Selasa, 04 November 2014

SEVEN DEADLY SINS DAN DOSA KEBODOHAN



Dunia maya memang ibarat belantara asing. Luas, namun tanpa arah. Pekan ini, ramai diberitakan ihwal penangkapan administrator akun Twitter @TM2000 oleh Penyidik Subdit Cyber Crime, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. RN disinyalir melakukan tindakan pemerasan terhadap salah satu petinggi PT. Telkom, berinisial AS. RN juga diduga sebagai aktor interlektual di balik penyerangan akun twitter tersebut. Jamak kita ketahui, sebelum berganti nama menjadi @TM2000, akun ini bernama @TrioMacan2000. Akun yang mahsyur karena sering memberi kritik politik pedas pada para politikus Indonesia ini juga sempat membuat heboh lini massa ketika sempat memunculkan isu perselingkuhan Inggrid Kansil, istri mantan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Syarief Hasan dengan Ryan Syarif (CNNIndonesia, 2014).
Kasus diatas hanyalah satu dari ratusan atau lebih kasus yang menjamur di dunia maya baik di dalam maupun di luar kendali tim penyidik. Pekan ini, jagad dunia maya juga digemparkan oleh kasus MA yang menghina Presiden Jokowi lewat fitur gambar. Selain itu, kita telah kenyang dan kritis pada banyak akun juga situs-situs yang terkenal melakukan aksi propaganda ke masyarakat maya dengan menyebarkan fitnah atau kebencian.
Dunia dalam jejaring (daring) dipenuhi oleh manusia-manusia yang mengerti teknologi digital, namun sebagai manusia mereka tentu memiliki motif yang berbeda-beda. Dunia bayang-bayang ini tidak hanya berisi manusia berpengetahuan yang menyebarkan kebaikan, namun juga jenis manusia yang tidak bertanggung jawab. Motif bisnis, politik, sosial, budaya bahkan sekadar iseng-iseng berjalin-kelindan menjadi satu. Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang menunjukan kesetiaannya terhadap moralitas, namun dalam dunia digital ia adalah manusia ingkar. Sebaliknya, di alam nyata ia adalah sejenis manusia yang tidak patuh terhadap moralitas, namun di dunia maya ia memoles kepribadiannya tersebut melalui citra virtual.
            Saya ingin menarasikan sebuah paradoks, atau mungkin layak juga disebut ironi. Begini. Setiap hari saya menulis berita. Berita saya mengandung 5W+1H layaknya hardnews, saya unggah di laman dotcom dan dibaca oleh minimal ribuan pembaca tiap harinya. Apakah saya seorang jurnalis? Bukan. Saya hanya seorang kepepet yang kadang butuh uang untuk makan dan membeli buku. Saya adalah kacung dari tuan dotcom (pemilik ratusan domain dotcom) yang dikelola untuk menjadi lahan subur bagi dollar.
Saya tidak melakukan kerja-kerja jurnalistik. Dalam menghasilkan berita, jika kebetulan saya sedang senggang, maka berita akan saya sunting dan verifikasi berdasar teknik perbandingan sumber berita mayoritas. Tapi jika saya sedang sibuk --jika tidak layak menyebut malas-- tak jarang saya hanya melakukan kerja copy-paste dari sumber mana suka untuk memenuhi tenggat pekerjaan. Berita produk copy-paste itu tersebar luas dan nyatanya mendapat minimal viewer mencapai angka puluhribu dalam hitungan jam. Viewer terkonversi menjadi Dollar. Dollar diperoleh Bos saya. Saya puas hanya dengan recehan.
Situs itu memakai nama dan design meyakinkan hingga tampil layaknya portal berita profesional. Siapa saja 'jurnalis' situs dotcom itu? Saya juga tidak tahu. Maaf, saya menjadi buruh ketika benar-benar kepepet. Bos saya tiap bulan bisa saja ganti-ganti. Seringnya, kami jarang kenal atau bertatap muka. Jika relasi dengan Bos saja begitu, apalagi antar buruhnya --yang saya tak tahu kualitas mereka; mungkin lebih baik atau lebih buruk dari saya. Pertanyaan akhirnya, kenapa saya mau melakukan pekerjaan semacam itu? Dalam hal ini, kembali saya menjawab ringan,”Apa anda yakin bahwa yang saya ceritakan itu memang benar saya pribadi atau saya hanya sekadar menarasikan?”. Itulah absurditas dunia dalam jejaring.
Kovach dan Rosenstiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme (2001) memaparkan sembilan unsur yang menjadi keabsahan laporan jurnalistik. Hal pertama dan utama yang selalu menjadi perdebatan adalah perihal kebenaran. Dalam setiap isu, masyarakat akan selalu bertanya : Kebenaran yang mana? Kebenaran menurut siapa? Bukankah tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat pemikiran punya dasar perihal kebenaran yang tidak sama identik sama satu dengan yang lain?
Kebenaran jurnalisme media menurut Kovach adalah apa yang disebut sebagai kebenaran fungsional, yakni tentang prosedur dan proses. Kebenaran dalam jurnalisme adalah terlaksananya teknik penggalian informasi serta disiplin verifikasi. Jamak dalam semua profesi, sebenarnya memberlakukan kebenaran sejenis. Polisi, hakim, guru, pemimpin perusahaan adalah para justifier kebenaran fungsional. Kebenaran dalam jurnalisme bukanlah kebenaran secara hakikat, filsafati, namun sebatas kebutuhan seseorang kepada informasi yang faktual dan aktual.
Problematikanya adalah, jika projournalism (jurnalisme profesional) bekerja berdasar sembilan iman jurnalistik Bill Kovach, yang masih sangat memperhatikan kebenaran fungsional, lalu dengan apa situs-situs dotcom tersebut bekerja? Seven Deadly Sins.
Lukas Luwarso dalam buku Pelanggaran Etika Pers (2007) menyebut ketujuh dosa besar itu adalah : Penyimpangan informasi, dramatisasi fakta, serangan privasi, pembunuhan karakter, eksploitasi seks, meracuni pikiran anak dan penyalahgunaan kekuasaan. Sayangnya, tujuh dosa besar itulah yang memiliki lahan Dollar di Indonesia. Situs-situs dengan topik seks, hiburan dan kecantikan tercatat paling banyak diakses dalam negeri darurat karakter ini.
Seven Deadly Sins adalah iman para bos peternak dotcom (yang kadang tak malu menyebut diri melakukan kerja citizen journalism). Berdasarkan iman seven deadly sins, situs-situs itu dapat mengelola ratusan domain per hari hanya dengan memainkan kata kunci untuk menyusun artikel hingga jebakan-jebakan pada level judul. Mereka sangat paham budaya masyarakat yang gemar bergosip dan anehnya kehidupannya menjadi sangat dinamis berkat gosip. Mereka sangat paham bahwa hari ini banyak orang justru ingin menunjukkan bahwa saya tahu lebih dulu, saya tahu lebih cepat, dan saya tahu lebih banyak. Maka, berlomba-lombalah orang mengumpulkan berita, berkomentar, menyebarluaskan kejadian atau informasi lewat media digital yang tidak dikekang-kekang, tidak disunting-sunting, tidak dikontrol oleh pemilik media.
Hiperrealitas dunia maya membuat manusia menjadi asing dengan dirinya dan dunia sekitarnya. Yasraf Amir Pilliang (2011) menyebut hiperrealitas sebagai sebuah kondisi terhadap matinya realitas, yaitu diambilnya posisi realitas itu oleh apa yang sebelumnya disebut nonrealitas. Ia mewujudkan dirinya menjadi realitas artifisial yang bersifat faktual, lewat kemampuan sains dan teknologi seni dan citra. Ia adalah sebuah kondisi yang di dalamnya prinsip-prinsip realitas telah dilampaui dan diambil alih oleh substitusi yang tercipta secara artifisial lewat sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akibatnya, banyak orang mati-matian membela antau menyebar fitnah dan caci maki pada Nabi-Nabi baru dalam dunia jejaring, dengan kerelaan, tanpa memperoleh sanjungan apalagi imbalan.
Selamat datang pada mazhab berita dimana orang merasa bebas untuk menyampaikan apa yang saya ingin sampaikan tanpa rasa was-was, tanpa rasa malu ataupun bersalah. Toh, kalau kemudian ternyata apa yang  diwartakan tak sesuai kenyataan, itu adalah hal gampang, tinggal koreksi dan buat saja berita baru. Untuk situs detikan, hal tersebut adalah lahan subur bagi Dollar.

Ditulis oleh Kalis Mardi Asih
Lembaga Pers Mahasiswa Islam, HMI Cabang Surakarta
Top of Form

Kapitalisasi Perempuan dan Ekofeminisme



Perempuan abad 21 adalah perempuan bebas, merdeka. Stereotype 3 M alias Masak, Macak, Manak adalah olok-olok masa lampau yang tak berlaku di zaman penuh gemerlap modernitas. Perempuan sudah begitu jauh melampaui dan menembus tapal sekat domestifikasi hingga di jalanan dan di media cetak maupun elektronik penuh dengan citra perempuan, sebuah citra paradoks yang sayangnya terbatas pada obsesi imajinasi iklan. Citra perempuan adalah citra kecantikan yang diwakili oleh tubuh langsing, kulit putih mulus, serta rambut hitam lurus.
Perempuan dalam obsesi iklan hanyalah salah satu contoh bagaimana kapitalisme menjadikan manusia tak lebih dari sekadar objek-objek tanpa entitas ruh, akal serta imajinasi. Kita akan menengok para perempuan heroik, nun jauh di Kabupaten Rembang, tepatnya di jalur Pegunungan Kendeng. Hampir enam bulan kaum perempuan melakukan aksi menentang pembangunan pabrik semen oleh PT. Semen Indonesia (Tbk) yang mereka anggap akan memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan alam tempat mereka tinggal.
Aksi dipimpin oleh Yu Sukinah bersama 88 Ibu lainnya dimana tercatat 7 orang diantaranya hamil (Candraningrum dalam Seminar Ekofeminisme di Jurusan Sosiologi FISIP UNS, 2014). Mereka teguh tinggal di tenda-tenda, menyuarakan kehendak menolak industrialisasi di kawasan karst jalur Pegunungan Kendeng. Mereka lantang berteriak agar para komprador kapitalis tidak merampas hak hidup mereka, sebab alam bagi mereka adalah kehidupan. Pegunungan Kendeng adalah Ibu yang memberikan limpahan air kehidupan bagi masyarakat Kabupaten Pati, Rembang dan Blora. Kapitalisme merongrong perempuan. Perempuan bergerak melawan kapitalisme.
Buku berjudul Ekofeminisme II, Narasi Iman, Mitos, Air&Tanah (Jalasutra,2013) menarasikan berbagai upaya industri dalam mengkapitalisasi perempuan dalam berbagai wajah mengerikan. Perempuan di satu sisi menjadi alam yang tinggi dan luhur seperti tergambar dalam idiom ibu pertiwi, gunung, laut. Di sisi lain, perempuan berdasar mitos-mitos dalam masyarakat juga sering disamakan dengan konotasi negatif, yaitu dengan tanah (lahan garapan), bunga, ayam, malam dan bulan.
Narasi perempuan yang bekerja juga menyisakan ironi dalam industri-industri rumahan. Perempuan bekerja membatik di rumah (home workers), industri memanipulasi rumah yang berubah menjadi industri (secara fisik maupun ruh) dengan sistem POS (Putting Out System). Relasi produksi informal memanfaatkan perempuan dan ruang domestik perempuan sebagai arena produksi batik dengan upah yang sangat rendah atas nama efisiensi biaya. Pandangan bahwa perempuan bekerja hanyalah sebagai tambahan (daripada menganggur saja tanpa produktifitas) mengesahkan pemberian upah rendah pada perempuan. Akibatnya, jamak kita lihat pabrik-pabrik hari ini lebih senang mempekerjakan perempuan sebagai buruh, daripada laki-laki.
Melalui POS, industri tidak perlu menyediakan tempat, peralatan kerja, fasilitas kerja dan pendukungnya seperti air, listrik, peralatan batik, dan lainnya (Hunga, 2013:189). POS adalah juga gabungan wajah penindasan kembar antara patriarki dan kapitalisme ketika industri tidak menyediakan jaminan biaya bagi pekerja seperti makan, transport, kesehatan, dan kecelakaan. Inilah manipulasi ruang domestik yang mewujudkan cita-cita besar kapitalisme, yakni minimalisasi cost production yang berasal dari tenaga manusia untuk menghasilkan jumlah produksi sebesar-besarnya.
Skema industri rumahan menghasilkan efek yang tak sesuai dengan keuntungan berupa upah tambahan , yakni kerusakan ekologis yang serius dan mengancam. Setiap tahunnya, industri batik memproduksi kadar emisi CO2 tertinggi di antara sektor UKM lainnya, yang umumnya merupakan hasil dari ketergantungan  akan bahan bakar (minyak tanah) dan penggunaan listrik yang tinggi. Sejumlah besar UKM batik juga masih menggunakan lilin, pewarna kimia serta pemutih secara berlebihan yang memiliki dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat (Hunga,2004; Clean Batik Initiative, The German-Indonesian Chamber of Industry and Commerce-EKONID, 2011). Industri rumahan dengan pola POS membuka peluang kerusakan ekologis skala rumah tangga dan perkampungan tanpa mendapat jaminan rehabilitasi lingkungan dari Pemerintah maupun industri.



Gerakan Ekofeminisme

Perspektif ekofeminisme mempromosikan strategi perlindungan relasi perempuan dan hak-haknya terkait alam dan lingkungan. Identitas ekologis penting untuk dibangun melalui agenda-agenda politik yang membentuk kesadaran dan perilaku perempuan terhadap lingkungan. Ekofeminisme membongkar ihwal keterkaitan manusia dengan alam yang tidak terkait gender. Perempuan Indonesia jamak memiliki kearifan khas perempuan mengenai bagaimana mengelola sumber daya lokal. Perempuan Indonesia mempunyai pengetahuan yang mendalam dan sistematis mengenai proses-proses alam serta meyakini bahwa keyakinan alam harus selalu dipulihkan. Narasi restrukturisasi ekonomi global yang mengkapitalisasi perempuan dan alam harus dilawan, bukan dengan culture based tapi nature based.
Antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai pusat wacana membuat kehendak akan kebenaran mengesampingkan kehendak akan kehidupan. Kehendak akan kebenaran modernitas dan globalitas mengesahkan mesin-mesin menggantikan hubungan intim manusia dengan alam. Kita telah semakin jauh dengan paparan Rozsak (1992) dalam Candraningrum (2014) yakni,”Ecopsychology seeks to heal the more fundamental alienation between the person and the natural environment.” Manusia telah mengalienasikan diri dari alam. Upaya penyatuan manusia dengan alam yang biasa termanifestasi dalam berbagai upacara, syukuran dan perjamuan tradisional adalah tahayul dalam narasi modernitas.

ditulis oleh Kalis Mardi Asih. Lembaga Pers Mahasiswa Islam, HMI Cabang Surakarta