Esai ini saya
tulis untuk menanggapi esai berjudul “Anak Muda dan Problem Pendidikan Kita”
yang ditulis oleh Anwar Noeris di Harian Jogja (14/3/2014). Esai itu bermaksud
menanggapi kasus pembunuhan Ade Sara Angelina (19), seorang mahasiswa
Universitas Budi Mulia oleh Hafiz (19) dan pacarnya Assyifa (19) yang sempat
menggegerkan publik pekan lalu. Menurut Anwar, kasus tersebut membuktikan kegagalan sistem pendidikan kita.
Nilai-nilai
pendidikan yang didapat pelaku, seolah tidak berkesan apa-apa terhadap dunia
riilnya. Anwar kemudian menduga bahwa hal ini disebabkan karena sistem
pendidikan di Indonesia telah terpengaruh oleh sistem pendidikan sekuler modern
yang melahirkan jiwa-jiwa sekuler, pikiran-pikiran yang berbasis kesenangan semata
dan berfoya-foya. Bagi Anwar, solusi yang paling tepat untuk mengatasi
“pengaruh buruk” tersebut adalah sistem
pendidikan islam, yang konsentrasinya adalah pembentukan nilai-nilai
kepribadian yang agamis.
Saya pribadi
memakai kacamata lain dalam melihat kasus pembunuhan berencana diatas, yakni
kita tak dapat langsung menujukan kesalahan pada pendidikan formal yang gagal.
Saya lebih senang menyoroti teori perkembangan kognitif yang dicetuskan oleh
Pakar Psikologi Jean Piaget (1896-1980) dalam buku Life Span Development. Menurut teori tersebut,
tersangka pembunuhan yang berusia 19 tahun dapat dikategorikan ke dalam tahap
operasional formal. Tahap operasional formal adalah periode
terakhir perkembangan kognitif yang mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun
dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya
kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik
kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat
memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai.
Dilihat dari
faktor biologis, tahapan ini menandai masuknya anak ke dunia dewasa baik secara
fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan
perkembangan sosial. Namun faktanya, tidak semua anak berhasil melalui fase ini
dengan sempurna. Konteks sosial yang merupakan salah satu sudut pandang dari
perkembangan kognitif menyatakan bahwa lingkungan sosial dan budaya akan
memberikan pengaruh terbesar terhadap pembentukan kognisi dan pemikiran anak.
Seperti kita ketahui, di era keterbukaan informasi hari ini, anak-anak banyak
sekali mendapat input yang berasal dari sumber yang tak terbatas melalui
beberapa klik saja serta banyak citra yang ditangkapnya lewat berbagai
tontonan.
Selanjutnya,
solusi yang ditawarkan Anwar juga sangat utopis sekaligus hanya kembali pada
“status quo” mengingat sistem pendidikan nasional kita sebagaimana tercantum
dalam UU Nomor 20 tahun 2003 sebenarnya sama sekali tidak bertentangan dengan
nilai-nilai islam. Sebagaimana kita tahu, pendidikan nasional berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Jelas, tak ada yang salah dengan desain sistem pendidikan kita.
Nilai sekuler
modern yang diduga melahirkan sikap-sikap negatif ini justru akan mengalami
logika terbalik jika dihadapkan dengan solusi berupa agama monotheis (islam).
Hal yang paling utama dari kesadaran modern sesungguhnya adalah kemampuan
berpikir kritis. Buah rasio adalah buah yang paling patut disyukuri dalam
gejala modernitas yang merupakan sebuah keniscayaan hari ini.
Namun, ketika rasionalitas berkembang, banyak orang yang justru mencurigai agama-agama monotheis. Kesalahan kaum sekularis yang menolak kehadiran agama adalah justru membiarkan agama jatuh ke tangan kaum fundamentalis. Akibatnya, hari ini yang kita lihat adalah gap yang lebar antara kaum sekuler dengan kaum fundamental yang sebenarnya tidak sedang benar-benar memperjuangkan kebenaran universal, melainkan membela sisi egosentrisme masing-masing.
Namun, ketika rasionalitas berkembang, banyak orang yang justru mencurigai agama-agama monotheis. Kesalahan kaum sekularis yang menolak kehadiran agama adalah justru membiarkan agama jatuh ke tangan kaum fundamentalis. Akibatnya, hari ini yang kita lihat adalah gap yang lebar antara kaum sekuler dengan kaum fundamental yang sebenarnya tidak sedang benar-benar memperjuangkan kebenaran universal, melainkan membela sisi egosentrisme masing-masing.
Spiritualisme
kritis, istilah yang dipopulerkan oleh Ayu Utami membawa sebuah ide agar kita
tidak latah menghadapi modernisme. Kita memang butuh merebut kembali
agama-agama monotheis untuk menafsirkannya kembali dengan lebih terbuka.
Hal ini
bertepatan dengan momen uji coba Kurikulum 2013 yang memperbanyak porsi bagi
pelajaran Agama dan juga Pendidikan Kewarganegaraan sebagai klaim pembentukan
karakter bagi anak. Alih-alih membentuk karakter, dua pelajaran yang bersifat
dogmatis tersebut justru dapat memicu timbulnya generasi pro kekerasan dan anti
toleransi jika tidak diajarkan secara progresif. Disinilah pentingnya menyemai
pendidikan spiritualisme kritis. Yakni sebuah upaya untuk membumikan kembali
nilai-nilai kebenaran universal dalam bahasa yang sesuai dengan kehidupan
sehari-hari dan fitrah alamiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar