Selasa, 25 Maret 2014

Menyemai Pendidikan Spiritualisme Kritis



Esai ini saya tulis untuk menanggapi esai berjudul “Anak Muda dan Problem Pendidikan Kita” yang ditulis oleh Anwar Noeris di Harian Jogja (14/3/2014). Esai itu bermaksud menanggapi kasus pembunuhan Ade Sara Angelina (19), seorang mahasiswa Universitas Budi Mulia oleh Hafiz (19) dan pacarnya Assyifa (19) yang sempat menggegerkan publik pekan lalu. Menurut Anwar, kasus tersebut  membuktikan kegagalan sistem pendidikan kita.
Nilai-nilai pendidikan yang didapat pelaku, seolah tidak berkesan apa-apa terhadap dunia riilnya. Anwar kemudian menduga bahwa hal ini disebabkan karena sistem pendidikan di Indonesia telah terpengaruh oleh sistem pendidikan sekuler modern yang melahirkan jiwa-jiwa sekuler, pikiran-pikiran yang berbasis kesenangan semata dan berfoya-foya. Bagi Anwar, solusi yang paling tepat untuk mengatasi “pengaruh buruk” tersebut adalah  sistem pendidikan islam, yang konsentrasinya adalah pembentukan nilai-nilai kepribadian yang agamis.
Saya pribadi memakai kacamata lain dalam melihat kasus pembunuhan berencana diatas, yakni kita tak dapat langsung menujukan kesalahan pada pendidikan formal yang gagal. Saya lebih senang menyoroti teori perkembangan kognitif yang dicetuskan oleh Pakar Psikologi Jean Piaget (1896-1980) dalam buku Life Span Development. Menurut teori tersebut, tersangka pembunuhan yang berusia 19 tahun dapat dikategorikan ke dalam tahap operasional formal. Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif yang mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai.
Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini menandai masuknya anak ke dunia dewasa baik secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Namun faktanya, tidak semua anak berhasil melalui fase ini dengan sempurna. Konteks sosial yang merupakan salah satu sudut pandang dari perkembangan kognitif menyatakan bahwa lingkungan sosial dan budaya akan memberikan pengaruh terbesar terhadap pembentukan kognisi dan pemikiran anak. Seperti kita ketahui, di era keterbukaan informasi hari ini, anak-anak banyak sekali mendapat input yang berasal dari sumber yang tak terbatas melalui beberapa klik saja serta banyak citra yang ditangkapnya lewat berbagai tontonan.
Selanjutnya, solusi yang ditawarkan Anwar juga sangat utopis sekaligus hanya kembali pada “status quo” mengingat sistem pendidikan nasional kita sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 20 tahun 2003 sebenarnya sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai islam. Sebagaimana kita tahu, pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jelas, tak ada yang salah dengan desain sistem pendidikan kita.
Nilai sekuler modern yang diduga melahirkan sikap-sikap negatif ini justru akan mengalami logika terbalik jika dihadapkan dengan solusi berupa agama monotheis (islam). Hal yang paling utama dari kesadaran modern sesungguhnya adalah kemampuan berpikir kritis. Buah rasio adalah buah yang paling patut disyukuri dalam gejala modernitas yang merupakan sebuah keniscayaan hari ini.
Namun, ketika rasionalitas berkembang, banyak orang yang justru mencurigai agama-agama monotheis. Kesalahan kaum sekularis yang menolak kehadiran agama adalah justru membiarkan agama jatuh ke tangan kaum fundamentalis. Akibatnya, hari ini yang kita lihat adalah gap yang lebar antara kaum sekuler dengan kaum fundamental yang sebenarnya tidak sedang benar-benar memperjuangkan kebenaran universal, melainkan membela sisi egosentrisme masing-masing.
Spiritualisme kritis, istilah yang dipopulerkan oleh Ayu Utami membawa sebuah ide agar kita tidak latah menghadapi modernisme. Kita memang butuh merebut kembali agama-agama monotheis untuk menafsirkannya kembali dengan lebih terbuka.
Hal ini bertepatan dengan momen uji coba Kurikulum 2013 yang memperbanyak porsi bagi pelajaran Agama dan juga Pendidikan Kewarganegaraan sebagai klaim pembentukan karakter bagi anak. Alih-alih membentuk karakter, dua pelajaran yang bersifat dogmatis tersebut justru dapat memicu timbulnya generasi pro kekerasan dan anti toleransi jika tidak diajarkan secara progresif. Disinilah pentingnya menyemai pendidikan spiritualisme kritis. Yakni sebuah upaya untuk membumikan kembali nilai-nilai kebenaran universal dalam bahasa yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari dan fitrah alamiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar