang hanya bisa dandan, memberikan suguhan makan untuk keluarga serta merawat anak-anaknya saja.
Melalui basis komunitas, implementasi konsep good agent akan menjadi lebih mudah dan efektif untuk memberdayakan para ibu yang memiliki pekerjaan tetap maupun generasi muda dan para ibu yang belum produktif. Misalnya, komunitas wanita yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang akan belajar bagaimana memberikan inovasi pada usaha yang telah dirintisnya. Generasi putri yang memiliki hobi menulis misalnya dapat belajar bersama komunitas penulis. Demikian pula golongan yang belum produktif dapat memperoleh pendidikan tentang pengembangan industri kreatif skala mikro, misalnya.
Woman’s School
Dalam konsep sekolah wanita ini perlu adanya pendekatan lewat kader-kader yang dianggap mampu untuk menyalurkan pendidikan karakter kepada para ibu. Sayangnya, di Indonesia tidak ada badan yang memiliki kekhususan dalam program pengembangan karakter wanita. Jika ada Lembaga Swadaya Masyarakat yang kadangkala peduli terhadap pendidikan perempuan mungkin kurikulum yang diberikan belum terintegrasi dengan baik sehingga memerlukan adanya revitalisasi.
Untuk itu penulis menggagaskan ide untuk pengadaan wajib terdidik kepada para wanita. Dalam implementasi yang nyata, cara pandang pikir masyarakat tergantung dari cara pandang idolanya seperti yang telah dijabarkan penulis di paragraf awal penulisan. Memanfaatkan keberadaan ibu-ibu PKK di desa atau dukuh setempat ataupun tokoh masyarakat setempat sebagai kader-kader yang akan berpengaruh pada perubahan di desanya sendiri. Melalui kader-kader yang notabene lebih dekat kepada masyarakat, selain itu pendekatan mereka sebagai orang-orang yang diidolakan oleh masyarakat dan memiliki pengaruh terhadap cara pandang masyarakat diharapkan akan mampu membentuk konsep 3 good melekat pada ibu-ibu di masyarakat tanpa mengesampingkan peran kuat seorang suami dalam sebuah keluarga.
Kita semua menyadari bahwa peran wanita dalam sejarah masa lalu telah banyak berbicara tentang kehidupan yang seimbang, kemerdekaan bahkan kesuksesan tokoh- tokoh besar di dunia ini. Maka selayaknya konsep pendidikan tentang pengembangan karakter wanita ideal patut menjadi pertimbangan. Wanita yang memiliki tiga pondasi bagaimana menjadi good wife, good mother dan good agent dapat menjadi jawaban konkret atas misteri “beauty inside, beauty outside”.

Janji Kemerdekaan- Oleh Anies Baswedan*

Kibarannya membanggakan. Merah-Putih berkibar gagah di tiang bambu depan rumah batu. Rumah sepetak kecil, alasnya tanah dan atapnya genting berlumut. Di tepi rel kereta tak jauh dari stasiun Jatibarang. Rumah batu itu polos tanpa polesan material mewah.
Pemiliknya jelas masih miskin. Tapi dia pasang tinggi bendera kebanggaannya. Seakan dia kirim pesan bagi ribuan penumpang kereta yang tiap hari lewat depan rumahnya: Kami juga pemilik sah republik ini, dan kami percaya di bawah bendera ini suatu saat kami juga akan sejahtera !

Yang miskin nyatakan cinta dan bangga pada negerinya. Keseharian hidupnya mungkin sulit, mungkin serba kerontang. Mungkin tak punya tabungan di bank, tapi tabungan cintanya pada Republik ini luar biasa banyak. Negeri ini dicintai dan dibanggakan. Rakyatnya cinta tanpa syarat.

Tiap memasuki bulan Agustus ada rasa bangga. Kemerdekaan diongkosi dengan perjuangan. Di tiap hela napas anak bangsa hari ini, ada tanda pahala para pejuang, para perintis kemerdekaan.

Jangan pernah lupa bahwa saat merdeka mayoritas penduduknya serba sulit. Hanya 5% rakyat yang melek huruf. Siapapun hari ini, jika menengok ke masa lalunya maka masih jelas terlihat jejak ketertinggalan adalah bagian dari sejarah keluarganya. Kemiskinan dan keterbelakangan adalah baju bersama di masa lalu.
Republik ini didirikan bukan sekadar untuk menggulung kolonialisme tapi untuk menggelar keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Republik hadir untuk melindungi, mensejahterakan, dan mencerdaskan rakyatnya serta memungkinkan berperan dalam tataran dunia.
Isi Pembukaan UUD 1945 selama ini diartikan sebagai cita-cita. Cita-cita kemerdekaan adalah kata kunci paling tersohor. Istilah cita-cita kemerdekaan adalah istilah yang sudah jamak dipakai dalam mengilustrasikan tujuan republik ini. Tapi ada ganjalan fundamental disini.

Kemerdekaan perlu beri ekspresi yang lebih fundamental, bukan sekadar bercita-cita. Lewat kemerdekaan, sesungguhnya Republik ini berjanji. Narasi di Pembukaan UUD 1945 bukanlah ekspresi cita-cita semata, tapi itu adalah janji. Pada setiap anak bangsa dijanjikan perlindungan, kesejahteraan, pencerdasan dan bisa berperan di dunia global. Republik ini dibangun dengan ikatan janji!

Cita-cita itu adalah harapan, dan ia bisa tidak mengikat. Secara bahasa cita-cita itu bermakna keinginan (kehendak) yg selalu ada di dalam pikiran atau dapat juga diartikan sebagai sebuah tujuan yang
hendak dilaksanakan. Bila tercapai cita-citanya maka akan disyukuri. Tapi, jika tidak tercapai maka cita-cita bisa direvisi. Ada komponen ketidakpastian yang abstrak pada kata cita-cita. Indonesia hadir bukan sekadar untuk sesuatu yang didalamnya mengandung komponen yang belum tentu bisa dicapai. Sudah saatnya tidak lagi menyebutnya sebagai cita-cita tapi mulai menyebutnya sebagai Janji Kemerdekaan.

Berbeda dengan cita-cita, sebuah janji adalah kesediaan, kesanggupan untuk berbuat, untuk memenuhi dan untuk mencapai. Janji adalah hutang yang harus dilunasi. Janji memberikan komponen kepastian. Janji itu kongkret. Janji tidak abstrak dan uncertain. Republik ini bukan sekadar bercita-cita tapi berjanji mensejahterakan dan mencerdaskan tiap anak bangsa.

Hari ini janji itu telah dilunasi bagi sebagian rakyat. Sebagian rakyat sudah tersejahterakan, tercerdaskan, terlindungi dan bisa berperan di dunia global. Mereka sudah mandiri. Mereka tak lagi tergantung pada negara mulai dari soal kehidupan ekonomi keseharian, pendidikan, sampai dengan kesehatan. Ya pada mereka, janji kemerdekaan itu sudah dibayar lunas.
Tapi masih jauh lebih banyak yang kepadanya janji itu belum dilunasi. Bangsa ini perlu melihat usaha mencerdaskan dan mensejahterakan bukan sekadar meraih cita-cita tapi sebagai pelunasan janji kemerdekaan. Pelunasan janji itu bukan cuma tanggung-jawab konstitusional negara dan pemerintah tapi juga tanggung jawab moral setiap anak bangsa yang kepadanya janji itu telah dilunasi: telah terlindungi, tersejahterakan, dan tercerdaskan.
Jangan lupa dahulu seluruh rakyat sama-sama miskin, buta huruf, terjajah dan terbelakang. Mayoritas mereka yang hari ini sudah tersejahterakan dan tercerdaskan mendapatkannya lewat keterdidikan. Pendidikan di Republik ini adalah eskalator sosial ekonomi; keterdidikan mengangkat derajat secara kolosal jutaan rakyat untuk mendapatkan yang dijanjikan: tercerdaskan dan tersejahterakan.
Saat Republik ini didirikan semua turun tangan menegakkan Merah-Putih, menggulung kolonialisme. Ada yang sumbang tenaga, harta dan banyak sumbangannya nyawa. Mereka menegakkan bendera tanpa minta syarat agar anak-cucunya nanti lebih sejahtera dari yang lain. Semua paham adanya janji bersama untuk menggelar kesejahteraan bagi semua. Itu bukan sekadar cita-cita. Kini bendera itu sudah tegak, makin tinggi dan dibawah kibarannya, janji kemerdekaan harus dilunasi untuk semua.
Bayangkan di kampung kecil pinggiran kota, di rumah kayu ala kadarnya. Kabel listriknya berseliweran dipakai gantungan dan aliran listrik lampu kecil. Dibawah sinar lampu seadanya beberapa orang bersila diatas tikar membincangkan rencana perayaaan kemerdekaan di kampungnya. Mereka belum sejahtera dan mereka akan rayakan kemerdekaan !

Tidak pantas rasanya terus menerus merayakan kemerdekaan sambil berbisik memohon maaf bagi mereka yang belum terlindungi, belum tercerdaskan dan belum tersejahterakan. Bangun kesadaran baru bahwa usaha ini sebagai pemenuhan janji. Sebagai janji ia mengikat, bisa mengajak semua ikut melunasinya dan agar semua lebih yakin bahwa janji itu untuk dilunasi.
Perayaan kemerdekaan bukan sekadar pengingat gelora perjuangan. Merayaan kemerdekaan adalah meneguhkan janji.  Biarkan pemilik rumah batu itu menerawang kibaran Merah-Putih di rumahnya sambil senyum membayangkan bahwa dia dan anak-cucunya akan tersejahterakan dan tercerdaskan. Semua bangga jika perayaan Kemerdekaan adalah perayaan lunasnya janji kemerdekaan bagi tiap anak bangsa.


Anies Baswedan
Rektor Universitas Paramadina
@aniesbaswedan

Senin, 15 Agustus 2011

SOLOPOS, kolom gagasan 15 Agustus 2011


Sejarah mencatat bahwa keberjalanan Pramuka selama hampir 50 tahun di negeri ini meninggalkan jejak positif, utamanya dalam kegiatan- kegiatan sosial. Berbagai macam saka yang dibina oleh masing- masing pamong saka seperti saka wanabhakti, saka bhakti husada, saka bhayangkara serta saka taruna bhumi berhasil mewadahi hobi positif masing- masing anggota saka untuk turut serta melakukan pengabdian dalam masyarakat. Gerakan sosial dalam Pramuka adalah gerakan yang paling idealis di negeri ini. Semuanya dilakukan tanpa tendensi apapun. Pramuka tidak mengharapkan imbalan dan belas kasih dari siapapun kecuali dari Tuhan Yang Maha Esa. Gerakan Pramuka tidak dipengaruhi tekanan dari pihak manapun kecuali berniat untuk mempersembahkan warga Negara Indonesia yang ber- Pancasila, berwatak luhur, cerdas, trampil, kuat dan sehat serta mampu menyelenggarakan pembangunan sebagaimana tersarikan dari Anggaran Dasar Gerakan Pramuka Bab II Pasal 4.
Jauh sebelum wacana isu pendidikan karakter di dengungkan Pemerintah selama tiga tahun terakhir ini, gerakan pramuka sejak dahulu sebenarnya telah mengemban amanah itu serta siap berdiri di garda terdepan dalam pembentukan karakter bangsa Indonesia. Organisasi pramuka di sekolah memiliki peran strategis dalam membina mental dan ideologi anak bangsa dikarenakan menjadi satu- satunya kegiatan ekstrakurikuler yang diwajibkan.
 Kepramukaan sebagai suatu proses atau kegiatan pendidikan mempunyai tiga fungsi yaitu permainan, pengabdian dan alat. Sebagai permainan tidak berarti main- main atau tidak beraturan melainkan permainan tersebut mengandung unsur- unsur luhur seperti norma kemasyarakatan, disiplin, kegotongroyongan serta kesukarelaan. Gerakan pengabdian pramuka selalu berlandaskan ketaqwaan terhadap Tuhan YME, dedikasi serta kejujuran dan sportivitas. Sedangkan  sebagai alat, maka kepramukaan sebagai proses kegiatan Pendidikan merupakan alat bagi masyarakat untuk mencapai sasaran dan tujuan yang menjadi cita- cita masyarakat. Menilik ketiga fungsi adiluhung tersebut tidak berlebihan jika Pemerintah seharusnya member perhatian yang lebih bagi geliat gerakan Pramuka Indonesia.
Namun, Kepramukaan di negeri ini kerapkali mengalami hambatan eksternal maupun internal. Hambatan eksternal misalnya, pada praktek lapangan, seringkali masyarakat menemukan penyimpangan- penyimpangan utamanya pada kegiatan tingkat penggalang atau penegak di Gugus Depan masing- masing. Orang tua menjadi enggan mengizinkan anak mereka aktif di kegiatan kepramukaan karena pendapat publik yang menyatakan bahwa aktifis pramuka cenderung akan turun prestasi akademiknya di sekolah. Hal diatas dapat dihindari apabila Pembina masing- masing Gudep memberikan perhatian dan pengawasan yang lebih dalam setiap kegiatan kepramukaan.
Hambatan internal merupakan hambatan yang paling berbahaya adalah ketika anggota pramuka tidak lagi menganggap kegiatan Pramuka sebagai kegiatan yang menarik dan memberi manfaat. Seiring dengan internet yang menjadi revolusi media kedua setelah mesin cetak Guttenberg dan ketiga setelah kehadiran televisi, generasi muda terjebak dengan hidup yang serba praktis dan cenderung malas. Generasi muda sekarang yang lebih suka berlama- lama duduk di depan komputer, berselancar di dunia maya untuk mendapatkan informasi atau sekedar bermain- main dengan situs jejaring sosial mungkin merasa jenuh dengan dominasi kegiatan pramuka yang sering membuat lelah dan penat. Seseorang yang tersesat di jalan pada masa kini misalnya, tidak akan mungkin untuk mengimplementasikan sandi morse. Generasi muda yang lebih update terhadap seri terbaru game online  akan mengalami logika terbalik jika dihadapkan dengan permainan Pembina Gugus Depan yang menurut mereka kurang menarik. Revitalisasi kurikulum kepramukaan menjadi isu utama yang harus segera diselesaikan.
Indonesia masa kini bukan lagi zaman perang melawan penjajah ataupun berjuang untuk meruntuhkan rezim orde baru. Reformasi telah banyak menghadirkan perubahan yang structural, substansial maupun cultural dalam lingkup pemerintahan Indonesia. Kegiatan pramuka yang konvensional dan tidak sesuai dengan waktu dan kondisi harus diperbaharui dengan ide- ide terhadap kegiatan yang diperlukan masyarakat masa kini.
              Combine atau singkatan dari Collaborative Management, Branding and network adalah sebuah strategi inovasi kegiatan kepramukaan di era globalisasi. Kolaborasi adalah bentuk kerjasama, interaksi, kompromi beberapa elemen yang terkait baik individu, lembaga dan atau pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak langsung yang menerima akibat dan manfaat. Nilai-nilai yang mendasari sebuah kolaborasi adalah tujuan yang sama, kesamaan persepsi, kemauan untuk berproses, saling memberikan manfaat, kejujuran, kasih sayang serta berbasis masyarakat. Sehingga Collaborative management berarti revitalisasi kegiatan Kepramukaan membutuhkan dukungan dari berbagai pihak seperti Pemerintah sebagai pelindung utama, Kwartir Nasional, Kwartir Daerah, Kwartir Cabang dan seterusnya. Wacana untuk membentuk Gugus Depan berbasis komunitas mengakibatkan Pramuka juga membutuhkan dukungan sepenuhnya dari Pemerintah Daerah dan seluruh elemen masyarakat yang tergabung dalam MABISA (Majelis Pembimbing Desa Gerakan Pramuka) untuk melancarkan sosialisasi kegiatan kepramukaan. Semakin banyak satuan karya bermuncula berarti pembentukan karakter nasional akan semakin terbangun.
              Strategi selanjutnya adalah Branding (Pemberian Merk). Maksudnya, gerakan Pramuka perlu mendelarasikan eksistensinya kembali baik secara inward (ke dalam) maupun outward (keluar). Strategi inward dapat dilakukan dengan inovasi produk- produk kegiatan Pramuka. Misalnya, pramuka memberi kesempatan yang seluas- luasnya kepada anggota untuk memilih kegiatan apa yang mereka sukai tetapi tetap dalam wadah kepramukaan. Misalnya terbentuknya komunitas penulis, komunitas blogger, dan komunitas penggiat handmade. Dalam transfer materi kepramukaan yang sebagian besar adalah tentang pendidikan karakter, Pembina pramuka harus menyampaikan materi secara menarik dengan konsep audiovisual dengan fasilitas pendukung kelas yang memadai misalnya, tidak ceramah di lapangan saja hingga anggota mengantuk seperti yang biasa dilaksanakan di Gugus Depan hingga saat ini.
Strategi branding outward (keluar) berarti Pramuka harus mengembalikan kepercayaan masyarakat dan menarik simpati masyarakat melalui pengabdian nyata yang unik. Seperti yang telah dilakukan oleh Ambalan Bung Karno dan Raden Ajeng Kartini Pangkalan SMA Negeri 1 Blora misalnya, anggota melaksanakan sholat jum’at di Lembaga Pemasyarakatan Kabupaten Blora berjama’ah dengan para napi. Disitu para anggota bersemangat karena merasa penasaran dengan keadaan di dalam LP. Para anggota belajar banyak hal tentang kesalahan para napi serta efek jera dari  kesalahan yang mereka perbuat. Para anggota juga membagi- bagikan snack sehingga para napi merasa senang. Hal ini telah dijadikan sebagai agenda tahunan. Hal lain dapat dilakukan seperti berkunjung langsung ke sentra- sentra pembuatan batik, media massa cetak, sentra kebudayaan lokal dan intensifikasi kegiatan bakti sosial dan penyuluhan yang menjunjung tinggi prinsip partisipatif mandiri masyarakat.
Selanjutnya, strategi apapun tidak akan berarti tanpa adanya network (jaringan) yang baik. Kehadiran internet membuka kesempatan seluas- luasnya bagi para anggota pramuka untuk mengembangkan jaringan dengan siapapun dan darimanapun. Hal ini dapat diwadahi dengan adanya Forum Online untuk diskusi antar satuan melalui media blog bahkan facebook sehingga anggota dapat berdiskusi sekaligus memenuhi kebutuhan aktualisasi diri.
Tidak ada hal yang tidak berubah di dunia ini selain perubahan itu sendiri. Begitupun kegiatan Pramuka yang memiliki peran strategis terhadap pembentukan karakter bangsa yang telah bobrok pada setiap lini. Negeri yang terbuai dalam ayunan korupsi dan budaya merasa benar sendiri harus segera dibangunkan oleh sedikit masyarakat yang masih sadar. Mental disiplin yang menjadi produk unggulan Pramuka harus mengejawantah dalam inovasi yang mengikuti perkembangan zaman sehingga dapat terus eksis menjaga bangsa dan negeri ini, Indonesia pusaka. Salam Pramuka!
*Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta
Staff Divisi Research UKM Studi Ilmiah Mahasiswa