Senin, 25 Agustus 2014

Kata dan Kuasa



Kita, manusia yang berpijak, mengambil manfaat dan menjalani kehidupan di atas tanah Indonesia ini telah sama-sama menginsafi diri untuk berkhidmat sebagai bangsa yang satu sejak dibacakannya teks Proklamasi 1945. Adapun Negara, kemudian kita sepakati sebagai sebuah institusi yang didalamnya kita berjuang bersama untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan sebagaimana tersebut dalam naskah pembukaan UUD 1945. 

Di dalam institusi ini kita memercayakan tugas-tugas kenegaraan kepada para wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Kita juga mengangkat seorang pemimpin dan wakilnya yang kita sebut sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Namun bagaimanapun¸ kita tetap bersepakat bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat. Apa yang baik bagi rakyat, baik itu sistem pendididikan, sumber daya alam untuk pemenuhan hajat hidup serta kebutuhan untuk berserikat dan berkumpul adalah sesuatu yang sedang kita usahakan sejak dahulu hingga selama-lamanya waktu yang dikaruniakan Tuhan YME untuk menjaga Republik kita tercinta.

Lalu bagaimana pola hubungan yang nyata terjadi antara rakyat, pemimpin dan Negara? Sistem hubung apa yang dibangun agar terbentuk rakyat yang merupakan simbol dari sebuah lapis kekuatan sosial yang juga menjalankan sebuah sistem Pemerintahan di luar kesadarannya? Lewat apa dan bagaimana landasannya? Bagaimana kekuatan rakyat pernah benar menjadi padu dalam satu komando kepemimpinan?

Ferdinand de Saussure sebagai bapak bahasa strukturalis pernah memperkenalkan konsep langue dan parole, dimana langue mewakili kaidah suatu bahasa dan parole mewakili praktik bahasa dalam sebuah masyarakat bahasa. Ia membantah pendapat Derrida dengan mengutarakan pendapat bahwa bahasa lisan tetap lebih utama dari bahasa tulis yang selama itu dianggap lebih memiliki prestise. Bahasa lisan bagi Saussure adalah objek kajian utama linguistik karena lebih dekat kepada petanda (signified).

Di depan corong radio di Surabaya pada 10 November 1945 pernah terdengar pekik takbir yang menggema di udara dari seorang Sutomo atau lebih dikenal dengan Bung Tomo. Seruan “Merdeka atau Mati”  berhasil membakar kembali perjuangan rakyat Surabaya di tengah ancaman Inggris dan NICA Belanda. Berkat pidato, rakyat Surabaya tidak takluk untuk menyerahkan senjata dan tidak datang pada Inggris dengan membawa bendera putih sebagai tanda  penyerahan diri. Kata-kata dalam pidato Bung Tomo menjadi semacam kekuatan yang memberi keyakinan pada rakyat bahwa mati demi memperjuangkan kemerdekaan adalah lebih baik daripada menyerah kepada bangsa penjajah.

Kemasyhuran Soekarno dalam berpidato bukan cerita baru bagi bangsa ini. Manakala Bapak bangsa itu lantang berkata-kata, lautan manusia hening dan khidmat, hanyut dalam sebuah decak kagum. Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia disebut bahwa Soekarno pidato di depan publik HBS pertama kali pada usia 16 tahun untuk membahas buah-buah pikiran dan cita-cita. Kelak ketika ia melanjutkan studi ke Technische Hoogeschool te Bandoeng, Bandung dan Jakarta menjadi saksi dimana si Singa Podium ini dapat menggerakkan rakyat untuk mendengar propaganda perlawanannya hingga Belanda pun kewalahan dan berkali-kali ia dicekal karena dianggap berbahaya.

Di era orde lama, tokoh-tokoh Masyumi mashyur berpidato dalam debat Dewan Konstituante pada tahun 1958. Debat mengenai dasar Negara menjadi catatan sejarah yang tidak boleh dilupakan begitu saja. Asas Islam, Asas Komunis dan Pancasila pernah menjadi sebuah konsepsi yang bertarung dalam sebuah mimbar panas namun penuh kesantunan berlandas keyakinan dan gagasan-gagasan ilmiah. Ujung sidang penuh ketegangan itu akhirnya mendorong Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang berbunyi: Kembali pada UUD 1945, Demokrasi Terpimpin dan Pembubaran Dewan Konstituante.

Begitulah, pada masa perjuangan, kata tidak hanya menjadi sebuah petanda yang mewakili reference namun juga kuasa untuk menggerakkan orang lain. Hari ini, ketika semua orang mengagungkan kata demokrasi, berebut bangga karena keran informasi terbuka dari dan untuk siapa saja, namun kata-kata kehilangan makna dan kuasa.

Pidato Presiden SBY pada tiap peringatan ulang tahun kemerdekaan Republik selama 10 tahun tidak tercatat sebagai sesuatu yang penting bagi rakyat. Rakyat sibuk dengan urusan masing-masing, berpikir tentang biaya hidup dan pendidikan anak yang semakin mahal tanpa merasa butuh mendengar apa yang dipetuahkan oleh SBY. Kata SBY tak berkuasa untuk mengubah kehendak maupun nasib rakyat. Pula, lagu-lagu karya SBY yang digubah lewat kata-kata tidak memiliki daya jika harus bersaing dengan lagu-lagu dangdut yang dipromosikan lewat aneka goyangan selebritis di televisi.

Belum lama ini, Republik mencatat sebuah gelombang massa yang bangkit demi memenangkan seorang Presiden terpilih, Jokowi. Dalam konser dua jari itu Jokowi membacakan maklumat bertajuk “Revolusi Mental”, dimana Jokowi mengajak rakyat untuk membulatkan tekad, menyatukan hati dan bekerja keras sebagai tanggung jawab untuk melakukan perubahan demi kebaikan Indonesia. Puluhan ribu pendukung mendengarkan sambil mengacungkan simbol dua jari ke atas berbentuk huruf V. Kita boleh memiliki harapan, semoga rakyat datang karena ingin melihat pemimpin dari dekat dan mendengar pidato Jokowi, bukan hanya lantaran hiburan dari artis-artis Ibukota yang turut memeriahkan acara.

Kata-kata juga dapat menjadi bedak yang memoles wajah penguasa. Yasraf Amir Piliang memunculkan istilah politik kosmetika untuk menanggapi situasi yang berkembang dalam riuh konstelasi politik tahun ini. Politik ideologi yang merupakan pertarungan antara ide, gagasan, keyakinan dan makna, hari ini dikalahkan oleh politik kosmetika yang mengedepankan penampakan dan citra semata-mata.

Demikian, kata-kata dalam sebuah pertarungan politik dibeli dengan harga yang mahal dari ahli komunikasi sebuah lembaga konsultasi politik. Banyak lembaga konsultasi politik yang menaikkan harga hanya untuk memenuhi ambisi para penguasa untuk berkuasa. Tapi kata-kata yang mahal itu sesungguhnya rapuh dan tidak memiliki kekuatan yang menggerakkan daya dan jiwa rakyat. Bung Tomo, Sukarno, dan Para tokoh yang kita kenang karena orasinya yang menggetarkan itu telah mati. Zaman politik kosmetik ini, rakyat tidak bergerak ke Lapangan Banteng sebab seruan kata-kata pemimpin, rakyat bergerak karena nasi bungkus dan lembar ribuan. Kata-kata menguap bersama angin dan polusi udara di Ibu Kota, lalu hilang entah kemana.