Kurikulum 2013
telah diuji coba. Kurikulum yang lahir dari kekhawatiran Pemerintah yang
menganggap dekadensi moral generasi muda sudah semakin mencapai titik kritis
ini menerjemahkannya ke dalam desain kurikulum baru. Hal-hal baru tersebut,
terutama perbedaan mencolok di tingkat pendidikan dasar antara lain menghapus mata pelajaran Bahasa Inggris
(sebagai klaim pembentukan nasionalisme yang lebih kokoh), menghapus mata
pelajaran IPA (diusahakan untuk mengajarkannya secara tematik integratif) serta
menambah porsi untuk mata pelajaran agama, PKN, penjaskes dan kesenian, dengan
harapan dapat menjadi pondasi bagi pendidikan karakter anak.
Kita boleh
memandang optimis pembentukan karakter melalui mapel-mapel tersebut, hanya jika
guru (pengajar) dan instrumen mengajar tidak membuat anak bagaikan kerbau tanpa
boleh berpikir dan menginterupsi. Pelajaran-pelajaran diatas memicu peluang
tersampaikannya ilmu atau nilai-nilai moral secara dogmatis. Alih-alih
mengajarkan karakter, yang terbentuk justru generasi yang tidak terbiasa
berpikir kritis hingga muncullah generasi pro-kekerasan karena tak terbiasa
menerima perbedaan dalam kehidupan sehari-hari .
Saya ingin
mengingat masa kecil dimana saya pertama kali diperkenalkan kepada islam. Sejak
saya mengenal kata “agama” , saya dipahamkan bahwa islam adalah agama saya. Saya
menerima hal tersebut sebagai sebuah warisan mutlak tanpa menyadari bahwa
perkara beragama seharusnya dipilih berdasarkan kesadaran iluminatif yang
membawa konsekuensi logis pada diri kita untuk melaksanakan semua kewajiban
lain semata-mata hanya untuk Tuhan. Kemudian kira-kira pada usia 5 tahun, saya
pergi ke Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) untuk belajar membaca Al Qur’an dan
berlanjut ke Pondok Pesantren untuk belajar Fikih, Tauhid, Akhlak, Nahwu,
Shorof dan lain-lain. Beruntungnya, pengalaman-pengalaman di Pondok Pesantren
memicu saya untuk terus belajar dan menambah referensi.
Sejak kecil
kita cenderung menerima agama sebagai dogma lewat metode yang sama sekali tidak
memberikan kita kebebasan berpikir. Akibatnya, hingga dewasa, orang-orang
menjadi takut untuk belajar agama secara mandiri bahkan malas mencari tahu
sendiri walaupun untuk hal-hal kecil. Ulama atau lebih sering disebut ustadz menjadi orang yang sangat “suci”.
Mereka yang menolak sekulerisme sebenarnya seringkali paradoks sebab justru
memisahkan hal-hal duniawi dengan mengkultuskan peran ustadz atau ulama. Tak heran jika akhir-akhir ini banyak kasus
berkenaan dengan kekecewaan umat kepada ustadz-ustadz
selebritis di televisi. Padahal, dalam islam, hakikat penciptaan manusia
tercantum dalam Q.S Al Baqoroh:30 bahwa manusia terlahir untuk menjadi
pemimpin. Umat harus sadar tentang persamaan manusia dalam tanggung jawab
mencari ilmu dalam upaya pencapaian kemandirian berpikir.
Di usia
mahasiswa, bahkan dalam hidup bermasyarakat sekarang ini, saya memiliki banyak
jenis kawan. Dalam masalah jilbab misalnya, ada yang mempertanyakan mengapa
mereka harus berjilbab. Sedang disisi lain, bagi yang telah berjilbab (sesuai
kategori syar’i mereka) pun gemar mengutarakan pandangan-pandangannya. Diskursus
semacam ini sebenarnya terlambat untuk diperbincangkan pada fase perkembangan
usia saya, harusnya kita dapat memperbincangkan hal-hal yang lebih strategis
untuk kebermanfaatan umat, namun hal ini juga bukan masalah selama terjadi dialektika
yang sehat sesuai kaidah-kaidah dakwah yang tercantum pada surat An Nahl : 125.
Alangkah lebih
eloknya apabila generasi muslim/ muslimat dapat mengejar ketertinggalannya
serta segera berbenah maju. Pada Negara-negara sekuler, mereka dapat cenderung
lebih maju sebab persoalan-persoalan menyangkut akidah dan agama, bagi mereka
kurang strategis untuk dibicarakan di tataran publik. Di Indonesia, islam
sebagai agama mayoritas jelas harus memiliki corak dan formulasi khusus agar
islam dapat benar-benar menjadi agama rahmatan
lil alamiin.
Kita tentu
tidak ingin bertanya-tanya, bahwa di Negara yang sekuler dengan
penemuan-penemuannya yang berguna bagi peradaban hari ini, apakah justru mereka
lebih membawa keimanan pada tahap kesadaran dan orientasi mempraktikannya dalam
kehidupan sehari-hari? Sedang kita disini sebagai mayoritas, isu agama atau
islam yang kita dengar sehari-harinya adalah isu kekerasan, perbedaan antar
fikrah yang menunjukkan bahwa kita masih sama-sama belajar, dan tak satupun
tentang islam yang memanifestasi dalam kemajuan peradaban? Mana yang lebih
sekuler?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar