Senin, 24 Februari 2014

Here I am : Anak Tukang Becak Jadi Sarjana! (Tulisan ini telah saya kirimkan untuk laman studyinjogja.com)




Saat-saat akhir Sekolah Menengah Atas (SMA) mendekati masa transisi menjadi mahasiswa barangkali adalah masa paling sulit dalam hidup saya. Dikala temen-temen sekolah saya disibukkan dengan kebingungan rencana-rencana kuliah seperti pilihan universitas, jurusan ataupun ujian seleksi masuk Perguruan Tinggi mana aja yang bakal mereka ambil, well, inilah saya yang cuma anak seorang tukang becak dan ibu rumah tangga. Disaat mereka punya banyak saudara yang berpendidikan tinggi juga orang tua kooperatif yang bisa diajak diskusi tentang gambaran masa depan mereka, saya seakan nggak punya pilihan. 4 saudara saya yang lain selepas SMA semua bekerja sebagai buruh serabutan.

Walaupun saya tercatat sebagai siswa SMA terbaik di kota dan juga anak IPA, tapi sayangnya saya bukan siswa pandai di kelas IPA. Dari 4 Mapel IPA (Matematika, Fisika, Kimia, Biologi), hanya biologi yang saya lolos Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Tiga lainnya saya selalu ikut remedial test. Untungnya, guru-guru di sekolah nggak tega nyebut saya sebagai “siswa bodoh” karena saya punya prestasi di bidang lain yaitu English debate dan Indonesian Debate.

Noted, Saya bukan anak yang terlampau pandai buat dapetin beasiswa masuk Perguruan Tinggi tanpa biaya dan seleksi. Pada tahun 2009 ketika saya lulus, belum ada beasiswa bidik misi dari Pemerintah yang dapat menggratiskan anak-anak kurang mampu kuliah hingga lulus S1. Beasiswa-beasiswa dari Perguruan Tinggi Swasta juga belum semarak sekarang. Apalagi, beberapa tahun lalu saya sangat kudet (kurang update) dengan berbagai informasi. Maklum, anak tukang becak yang untuk ke warnet saja harus menyisihkan uang saku harian. Dalam silsilah keluarga saya belum pernah ditemukan satu orang pun yang bergelar Sarjana, dan orangtua saya nggak mungkin diperas dalam waktu singkat buat dapetin duit jutaan. Terakhir ketika saya minta tolong mereka buat cari pinjaman di Bank, bapak justru bilang,”Bapak masih punya angsuran hutang yang belum selesai di 3 Bank yang berbeda. Kalau mau nyari pinjeman lagi, kita nggak punya surat berharga buat bakal jaminan…”. Pikir saya,”OK. Semua peluang kayaknya udah tertutup.”

Untung saja pikiran negatif untuk menutup semua peluang yang “mungkin” masih banyak di depan sana tidak lama mempengaruhi semangat saya.

Saya harus bersyukur pada Tuhan untuk menjadikan kenekatan sebagai harta satu-satunya yang saya jaga serta teman-teman baik sebagai perhiasan yang saya miliki. Lucunya, saat itu lagu dari D’ Massiv yang berjudul “Jangan Menyerah” lagi hits. Kalau kalian lupa, kira-kira begini liriknya : Tak ada manusia yang terlahir sempurna…(Ups, malah nyanyi). Iya, thanks to Ryan D’massiv yang sempat hadir dalam beberapa mimpi saya di malam hari sambil nyanyi-nyanyi menyemangati saya ketika itu hampir putus asa. Hehehe…

Dalam setiap doa, hal yang nggak putus saya sampaikan ke Tuhan adalah,”Ya Allah, sesungguhnya saya tak punya keinginan apapun dalam hidup ini. Apakah itu untuk menjadi orang yang besar di mata orang lain atau menjadikan diri merasa bangga namun lupa darimana saya berasal. Saya hanya ingin menghadirkan senyuman di bibir Bapak dan Ibu biar mereka sadar bahwa mereka adalah orang tua yang hebat. Tak ada jalan yang terlampau sulit untuk dilalui jika itu adalah kehendakMu dan Engkau selalu bersamaku.” Kelak, hingga hari ini ketika saya sering ikut dalam banyak kompetisi mahasiswa atau beberapa kegiatan sosial anak muda, bahkan hampir Sarjana, doa saya nggak pernah berubah. Tetap seperti itu tanpa sedikitpun revisi.

Dari Seleksi ke Seleksi

            Saya berpikir kalau saya harus terus menantang Tuhan dengan kenekatan saya. Satu-satunya keyakinan saya adalah Tuhan setidaknya bakal kasihan sama si bodoh nan miskin ini sehingga setidaknya saya bakal dikasih kesempatan buat mewujudkan mimpi saya : Menjadi Sarjana pertama dalam silsilah keluarga saya. And believe it or not, sebenarnya ketika sebuah mimpi akan menjadi kenyataan, kalian nggak akan pernah mau berhenti untuk memperjuangkannya. Entah kenapa dulu saya yakin banget bakal jadi mahasiswa (entah jurusan apa, di kota mana), tapi mimpi tersebut terasa sangat nyata dan sangat dekat, hampir-hampir dapat saya peluk erat dan saya cium baunya.

            Mendekati hari-hari terakhir pendaftaran berbagai tes seleksi masuk, tiba-tiba saja saya dipanggil ke ruang Kepala Sekolah. Ternyata ada 3 anak, yang salah satunya adalah saya yang diputuskan untuk mendapat beasiswa dari sekolah. Pesan dari Bu Purwanti, Wakil Kepala Bidang Kesiswaan, uang tersebut harus digunakan buat beli kambing atau modal jualan orang tua. Tapi karena keinginan saya untuk ikut berbagai tes saat itu sudah sampai di ubun-ubun dan hampir meledak, saya ijin ke Ibu Guru kalau uangnya akan saya pakai buat beli formulir pendaftaran tes.

            Si miskin ini dahulu mempunyai beragam cita-cita. Salah satu yang paling kuat adalah menjadi akademisi. Setiap membaca Harian Kompas pada bagian Kolom Opini, saya membayangkan suatu saat nama saya yang akan bertengger disana sebagai kolumnis. Atau, ketika menonton sebuah acara talkshow inspiratif di televisi, saya membayangkan suatu saat saya akan bisa menjadi narasumber sebuah acara TV Nasional. Toh hari ini, saya merevisi semua cita-cita itu. Saya tidak ingin semata mengharap tepuk tangan manusia. Berbekal cita-cita yang cukup kuat itu, singkat cerita saya membeli berbagai formulir pendaftaran ujian tulis PT.

Pertama, saya ikut Simak UI dengan pilihan pertama jurusan Ilmu Pemerintahan dan pilihan kedua jurusan Ilmu Komunikasi. Kedua, saya ikut Ujian Masuk UGM dengan pilihan pertama jurusan Ilmu Pemerintahan dan pilihan kedua jurusan Ilmu Komunikasi. Ketika ada tabel pengisian “biaya yang bersedia dibayarkan apabila anda diterima di universitas ini”, saya melingkari pilihan “nol rupiah”. Ternyata, saya gagal untuk diterima di dua universitas terbaik negeri tersebut.

Kegagalan tersebut membuat saya cukup terpukul. Kegagalan tersebut membuat saya terpaksa menyadari jika saya ini tidak cukup pandai untuk dapat diterima di Perguruan Tinggi Negeri ternama. Namun saya sadar bahwa langkah tidak boleh berhenti sampai disini. Pertemuan dengan siswa-siswa lain dari berbagai kota dengan penampilan mereka yang berkecukupan entah mengapa membuat mimpi saya menjadi mahasiswa semakin menguat. Saya tidak ingin berhenti sebelum semua peluang benar-benar tertutup.

Saya mengevaluasi apa sebab saya gagal. Sedari awal saya telah menyadari bahwa jurusan yang saya pilih adalah bidang IPS, sedangkan saya adalah anak IPA. Saya memang telah memutuskan hal itu karena selain tidak punya passion di bidang IPA, saya juga tak percaya diri dengan kemampuan IPA saya yang demikian buruk. Itu artinya, saya harus fokus belajar mata pelajaran IPS. Saya mempersiapkan diri untuk ikut seleksi masuk Universitas Negeri Semarang (UNNES). Saya akhirnya (sempat) diterima sebagai calon mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia FBS UNNES. Namun, kenapa saya gagal lagi?

Benar. Saya harus membayar 5 juta rupiah agar bisa benar-benar resmi menjadi mahasiswa UNNES. Dan suatu sore ketika saya menyampaikan berita gembira tersebut ke Bapak, Bapak bahkan tidak menoleh ke arah saya. Tak ada jawaban bahkan sinyal tatap mata yang saya tangkap dari beliau. Saya kembali (sangat) putus asa.

Tes-tes Perguruan Tinggi kedinasan seperti STAN, tidak berhasil saya taklukkan. Berkas-berkas beasiswa ke beberapa Perguruan Tinggi Negeri Kedinasan seperti Akademi Kimia Analisis Bogor, Sekolah Tinggi Perikanan, AKIP dan lain-lain berakhir tanpa jawaban. Hingga akhirnya, satu-satunya pilihan terakhir saya ada pada Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Beasiswa dari sekolah sudah habis untuk biaya kesana kemari. Pada cerita ini sekaligus saya ingin mengabadikan nama-nama yang turut memperjuangkan cerita saya hingga hari ini saya hampir dapat mewujudkan mimpi saya. Terimakasih kepada Dyah (Tek. Sipil Undip 09), Santi (Arsitektur UII ’09), dan Ariyan Bayu (STAN 09) yang memberi “uang saku” pada saya untuk berangkat mengikuti test SNMPTN. 

Akhirnya saya diterima lewat jalur SNMPTN pada jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UNS. Loh, kemana larinya mimpi-mimpi saya untuk jurusan Ilmu Pemerintahan dan Ilmu Komunikasi? Alkisah, suatu malam sebelum saya berangkat ke Yogyakarta untuk mendaftar SNMPTN, Ibu saya berpesan,”Semoga tercapai cita-citamu untuk menjadi guru ya, Nduk. Ibu ndak tahu gimana caranya. Ibu percaya sama usaha kamu. Tapi Ibu juga senang kalau suatu saat kamu jadi guru.” Sampai sekarang, saya juga heran kenapa dahulu Ibu bisa berpesan seperti itu. Tapi karena mengingat pesan beliau malam itu, akhirnya saya memang memutuskan untuk melingkari jurusan Pendidikan Bahasa Inggris pada formulir pendaftaran SNMPTN.

Ketika tahu bahwa saya diterima lewat jalur SNMPTN, saya sangat bahagia. Bayangan akan menjadi Sarjana sudah sangat dekat di depan mata. Saya beranikan diri untuk menyampaikan kepada Bapak bahwa saya diterima di UNS dan harus membayar biaya 3,8 juta. Saya berharap kali ini Bapak akan luluh, namun ternyata : tidak. Bapak kembali bersikap acuh dan dingin. Semalaman itu saya menangis karena tak tahu lagi harus berbuat apa. Saya teringat jika satu-satunya benda yang masih dapat kami jual adalah Sepeda Motor Honda keluaran Tahun 2004. Tapi, saya juga tahu betul kalau cicilannya belum lunas. Bapak belum punya BPKBnya. Atas ijin Bapak saya memperjuangkan bagaimana agar motor tersebut bisa berubah menjadi uang minimal 5 juta untuk membayar biaya pangkal masuk dan biaya perjalanan awal saya. Sisanya, saya tidak pikirkan akan dapat uang darimana. Toh nyatanya, setelah bolak-balik ke dealer resmi untuk menego cicilan beserta denda, mereka tetap tidak bersedia. Saya mengunjungi rumah guru-guru, menanyakan apakah mereka bersedia mengganti motor yang saya punya dengan uang sejumlah 5 juta, tetap tak ada yang bersedia.

Saat itu saya sungguh tak tahu harus berbuat apa lagi. Saya menjadi gampang sekali menangis membayangkan mimpi-mimpi saya yang nampaknya akan gagal. Entah petunjuk darimana, saya memiliki ide untuk menelpon beberapa teman. Saya sampaikan saya ingin meminjam uang 3,8 juta dan akan saya kembalikan dalam jangka waktu satu tahun. Bodohnya, saya hanyalah anak lulusan SMA yang tak memiliki jaminan apapun yang tentu saja tak ada yang bisa mengabulkan keinginan saya itu. Saya terus menggumamkan doa andalan saya hingga tanpa sadar saya menelpon Mbak Azizah. Beliau adalah kakak senior saya di sebuah organisasi pengajian remaja di kota. Ketika Mbak Azizah mengangkat telepon, saya juga kaget mengapa saya bisa menelepon beliau. Tapi beliau saat itu sudah terlanjur mendengar tangisan dan suara saya yang serak sehingga memaksa saya untuk bercerita. Saya pun memberanikan diri untuk bercerita pada beliau.

Singkat cerita, saya datang ke Semarang untuk memenuhi undangan Mbak Azizah. Beliau yang saat itu adalah Mahasiswa tingkat akhir di Teknik Industri Undip berkata akan berusaha membantu saya. Sampai saat ini, saya tidak tahu uang 3,8 juta yang diberikan Mbak Azizah untuk membayar biaya masuk UNS 4 tahun lalu itu berasal darimana. Beliau bilang uang tersebut bukan uang pribadinya. Beliau hanya berkata, “Suatu saat uang tersebut harus kamu kembalikan kepada adik-adikmu yang juga kesulitan ketika ingin melanjutkan kuliah.” Pesan beliau itu akan selalu saya ingat.

Sekali lagi, saya ingin mengucapkan terima kasih pada beberapa nama yang menjadi bagian dari perjalanan saya hingga hari ini. Kepada Mas Koko (FH UGM 07) yang menemani saya antri formulir di GSP UGM, kepada Mbak Nia (MIPA UNY 07) dan Mas Iim (Ilkom UGM 06) yang sudah mengantar saya sampai ke Gedung Teknik Fisika UGM untuk tes SNMPTN. Padahal, usut punya usut Mas Iim dulunya adalah aktivis dakwah kampus UGM yang dengan semena-mena dan percaya diri saya membonceng sepeda motornya. Uhuk!

Achievement Never Ask Who You Are

Saya berhasil jadi mahasiswa tidak dengan mudah. Tapi enggak berarti juga saya rajin belajar semata karena buat bales dendam. Nggak, saya menjadi mahasiswa yang “belajar serius” karena semata kewajiban saya pada bangsa dan Negara ini. Saya ingin jadi mahasiswa terbaik, guru terbaik agar kelak saya bisa mengajar banyak anak-anak yang kurang mampu. Sebagai perempuan yang tentunya calon ibu, saya ingin anak saya kelak menghargai semua orang tua, guru dan ilmu pengetahuan di dunia ini. Oleh karena itu, saya harus memulai hal itu dari diri saya sendiri. Saya selalu berusaha bersungguh-sungguh di setiap kelas kuliah dan ruang-ruang ilmu pengetahuan seperti seminar dan diskusi.

Di Solo, saya menghidupi diri saya dan kegiatan kuliah saya dengan mengajar les, beasiswa, menulis dan lomba-lomba. Motor Honda yang dahulu hampir saya jual, diserahkan dengan sukarela oleh bapak dengan berpesan,”Bapak mungkin nggak bisa ngasih uang saku ke kamu buat hidup di Kota. Tapi bawalah motor ini, mungkin bermanfaat buat ngajar les atau kerja paruh waktu.”

Alhamdulillah, dengan izin Tuhan selama menjadi mahasiswa saya bisa menjadi Juara penulisan artikel dan Karya Tulis Ilmiah Nasional, Debat Mahasiswa, Mahasiswa Berprestasi Fakultas juga tercatata sebagai Mahasiswa terbaik jurusan. Sebuah prestasi tak pernah bertanya siapa dirimu dan darimana kamu berasal. Miskin atau kaya, desa atau kota, ia hanya meminta proses yang bernama perjuangan dan keringat.

Toh, awalnya saya mengira prestasi-prestasi itu berharga dan akan abadi, tapi nyatanya tidak sama sekali. Selama masih hidup, prestasi bukanlah sesuatu yang abadi. Hari ini mungkin kita bisa bangga karena menjadi pemenang terbaik sebuah Kompetisi Mahasiswa Nasional, tapi 3 bulan lagi ketika kita tidak terus mengasah diri, orang-orang akan melupakan kita. Every people actually live in their own life without busy thinking who we are. Artinya, ketika kita berhenti berkarya, pada suatu fase kemudian, kita tidak akan menjadi apa-apa. Bukan piala ataupun sertifikat kita dapat yang berharga. Melainkan ilmu yang kita dapatkan. Figur, sahabat karib saya pernah berkata, “Orang yang berilmu tak akan goyah oleh zaman. Lihatlah para filosof pendahulu, biarpun mereka hidup dengan sangat pas-pasan, mereka telah merasa hidupnya sangat bermakna.”

Yah, walaupun kelak saya yakin dapat lebih memperjuangkan masa depan anak-anak saya, walaupun  kini saya lebih optimis dalam melangkah, doa-doa saya tak pernah berubah, mimpi-mimpi saya tetap sama. Setapak langkah diatas hanya secuil cerita dalam rangka memperjuangkan satu ikhtiar hidup, masih banyak fragmen makna lain yang menuntut untuk kita selesaikan. Semoga dalam keadaan apapun, saya tetap menjadi pribadi yang bukan siapa-siapa dan bukan apa. Because If you have nothing, You’ve got nothing to loose!

Kamis, 13 Februari 2014

Sebuah Semangat

Yang gagal, kelak akan merasakan kemenangan manis.

Siapa yang pernah tersandung, akan berjalan berhati- hati dan tahu dimana tempatnya harus berkata “awas”.

Berkat perjuangan, jiwa yang lesu jadi terjaga.

Kita belajar dari jalan yang sulit karena kekeliruan,

dan kebenaran- kebenaran yang tidak mungkin kita peroleh tanpa kedukaan dari kesalahan- kesalahan kita yang menyedihkan.

 Maknailah kalimat menggetarkan milik Yazmen Mogahed ini,

 “So long as there is still tomorrow, a next moment, there is a hope! there is a change, there is redemption! What is lost, is not lost forever!”

Maka jangan pernah mengira segala apa yang telah dikeluarkan itu akan hilang dan tidak kembali.

Segala usaha kebaikan sebagai bentuk perjuangan mendapatkan cita- cita yang baik tidak akan pernah berakhir sia-sia…

karena pada akhirnya, sesuatu yang hilang dari diri kita pasti akan kembali walaupun dalam bentuk yang tidak lagi sama...

PRINSIP DAKWAH DAN INGATAN SEJARAH



Ada yang unik dari aktivitas Front Pembela Islam (FPI) yang melakukan pembubaran bedah buku “Tan Malaka IV” oleh Harry A Poeze di sebuah rumah di Jalan Cipto Surabaya pada Jumat malam (7/2/2014). Biasanya, aktivitas FPI yang selalu menimbulkan kerusuhan itu berkaitan dengan hal-hal “syariat” seperti penertiban (sweeping) warung-warung miras, diskotik, pelarangan kegiatan yang diduga sebagai aliran sesat, atau kontroversi rumah-rumah ibadah. 

Kali ini, FPI mulai turut campur pada ranah-ranah kebebasan publik dalam menyampaikan kehendak dan kebebasan dalam berpendapat. Hal tersebut tampak dari ucapan Ketua Bidang Nahi Munkar, FPI Jawa Timur, KH Dhofir yang menjelaskan bahwa bedah buku Tan Malaka lebih baik digelar di kampus karena kampus adalah tempat untuk belajar, dan buku tersebut dapat dikaji secara ilmiah. Mereka beralasan bahwa aktivitas tersebut dikhawatirkan dapat mengajak orang untuk beraktivitas yang tidak benar. Hal ini tentu saja tidak benar sebab bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 tentang kemerdekaan dalam menyampaikan pendapat.

Tan Malaka dan Ingatan Sejarah
Adalah tercatat divisi nahi munkar dalam FPI yang bertugas untuk melakukan aksi sejenis pembubaran sepihak atas acara-acara yang menurut mereka tergolong kemunkaran. Hal yang perlu kita tanyakan adalah kemunkaran seperti apa yang mereka maksudkan?

Marilah kita mengkaji tentang Tan Malaka. Tan Malaka adalah seorang pahlawan nasional yang telah ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 28 Maret 1963, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 53 Tahun 1963. Berkaitan dengan komunis, Tan Malaka justru dianggap sebagai musuh terbesar PKI karena mendirikan Partai Murba (1948). Nama Tan Malaka lebih bersinar karena karya tulisnya yang hidup dan menjadi referensi sejarah agung negeri ini. Pada tahun 1925, Tan Malaka telah menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Mahakarya agung tersebut menyuarakan bahwa bangsa Indonesia harus bersegera merebut kemerdekaan dengan memahami situasi sosial dan ekonomi bangsa dengan belajar dari situasi politik dunia setelah perang dunia pertama tahun 1914-1918. Karya-karya lain yang dicatat sebagai bagian yang terpenting adalah Madilog, Aksi Massa dan Gerpolek.

Tempo pernah mengabadikan kehidupan Tan Malaka dengan Tajuk “Bapak Republik yang dilupakan”. Tan Malaka dan teman-temannya dihapus dalam ingatan bangsa ini karena ideologi komunis yang mereka anut. Padahal sebagai ideologi, komunis bukanlah suatu kejahatan. Ideologi komunis pernah dianut oleh sebagian bangsa kita secara legal. Bahkan tokoh PKI, Munawar Musso, adalah mantan pengurus Sarekat Islam dan tinggal di rumah H.O.S Tjokroaminoto bersama Sukarno, Alimin, Semaun dan Kartosuwiryo. Namun ketika Orde Baru berkuasa, ideologi ini diberangus. PKI dibubarkan dengan mengeksekusi tokoh-tokohnya bahkan simpatisan pun turut disikat, serta tidak sedikit rakyat jelata yang tidak tahu menahu menjadi korban kekerasan tragedi Gestapu.

Pemakluman bangsa atas tragedi tersebut berhenti pada kenyataan sejarah bahwa rezim Soeharto langgeng dengan ditopang oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Rezim yang berkuasa selama 32 tahun itu disokong oleh negara-negara liberal, yang tak lain merupakan negara-negara yang memusuhi komunisme. Mitos ketakutan pada “ekstrim kiri” hampir setiap hari didoktrinkan Orde Baru kepada rakyat. Politik bebas aktif yang dicanangkan oleh Sukarno telah mati. Tak ada lagi Negara non-blok yang memiliki ketegasan dalam menentukan sikap. Sedang phobia terhadap ideologi komunis pun terlanjur mendarah daging pada bangsa yang dibesarkan oleh rezim Orde Baru.

Satu lagi yang tidak boleh dilupakan oleh FPI adalah bahwa Tan Malaka pernah berpidato di Kongres Komunis Internasional pada tahun 1922 dengan menyatakan bahwa islam adalah tidak sekadar agama, namun menyangkut semua hal termasuk politik, ekonomi, dan sosial budaya sehingga perjuangan kemerdekaan semua yang tertindas adalah tanggung jawab persaudaraan semua muslim. Tan Malaka adalah representasi muslim rahmatan lil alamiin. Bangsa Indonesia memiliki hutang besar pada Harry A Poeze, warga keturunan Belanda yang mendedikasikan 40 tahun hidupnya untuk meneliti Tan Malaka. Pahlawan nasional yang hingga kini bahkan belum jelas dimana makamnya itu akan selalu menjadi mutiara lewat buah pikirnya.

Tafsir Kemerdekaan Berpendapat
FPI yang mengaku bertujuan untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat islam seharusnya mengkaji kembali bagaimana islam sangat terbuka dalam hal kemerdekaan dalam berpendapat. Untuk itu saya ingin mengkaji kembali kaidah-kaidah dakwah dalam islam dan prinsip-prinsipnya, wasilah (sarana-sarana) dan metode-metodenya. 

Dalam Al Qur’an surat An Nahl (16: 125) terdapat penjelasan tiga macam metode dakwah yang harus disesuaikan dengan sasaran dakwah. Pertama adalah bilhikmah, yakni metode yang digunakan kepada cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi. Dakwah bilẖikmah adalah berdialog dengan kata-kata bijak sesuai tingkat kepandaian mereka. Terhadap kaum awam, diperintahkan untuk mau’izhah yakni memberikan nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan pengetahuan mereka yang sederhana. Sedang terhadap Ahl al-Kitāb dan penganut agama-agama lain yang diperintahkan adalah jidāl/ mujadalah billati hiya ahsan atau perdebatan dengan cara yang terbaik yaitu dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan.

Kata ẖikmah, menurut Endang Saifuddin Anshari dalam buku Wawasan Islam diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih besar. Lagipula, makna hikmah ini secara sharaf berasal dari kata hakamah, yang berarti kendali. Sehingga dapat kita simpulkan, perwujudan dari ẖikmah adalah memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai. Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang buruk pun dinamai ẖikmah, dan pelakunya dinamai hakīm (bijaksana). Siapa yang tepat dalam penilaiannya dan dalam pengaturannya, dialah yang wajar menyandang sifat ini atau dengan kata lain dia adalah hakīm

Kaum radikal yang mengusung kekerasan sesungguhnya bertentangan dengan tajuk “islam” yang mereka gunakan sebagai semangat geraknya. Jika mereka bersembunyi lewat alasan bahwa perang dibenarkan dalam masa Rasulullah, kenyataannya perang yang dilakukan di masa Rasulullah lebih bersifat defensif (upaya untuk bertahan dari serangan lawan) dan bukan ofensif (menyerang) (QS. al-Baqarah [2]: 191). Selebihnya, Rasulullah mengajarkan umatnya untuk berdakwah dengan penuh kelembutan, kebijaksanaan dan bertahap (at-tadarruj fī ad-da’wah).

Secara retoris, ketua FPI berkali-kali mengatakan dukungannya terhadap NKRI, tetapi kenyataannya tidak demikian. Perilaku para anggota FPI dengan merusak dan mengancam warga lain yang dianggap tidak sejalan dengan mereka merupakan ancaman serius bagi stabilitas negara.

Kesetiaan pada NKRI tidak cukup dinyatakan lewat kata-kata, apalagi sekadar retorika kepura-puraan. Ia harus dibuktikan dengan perilaku, tentu saja yang dimaksud adalah perilaku yang sesuai dengan Pancasila dan konstitusi. Sendi-sendi yang paling asasi dalam negeri ini, termasuk didalamnya adalah nilai-nilai tentang kemerdekaan dalam menyampaikan pendapat, tidak boleh digugat lewat jalan apapun, apalagi lewat jalan kekerasan.


Selasa, 11 Februari 2014

Sajak-sajak Rindu ( Sebuah apresiasi untuk mahakarya “Sajak Februari” karya Helvy Tiana Rosa)



Hari masih gerimis. Rumah sudah makin ramai. Semua keluarga telah berdatangan satu persatu sejak sepekan yang lalu. Pakdhe Ayik, Budhe Gayatri, bahkan adik ayah yang paling bungsu pun menyempatkan untuk berkumpul disini. Seperti akan ada hajatan besar. 

Aku berdiri mematung di sudut ruangan, masih bermain-main dengan rintik hujan yang berembun di sebalik kaca. Februari adalah bulan yang istimewa buatku. Pada bulan ini aku dilahirkan. Dan aku selalu merayakan hari lahirku itu setiap tahunnya dengan penuh sukacita. Walaupun jarang ada orang yang ingat, aku memang lebih sering melewatkannya sendiri dengan sebatang coklat, teh hijau hangat dan diary kecil yang mendokumentasikan semua mimpi-mimpiku. Sepekan lagi aku berulang tahun ke dua puluh empat. 

Diary bersampul artwork wool biru laut yang kubuat sendiri itu telah lekat di tanganku. Sementara, embun di pelupuk mata ini semakin menganak sungai ketika membolak-balik lembar demi lembar halamannya. Kutandai satu persatu peristiwa demi peristiwa, harapan demi harapan yang pernah kuabadikan lewat kalimat, potongan-potongan gambar, juga lirik-lirik lagu yang manis. Banyak hal yang telah terlewat, banyak pula mimpi yang telah berhasil kuwujudkan.

Tiga bulan yang lalu aku sudah menyelesaikan studi pasca sarjana pada Fakultas Ilmu dan Budaya Universitas Indonesia. Selama itu pula aku sudah mengunjungi beberapa Negara di Asia dan Eropa untuk mengikuti berbagai kegiatan sastra dan diskusi lintas budaya. Tak terhitung lagi berapa pelatihan, buku, pesta, apalagi karya-karya yang sudah kubuat. Aku juga masih dipercaya sebagai tenaga ahli pada lembaga Kementrian. Ayah dan Ibu sangat bangga, sebab bersamaan dengan itu karirku sebagai penulis juga semakin diakui. 

Apa lagi yang kucari? Semua telah kuraih. Ilmu, pendidikan, teman, kesempatan, pengakuan… kecuali, kamu.

“Dik Jani, akhirnya selesai juga studi magistermu. Jadi tahun ini ya?” Mas Lanang membisikkannya tepat di telingaku ketika aku masih berseragam lengkap dengan toga serta sibuk menerima berbagai selamat dari kerabat dan sahabat.

Mataku menyergap semua cinta dan keyakinan Mas Lanang. Senyumku kala itu mungkin diartikan sebagai tanda persetujuan. Aku tergagap. Tak ada sesuatu yang mampu kuucap, sebab…mengingatmu!

Lima musim setelah kita berjumpa di sebuah mal dulu hingga hari ini, seperti masih ada sisa senyummu yang malu-malu pada setiap pagi ketika aku membuka mata. Ingatan gerimis di lantai mal paling atas saat senja, bersama mata sipitmu yang semakin pejam ketika kau tertawa saat kugoda itu, ah…siapa yang mampu melupakannya? Mungkin sebagai lelaki kau pikir bahwa aku adalah satu dari sepuluh wanita lain yang bisa kau pilih kapan saja kelak ketika kau butuh. Masa ketika kau siap untuk merenda cinta dalam sebuah janji suci bernama perkawinan.

“Aku belum memilih siapapun. Aku harus pergi untuk melanjutkan studiku ke Perancis.” Tanganmu dengan cekatan berpindah dari satu buku ke buku.

Aku mengekor kemanapun rak buku yang kau tuju.

“Tak ada siapapun kah di hatimu?”
“Tak ada. Atau entahlah, sebab jodoh siapa yang tahu…yang jelas aku ingin belajar dulu.”
“Sampai kapan mau sendiri?”
“Sampai dalam waktu yang lama. Anjani juga mau meneruskan studi dulu kan?” Kali ini kau hantam desir-desir di jantungku lewat panah tatapmu. Tatap yang pertama sekaligus terakhir, sebab setelah itu kita tak pernah benar-benar meluangkan waktu untuk berjumpa berdua saja.

Kekasih, apa kau tahu tentang rindu yang mengepak jauh pada langit kuasaku ini? Tak terbatas, bahkan ketika aku melewati waktu demi waktu, cerita baru, dan beberapa lelaki yang datang dan pergi dalam kehidupanku hingga akhirnya aku menemukan Mas Lanang. Laki-laki yang lebih dari sempurna untuk bisa menjadi pendampingku melewatkan hari tua kelak. Tapi adakah hari tua yang kuimpikan itu jika tanpamu? Sebab sejak gerimis senja itu aku hanya mampu bernafas bersama perasaan jatuh cinta sejak pertemuan pertama kita.

“Kehidupan masa depan seperti apa yang diinginkan oleh seorang Anjani?” Ucap Mas Lanang setahun yang lalu, pada ulang tahunku yang ke dua puluh tiga. Kami melewati makan malam yang indah di sebuah restaurant di Yogyakarta. Kala itu kami kebetulan sedang mendapat project berdua. Dua minggu penuh kami kerja berdua mensurvey sawah-sawah di seputar Sleman, Bantul hingga Kulon Progo untuk mendapatkan data pengaruh perubahan iklim terhadap aktivitas pertanian. 

Kubetulkan syalku untuk mengalihkan rasa gugup. Seperti biasa Februari selalu berkisah tentang gerimis. Sayup-sayup terdengar lagu Marry Your Daughter dari Brian McKnight mengalun menghangatkan malam yang makin dingin.

“Anjani mau banyak anak, mas.” kujawab dengan apa saja yang terlintas di otakku.
“Wah, kok bisa? Suka keramaian ya?” Mas Lanang terkekeh.
“Bukan suka keramaian. Tapi sudah bosan dengan sepi.”

Sepi tanpamu, kekasih. Apa kau tahu?

Kurang apa lagi Mas Lanang jika dibandingkan denganmu? Mas Lanang selalu ada pada setiap waktu aku butuh sedang kau hanya bisa kuamati lewat tulisan-tulisan yang termuat di laman weblog pribadimu dan media-media ibukota. Aku mengagumi semua pencapaianmu dari tempatku. Berharap kau akan segera kembali untuk menuntaskan semua pertanyaan-pertanyaan yang terlalu sering kujawab sendiri. Aku mengecek aktivitas virtualmu pada detik tiap aku rindu. Padahal tiap detik itulah aku berharap dapat mengulang pertemuan kita. Sekali saja. Bolehkah?

“Kalau mas ingin serius sama Anjani, boleh ya? Menurut Anjani, apa mas Lanang bisa jadi imam yang baik buat Anjani?”

Kosong. Gigil. Kenapa bukan kamu yang menyampaikan hal ini meski hanya lewat akun facebookmu, kekasih?

Mas Lanang yang berbadan tegap ini bahkan sudah sangat akrab dengan ayah dan ibu sebab sikapnya yang memang manis pada siapa saja membuat banyak orang mudah menyukainya. Kau? Hanya sekali waktu menyapaku lewat social media, itupun adalah sapaan yang sama yang kau berikan untuk teman-temanmu yang lainnya.

Berbeda denganmu, aku mengenal Mas Lanang sebab urusan pekerjaan. Hari ketika aku mendapatkan penghargaan atas project sosial kemasyarakatan yang kugagas bersama teman-teman untuk beberapa daerah marginal di Depok. Mas Lanang adalah seorang staf ahli pada lembaga kementrian yang memberikan apresiasinya pada kerja tim kami. Mas Lanang kemudian mengajakku untuk bekerjasama pada beberapa project yang sedang digarapnya. Dia sungguh rekan kerja yang sangat baik. Tapi tak cukup bisa menggantikan bayanganmu di sinar mataku. Oh!

Kekasih, banyak yang bilang aku dan kamu punya semacam hubungan yang tak biasa. Yang seperti kekasih. Seperti ketika kau mengabarkan lewat email-email semua prestasi-prestasimu disana lengkap dengan foto-fotomu. Dan kubalas dengan ucapan selamat yang panjang lebar.

“Adakah hatimu sudah terisi?” Kuselipkan kalimat itu dengan malu-malu pada sebuah surat.

“Anjani, aku pasti akan kembali dengan banyak cerita yang bisa kita bagi berdua saja dengan gerimis.” Kalimat yang biasa kau ucapkan diakhir surat-suratmu. 

Ah, sudah tak terhingga kuukir cerita denganmu lewat mimpi-mimpi malamku. Tapi seberapa indah mimpi jika tetap mimpi?

“Kau sahabat terbaik. Aku bangga pada semua yang telah kau raih.”

Sahabat. Sebatas sahabatkah seorang yang ingin kau ajak menyulam kisah berdua saja ketika kau kembali nanti? 

Seribu mungkin tidakcukup adil untuk membalas kebaikan Mas Lanang. Pun kudengar kisah tentangmu yang sempat bertukar rindu dengan seorang perempuan selain aku. Kau bisa mengungkapkan rindu pada perempuan itu, tapi kenapa tidak untukku? Tapi siapa aku dimatamu? Kilat rasa yang kutebus dengan harapan kosong menahun di matamu dahulu, bukankah hanya aku yang merasakan getarnya?

Kukirim chat singkat ke inboxmu. Barangkali untuk yang terakhir.

“Seorang lelaki datang padaku. Memintaku untuk menjadi istrinya.”

Rasa debar di jantungku demikian tak terlukis tatkala menanti balasan chat darimu. Hingga sebelum gerimis kembali berubah menjadi badai, air mataku menutup hari membaca pesan darimu.
           
“Jika ia lelaki yang baik, terimalah. Aku turut berbahagia.”

 Ada banyak kisah tentang pecinta yang akhirnya justru memutuskan tak menikah sebab terlalu mencintai kekasihnya namun gagal untuk memilikinya seumur hidup. Kebanyakan dari mereka memutuskan untuk menjadi traveler, penulis atau workaholic yang gila. Aku sudah menjalani itu pada hari-hari kemarin.

Jendela kaca masih basah. Rumah semakin riuh.  Seperti akan ada hajatan besar. Aku sudah duduk di pelaminan bersama Mas Lanang. Hari ini aku ingin menjadi harapan yang baik baginya, bukan sebab waktu yang tak sabar untuk menunggu, namun untuk memberi tahu pada dunia, bahwa tak ada lebih banyak lagi cinta yang sedih. Kuputuskan untuk mengakhiri semuanya.



Sajak-sajak rindu :

1.      Aku pernah melihat kau terpaku memandangku. Kukira memang itu jati diri yang kau berikan untuk semua wanita. Benar, aku memang tak ingin terlalu dini menyimpulkan. Karena itu, ijinkan aku membungkus rasa penasaranku rapat- rapat di sudut hatiku yang paling dalam, dan memberikan satu kode : aku menunggumu.
2.       Aku wanita biasa. Bukan sesuci bidadari yang dapat menghijab hatinya. Jangan salahkan waktu dan takdir jika membawa kita dalam satu fase yang sama. Mata kita beradu dan malu- malu mengatakan hal yang berbeda. Aku bilang : sekarang saja. Kau bilang : nanti dulu
3.      Kubilang aku tak suka sikapmu. Kubilang hatiku bukan permainan. Kau bersikap tak butuh. Aku menjawab acuh. Kita angkuh. Lalu, makin terpisah jauh.
4.      Mataku berkaca. Pipi sudah kering, karena telah sembab dari kemarin. Aku tau cintamu masih sama. Namun hatiku, telah dibeli mahal oleh dia yang berjiwa kesatria. Kini kuberi kau satu nasehat : cinta adalah sama dengan lomba lari. Dan aku adalah garis finishnya.




Terinspirasi dari Sajak Februari Karya Helvy Tiana Rosa



1
cinta adalah rasa
yang kuucap dalam setiap desah
dan cuaca
tak sampai-sampai getarnya padamu
2
setiap hari embun meneteskan kesetiaannya pada pagi
seperti aku yang tak pernah berhenti menari
dalam mimpi tentangmu
dan jatuh
3
maka kutanyakan pada mungkin
ia memandangku dengan mata kaca
mengecup luka dan berkata
pergi dan pakailah kerudung airmatamu
sebab tak ada tempat untuk cinta di sini
4
Engkaukah itu yang berkata?
Semua pejalan di bumi, semua pencinta
pasti akan menderita
tapi bagaimana agar tiap gerak berarti
hingga malaikat pun sudi mengecup
semua luka kita yang mawar
engkaukah itu yang berkata, cinta?
sementara diam-diam kita berikan
keping luka dan risau kita
pada angin yang tak desau
5
Di dalam bis yang membawa banyak orang,
Kau cari aku hari itu.
Tapi kau tak tahu
aku telah mencarimu sejak pertemuan pertama kita
Mengapa kau sisakan peta buram yang sama
hingga aku tak pernah bisa menatap punggungmu
Di antara dinding dingin di sekitar kita
kau cari aku hari itu
tapi kau tak tahu
aku telah mencarimu bermusim-musim
dan selalu hanya pilu
yang memeluk dan membujukku
Pulanglah, kau sudah begitu lelah
6
Begitulah
kata telah lama berhenti
pada napas dan airmata
Di manakah kau, di manakah aku?
Labirin ini begitu sunyi
dan cinta terus sembunyi
7
Seperti gelombang yang setia pada lautan
aku telah lama kau campakkan
ke pantai paling rindu itu
tapi sebagai ombak aku memang harus kembali
meski dengan luka yang paling badai
8
Begitulah perempuanmu
memintal lalu menguraikan kembali
kenangan di sepanjang jalan kaca yang retak itu
Kau mungkin lupa pernah
menitipkan kilat asa di mataku
yang menjelma beliung
namun tak perlu bulan, lilin atau kunang-kunang
selalu kutemukan jejak juga napasmu
di jalan raya kehidupanku
Membayangkan wajahmu aku pun bermimpi
tentang matahari lain yang menyala suatu masa
Mungkin kita bisa saling memandang lama
melepas beliung abai yang menyiksa selama ini
9
:Aku telah berjuang untuk melupakanmu
Seperti baru kemarin kau datang dan kita bicara
sambil menatap ubin, dinding dan pohon jambu itu
Kau bilang tak mungkin, sebab
ada yang lebih penting kau selesaikan
Seperti angin yang tak sadar disapa waktu
aku berpura tak mendengar
Dia akan datang, kataku.
Tapi katamu, kau akan datang setelah urusan selesai.
Bagaimana kalau dia yang tiba lebih dahulu?
Siapakah yang harus kuabaikan?
Siapa yang perlu kulupakan?
Kita terdiam mengamini ubin, dinding dan pohon jambu
suara sapu ibu kos di ruang tamu, kendaraan lalu lalang
beberapa mahasiswa dengan jaket kuning melintas
mungkin sebentar lagi gerimis
Dalam sepi itu tiba-tiba kita pun teringat
perkataan seorang sahabat
Katanya kita punya sesuatu, semacam hubungan indah,
yang tak bisa dirumuskan
Ketika kau pulang senja itu
aku tahu mungkin kita tak akan berjumpa lagi
untuk waktu yang lebih dari lama
Menyakitkan, tapi bukankah
tak semua kebersamaan
harus jadi monumen
kadang lebih baik dibuang
biar usang dalam tong sampah
10
Dan akhir adalah permulaan
kau aku tak pernah menapaki mula
juga mungkin tak pernah sampai
pada selesai
seperti puisi yang kutanam
di kuntum hatimu
11
Hai
katamu aku tetap perempuan itu
tak henti menyelami lautan huruf
demi yang Maha Cinta
dan kau sangat tahu
atas nama cinta pula
telah kuputuskan berhenti
menuliskan kenangan tersisa
titik tanpa koma