Senin, 17 Maret 2014

Siapa yang sekuler?



Kurikulum 2013 telah diuji coba. Kurikulum yang lahir dari kekhawatiran Pemerintah yang menganggap dekadensi moral generasi muda sudah semakin mencapai titik kritis ini menerjemahkannya ke dalam desain kurikulum baru. Hal-hal baru tersebut, terutama perbedaan mencolok di tingkat pendidikan dasar antara lain  menghapus mata pelajaran Bahasa Inggris (sebagai klaim pembentukan nasionalisme yang lebih kokoh), menghapus mata pelajaran IPA (diusahakan untuk mengajarkannya secara tematik integratif) serta menambah porsi untuk mata pelajaran agama, PKN, penjaskes dan kesenian, dengan harapan dapat menjadi pondasi bagi pendidikan karakter anak.

Kita boleh memandang optimis pembentukan karakter melalui mapel-mapel tersebut, hanya jika guru (pengajar) dan instrumen mengajar tidak membuat anak bagaikan kerbau tanpa boleh berpikir dan menginterupsi. Pelajaran-pelajaran diatas memicu peluang tersampaikannya ilmu atau nilai-nilai moral secara dogmatis. Alih-alih mengajarkan karakter, yang terbentuk justru generasi yang tidak terbiasa berpikir kritis hingga muncullah generasi pro-kekerasan karena tak terbiasa menerima perbedaan dalam kehidupan sehari-hari . 

Saya ingin mengingat masa kecil dimana saya pertama kali diperkenalkan kepada islam. Sejak saya mengenal kata “agama” , saya dipahamkan bahwa islam adalah agama saya. Saya menerima hal tersebut sebagai sebuah warisan mutlak tanpa menyadari bahwa perkara beragama seharusnya dipilih berdasarkan kesadaran iluminatif yang membawa konsekuensi logis pada diri kita untuk melaksanakan semua kewajiban lain semata-mata hanya untuk Tuhan. Kemudian kira-kira pada usia 5 tahun, saya pergi ke Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) untuk belajar membaca Al Qur’an dan berlanjut ke Pondok Pesantren untuk belajar Fikih, Tauhid, Akhlak, Nahwu, Shorof dan lain-lain. Beruntungnya, pengalaman-pengalaman di Pondok Pesantren memicu saya untuk terus belajar dan menambah referensi.

Sejak kecil kita cenderung menerima agama sebagai dogma lewat metode yang sama sekali tidak memberikan kita kebebasan berpikir. Akibatnya, hingga dewasa, orang-orang menjadi takut untuk belajar agama secara mandiri bahkan malas mencari tahu sendiri walaupun untuk hal-hal kecil. Ulama atau lebih sering disebut ustadz menjadi orang yang sangat “suci”. Mereka yang menolak sekulerisme sebenarnya seringkali paradoks sebab justru memisahkan hal-hal duniawi dengan mengkultuskan peran ustadz atau ulama. Tak heran jika akhir-akhir ini banyak kasus berkenaan dengan kekecewaan umat kepada ustadz-ustadz selebritis di televisi. Padahal, dalam islam, hakikat penciptaan manusia tercantum dalam Q.S Al Baqoroh:30 bahwa manusia terlahir untuk menjadi pemimpin. Umat harus sadar tentang persamaan manusia dalam tanggung jawab mencari ilmu dalam upaya pencapaian kemandirian berpikir.

Di usia mahasiswa, bahkan dalam hidup bermasyarakat sekarang ini, saya memiliki banyak jenis kawan. Dalam masalah jilbab misalnya, ada yang mempertanyakan mengapa mereka harus berjilbab. Sedang disisi lain, bagi yang telah berjilbab (sesuai kategori syar’i mereka) pun gemar mengutarakan pandangan-pandangannya. Diskursus semacam ini sebenarnya terlambat untuk diperbincangkan pada fase perkembangan usia saya, harusnya kita dapat memperbincangkan hal-hal yang lebih strategis untuk kebermanfaatan umat, namun hal ini juga bukan masalah selama terjadi dialektika yang sehat sesuai kaidah-kaidah dakwah yang tercantum pada surat An Nahl : 125. 

Alangkah lebih eloknya apabila generasi muslim/ muslimat dapat mengejar ketertinggalannya serta segera berbenah maju. Pada Negara-negara sekuler, mereka dapat cenderung lebih maju sebab persoalan-persoalan menyangkut akidah dan agama, bagi mereka kurang strategis untuk dibicarakan di tataran publik. Di Indonesia, islam sebagai agama mayoritas jelas harus memiliki corak dan formulasi khusus agar islam dapat benar-benar menjadi agama rahmatan lil alamiin.

Kita tentu tidak ingin bertanya-tanya, bahwa di Negara yang sekuler dengan penemuan-penemuannya yang berguna bagi peradaban hari ini, apakah justru mereka lebih membawa keimanan pada tahap kesadaran dan orientasi mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari? Sedang kita disini sebagai mayoritas, isu agama atau islam yang kita dengar sehari-harinya adalah isu kekerasan, perbedaan antar fikrah yang menunjukkan bahwa kita masih sama-sama belajar, dan tak satupun tentang islam yang memanifestasi dalam kemajuan peradaban? Mana yang lebih sekuler?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar