Jumat, 19 Agustus 2011

Janji Kemerdekaan- Oleh Anies Baswedan*

Kibarannya membanggakan. Merah-Putih berkibar gagah di tiang bambu depan rumah batu. Rumah sepetak kecil, alasnya tanah dan atapnya genting berlumut. Di tepi rel kereta tak jauh dari stasiun Jatibarang. Rumah batu itu polos tanpa polesan material mewah.
Pemiliknya jelas masih miskin. Tapi dia pasang tinggi bendera kebanggaannya. Seakan dia kirim pesan bagi ribuan penumpang kereta yang tiap hari lewat depan rumahnya: Kami juga pemilik sah republik ini, dan kami percaya di bawah bendera ini suatu saat kami juga akan sejahtera !

Yang miskin nyatakan cinta dan bangga pada negerinya. Keseharian hidupnya mungkin sulit, mungkin serba kerontang. Mungkin tak punya tabungan di bank, tapi tabungan cintanya pada Republik ini luar biasa banyak. Negeri ini dicintai dan dibanggakan. Rakyatnya cinta tanpa syarat.

Tiap memasuki bulan Agustus ada rasa bangga. Kemerdekaan diongkosi dengan perjuangan. Di tiap hela napas anak bangsa hari ini, ada tanda pahala para pejuang, para perintis kemerdekaan.

Jangan pernah lupa bahwa saat merdeka mayoritas penduduknya serba sulit. Hanya 5% rakyat yang melek huruf. Siapapun hari ini, jika menengok ke masa lalunya maka masih jelas terlihat jejak ketertinggalan adalah bagian dari sejarah keluarganya. Kemiskinan dan keterbelakangan adalah baju bersama di masa lalu.
Republik ini didirikan bukan sekadar untuk menggulung kolonialisme tapi untuk menggelar keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Republik hadir untuk melindungi, mensejahterakan, dan mencerdaskan rakyatnya serta memungkinkan berperan dalam tataran dunia.
Isi Pembukaan UUD 1945 selama ini diartikan sebagai cita-cita. Cita-cita kemerdekaan adalah kata kunci paling tersohor. Istilah cita-cita kemerdekaan adalah istilah yang sudah jamak dipakai dalam mengilustrasikan tujuan republik ini. Tapi ada ganjalan fundamental disini.

Kemerdekaan perlu beri ekspresi yang lebih fundamental, bukan sekadar bercita-cita. Lewat kemerdekaan, sesungguhnya Republik ini berjanji. Narasi di Pembukaan UUD 1945 bukanlah ekspresi cita-cita semata, tapi itu adalah janji. Pada setiap anak bangsa dijanjikan perlindungan, kesejahteraan, pencerdasan dan bisa berperan di dunia global. Republik ini dibangun dengan ikatan janji!

Cita-cita itu adalah harapan, dan ia bisa tidak mengikat. Secara bahasa cita-cita itu bermakna keinginan (kehendak) yg selalu ada di dalam pikiran atau dapat juga diartikan sebagai sebuah tujuan yang
hendak dilaksanakan. Bila tercapai cita-citanya maka akan disyukuri. Tapi, jika tidak tercapai maka cita-cita bisa direvisi. Ada komponen ketidakpastian yang abstrak pada kata cita-cita. Indonesia hadir bukan sekadar untuk sesuatu yang didalamnya mengandung komponen yang belum tentu bisa dicapai. Sudah saatnya tidak lagi menyebutnya sebagai cita-cita tapi mulai menyebutnya sebagai Janji Kemerdekaan.

Berbeda dengan cita-cita, sebuah janji adalah kesediaan, kesanggupan untuk berbuat, untuk memenuhi dan untuk mencapai. Janji adalah hutang yang harus dilunasi. Janji memberikan komponen kepastian. Janji itu kongkret. Janji tidak abstrak dan uncertain. Republik ini bukan sekadar bercita-cita tapi berjanji mensejahterakan dan mencerdaskan tiap anak bangsa.

Hari ini janji itu telah dilunasi bagi sebagian rakyat. Sebagian rakyat sudah tersejahterakan, tercerdaskan, terlindungi dan bisa berperan di dunia global. Mereka sudah mandiri. Mereka tak lagi tergantung pada negara mulai dari soal kehidupan ekonomi keseharian, pendidikan, sampai dengan kesehatan. Ya pada mereka, janji kemerdekaan itu sudah dibayar lunas.
Tapi masih jauh lebih banyak yang kepadanya janji itu belum dilunasi. Bangsa ini perlu melihat usaha mencerdaskan dan mensejahterakan bukan sekadar meraih cita-cita tapi sebagai pelunasan janji kemerdekaan. Pelunasan janji itu bukan cuma tanggung-jawab konstitusional negara dan pemerintah tapi juga tanggung jawab moral setiap anak bangsa yang kepadanya janji itu telah dilunasi: telah terlindungi, tersejahterakan, dan tercerdaskan.
Jangan lupa dahulu seluruh rakyat sama-sama miskin, buta huruf, terjajah dan terbelakang. Mayoritas mereka yang hari ini sudah tersejahterakan dan tercerdaskan mendapatkannya lewat keterdidikan. Pendidikan di Republik ini adalah eskalator sosial ekonomi; keterdidikan mengangkat derajat secara kolosal jutaan rakyat untuk mendapatkan yang dijanjikan: tercerdaskan dan tersejahterakan.
Saat Republik ini didirikan semua turun tangan menegakkan Merah-Putih, menggulung kolonialisme. Ada yang sumbang tenaga, harta dan banyak sumbangannya nyawa. Mereka menegakkan bendera tanpa minta syarat agar anak-cucunya nanti lebih sejahtera dari yang lain. Semua paham adanya janji bersama untuk menggelar kesejahteraan bagi semua. Itu bukan sekadar cita-cita. Kini bendera itu sudah tegak, makin tinggi dan dibawah kibarannya, janji kemerdekaan harus dilunasi untuk semua.
Bayangkan di kampung kecil pinggiran kota, di rumah kayu ala kadarnya. Kabel listriknya berseliweran dipakai gantungan dan aliran listrik lampu kecil. Dibawah sinar lampu seadanya beberapa orang bersila diatas tikar membincangkan rencana perayaaan kemerdekaan di kampungnya. Mereka belum sejahtera dan mereka akan rayakan kemerdekaan !

Tidak pantas rasanya terus menerus merayakan kemerdekaan sambil berbisik memohon maaf bagi mereka yang belum terlindungi, belum tercerdaskan dan belum tersejahterakan. Bangun kesadaran baru bahwa usaha ini sebagai pemenuhan janji. Sebagai janji ia mengikat, bisa mengajak semua ikut melunasinya dan agar semua lebih yakin bahwa janji itu untuk dilunasi.
Perayaan kemerdekaan bukan sekadar pengingat gelora perjuangan. Merayaan kemerdekaan adalah meneguhkan janji.  Biarkan pemilik rumah batu itu menerawang kibaran Merah-Putih di rumahnya sambil senyum membayangkan bahwa dia dan anak-cucunya akan tersejahterakan dan tercerdaskan. Semua bangga jika perayaan Kemerdekaan adalah perayaan lunasnya janji kemerdekaan bagi tiap anak bangsa.


Anies Baswedan
Rektor Universitas Paramadina
@aniesbaswedan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar