Hiding My Heart
Senja ini, Kota Solo berseri manja. Sesuai dengan slogan The Spirit of Java, melewati jalan-jalan
kecil di sekitaran keraton Kasunanan Surakarta memang menghadirkan sebuah
semangat baru yang khas. Patung Slamet Riyadi masih berdiri gagah mengacungkan
pistolnya. Disinilah biasanya para mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di
Solo melakukan aksi demonstrasi. Pagar-pagar tembok rendah berwarna putih
tulang yang seirama pada rumah-rumah joglo, nuansa artefak budaya yang elok, patung
wrekudara di halaman beberapa rumah sebagai simbol sebuah ketegasan dan
kejujuran serta nuansa sakral di seputaran jalan supit urang yang memaksa
pengendara kendaraan bermotor berhati-hati. Ya, nilai-nilai filosofis
masyarakat Jawa di Solo memang sangat dekat bagi mereka yang bersedia menangkap
dan merasakannya.
Maria mengayuh sepedanya pelan-pelan. Tas ransel Eiger woman series warna abu-abu
diletakkan di keranjang sepeda bagian depan. Kamera CANON menggantung rapi di
lehernya. Sesekali ia membidik hal-hal yang menurutnya menarik. Walaupun sudah
hampir tiga tahun ia hijrah di Kota budaya ini, baginya senja di Kota Solo
selalu menghadirkan cerita. Para tukang becak yang kecipratan rejeki wisatawan
mancanegara yang sekedar ingin mencari oleh-oleh di Pasar Barang Antik
Windujenar atau anak-anak jalanan serta pengamen usia remaja yang makin hari
makin banyak saja. Untuk hal yang terakhir, Maria sering merasa miris.
Mata Maria lincah mengamati hiruk pikuk sekitar. Rok spandeks panjang
warna toscanya berkibar-kibar lembut seiring gemerisik angin yang berdesis
santun. Ia melipat sedikit lengan kaos polo warna biru tuanya sambil
memicingkan mata ketika mengambil fokus. Ia terkagum-kagum pada keramahan
masyarakat yang selalu tersenyum dan berkata ”monggo mbak…” padanya. Padahal, tak satupun si penutur “monggo
mbak..” yang ia kenal. “Monggo” dalam bahasa Indonesia berarti “Mari”. Namun
bagi masyarakat Jawa, ini hanyalah teks interpersonal yang berarti sapaan saja,
bukan ajakan untuk pergi ke suatu tempat. Sapaan seperti monggo atau sugeng
siang yang berarti selamat siang, misalnya, membuat si penutur merasa
bersaudara dengan objek tutur. Hal ini menciptakan rasa aman untuk mereka dan
lingkungan sekitar tanpa ada rasa curiga mencurigai.
Sejarah masa lalu seringkali berbicara tentang harmoni. Pemimpin yang
tegas dan dikagumi, rakyat yang tunduk dan setia, alam menjelma semesta yang
senantiasa mendukung gerak-gerik manusia. Namun, manusia masa kini membuat
buram halaman yang jernih itu dengan merusak heritage, mencorat-coret benda-benda
sejarah, membuang sampah tidak pada tempatnya, melanggar ethic values yang diwariskan dan dijaga secara turun menurun dan
melupakan semua pesan generasi terdahulu. Perkembangan teknologi dan informasi
yang pesat tidak menjamin terbentuknya sebuah peradaban baru yang lebih baik.
Manusia justru semakin anti-sosial, semaunya, merasa benar sendiri dan enggan
berproses. Ah. Maria tersenyum kecut. Baru saja ia geram, seorang anak muda
berkaos merah bertuliskan “Revolusi atau mati” di bagian punggungnya membuang
sampah botol plastik sebuah minuman berenergi tepat di hadapannya. Sial!
Sudah semakin sore. Hampir jam setengah enam. Tapi awan altocumulus
masih saja setia menggantung di kaki langit. Biru, cerah sekali.
“Jepret…” Gadis 20 tahun itu memotret seorang bule yang kekenyangan
seusai menikmati nasi pecel ndeso di sebuah warung tenda di kawasan kauman.
Sesekali ia membetulkan letak kacamatanya dengan dahi yang sedikit mengkerut.
Kata teman-teman sekelas di jurusan Sastra Inggris, kerutan di dahi Maria itu simbol
karakter optimis. Tapi, kadang-kadang juga pertanda sifatnya yang galak kalau
teman-teman sedang menyepelekan tugas-tugas dari dosen. Apalagi dengan
tampilannya yang sangat simple dengan
rambut sebahu yang selalu dikuncir kuda. Poninya juga selalu teratur dalam
jepit rambut sederhana. Walaupun begitu, sifatnya yang selalu periang
membuatnya Nampak sangat manis walaupun sebenarnya tak ada yang istimewa.
Senyum dan semangat Maria lah yang membuat ia Nampak istimewa.
Ia mengayuh lagi sepedanya memutar alun-alun Keraton kemudian lurus
melewati belakang Pusat Grosir Solo serta Beteng
Trade Center yang lumayan megah itu. Dua tempat yang disimbolkan sebagai
reformasi pusat belanja yang lebih cantik dan modern daripada Pasar Klewer yang
hingga hari ini masih belum berhasil untuk merelokasikan para pedagangnya.
Huft, memang susah merencanakan Sesuatu perubahan. Banyak yang harus
dipikirkan. Bagaimana nasib para pedagang itu ketika Pasar Klewer harus
dibangun? Sudah siapkah Pemerintah untuk menampung mereka di pasar sementara
dengan syarat mereka tetap mendapat penghasilan yang sama? Ah, Maria jadi
berpikir kemana-mana hingga tak terasa ia telah sampai di depan tempat
tinggalnya.
Iya. Hanya sekedar tempat tinggal. This
place is just a house. Just a building. Not a home. Sebabnya, Maria tak pernah merasakan ada
ketenangan disini bahkan sejak tiga tahun yang lalu ketika ia baru saja lulus
SMA dan kemudian memutuskan untuk kuliah di sebuah Perguruan Tinggi Negeri yang
cukup ternama di Solo ini. Dulunya, rumah
ini adalah tempat tinggal sebuah keluarga kecil yang bahagia. Kirana, kakak
perempuan Maria satu-satunya menikah enam tahun yang lalu dengan seorang
laki-laki bernama Johan. Mereka memutuskan untuk tinggal berdua di Kota Solo
karena pekerjaan Johan di kota ini saat itu sedang bagus-bagusnya. Sayangnya,
pernikahan mereka tak bertahan lama. Hanya tiga tahun saja. Saat itu, Dion,
buah cinta mereka satu-satunya yang saat ini masih berusia tiga tahun bahkan
masih berada dalam kandungan.
Walaupun kakak beradik, Kirana dan Maria memiliki kepribadian yang
sangat berbeda. Dalam hal emosi, Maria yang berusia enam tahun lebih muda dari
Kirana justru kelihatan lebih tenang dan dingin dalam menghadapi masalah. Satu
kesalahan fatal yang dilakukan Kirana tiga tahun lalu adalah melibatkan terlalu
banyak orang dalam masalah rumah tangga mereka. Pada akhirnya, mereka tidak
mendapatkan solusi yang tepat selain kisah cinta mereka yang semakin hancur
berantakan. Memang, tidak ada yang benar-benar mengerti kedalaman hati seorang
suami atau istri setelah pernikahan, melainkan mereka masing-masing. Orang lain
hendaknya hanya menjadi cermin, bukan eksekutor.
Ada satu kamar di rumah ini yang kini berubah menjadi gudang
barang-barang bekas atau tempat untuk menumpuk mainan-mainan yang rusak oleh
Dion. Cat kamarnya kuning gading, warna kesukaan Kirana. Anehnya, di gudang ini
masih tetap ada sebuah ranjang berukuran double
yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran etnik yang cukup mahal. Dibiarkan
saja meja riasan dengan 3 kaca panjang di sisi tengah, kanan dan kirinya. Debu
dibiarkan semakin menebal menutupi semua keindahan-keindahan cerita masa lalu
itu. Iya, kamar itu adalah bekas kamar Kirana dan Johan. Sepeninggal Johan,
Kirana enggan untuk menempati kamar itu lagi. Ia memang tipe perempuan yang
melankolis to the max. Seperti ABG yang patah hati, ia bahkan membuang semua
barang-barang pemberian Johan. Apapun, yang dapat membawa ingatannya pada
mantan suaminya itu, termasuk cincin kawin mereka.
Entahlah, Maria menjadi senantiasa ketakutan membayangkan sebuah
pernikahan ketika menatap mata polos Dion yang dengan lugu berkata bahwa ia
ingin bertemu Papa. Kasihan sekali. Jagoan kecil yang ganteng dan sangat cerdas
ini pasti tak bisa bertanya mengapa Papanya tak pernah pulang ke rumah seperti
teman-teman yang lain. Ia pasti belum bisa merangkai kalimat Tanya mengapa
Papanya tak pernah menemani mereka jalan-jalan ke mall atau sekedar ikut
menjemput Dion ke sekolah. Kirana hanya selalu bilang ke Dion kalau Papanya
sedang bekerja di luar negeri untuk beli mainan dan bayar sekolah Dion. Memang
benar. Kabar terakhir yang diterima keluarga kami, Bang Johan pergi ke Korea
setelah bisnis retailnya bangkrut dan
menjadi awal perpecahan hubungannya dengan Kirana. Toh, bersyukur Dion tak
pernah bertanya, “apa Papa tidak punya HP sehingga tak pernah telpon ke rumah,
Ma? Tidak. Tidak. Itu akan sangat menyedihkan sekali.
“Tante Maria…” seru Dion dengan lucu ketika Maria memasukkan sepedanya
ke dalam garasi. Dion sedang asik melukis di atas sebuah buku gambar.
“Halo sayang.. lagi ngegambar apa tuh?”
“Gambar buat sekolah besok.”
“Oya? memang disuruh gambar apa sama bu gurunya?”
“Dion gambar mama. Bagus ya?”
“Pasti dong..ponakan tante paling ganteng. Udah mandi belum sayang?”
“Udah dong.” jawabnya tanpa melepas pandangan ke buku gambar sembari
mengangguk mantap.
“Hehe Tante Maria nih yang belum mandi. Tante mandi dulu yah..”
Dada Maria sesak.
“Apa
kabar Mar? Kapan UTS? Minggu depan aku UTS nih. Doain ya biar lancar n IP
semester ini bagus.”
Ikko adalah mantan pacar
Maria. Mereka dulu satu SMA dan merupakan pasangan yang cukup fenomenal di
sekolah mereka. Ikko adalah ketua Majelis Permusyawaratan Kelas. Sedang Maria
sendiri adalah Pengurus OSIS sejak kelas satu. Tugas MPK adalah mengkritisi
program kerja yang akan dan telah dilaksanakan oleh Pengurus OSIS. Oeh karena
itu Ikko sering berkomunikasi dengan Maria untuk meminta proposal kegiatan atau
laporan pertanggung jawaban kalau jatuh deadline. Maria kerapkali sebal dengan
Ikko karena selalu cerewet dengan usulan-usulan programnya. Bukan hanya itu.
Ikko adalah orang yang sangat detail pada ururan administrasi. Surat menyurat
yang kurang rapi, ketikan di proposal yang salah juga menjadi sasaran
kritiknya. Fiuh. Bertemu dengan Ikko adalah saat-saat yang paling dihindari
oleh Maria.
Toh, akhirnya mereka bisa
jadian juga saat kelas XI. Ikko ada di kelas IPA dan Maria lebih memilih
menjadi siswa IPS. Lucunya, justru Maria lah yang memakai kacamata minus 3.
Biasanya anak-anak IPA yang mendapat kesan sebagai anak serius, rajin belajar,
lebih culun, dan score-oriented. Tapi melihat pasangan Ikko-Maria, dahulu
teman-teman satu sekolah selalu terheran-heran. Ikko dan Maria lebih sering
berdebat tentang suatu topic berita atau ide-ide kegiatan komunitas daripada
menjadi pasangan alay yang suka adu gombal di Facebook atau Twitter.
Kadang-kadang mereka suka marahan di forum. Tapi rukun kembali ketika les di
bimbingan belajar sore hari karena Maria tidak mungkin berangkat tanpa dijemput
Ikko. Kenapa? Tepat sekali. Papa dan Mama maria sangat over protected. Sebelum
kuliah, Maria tidak boleh naik motor sendiri.
Ikko menembak Maria suatu
sore usai kegiatan battle ekstrakurikuler basket. Dengan nafas yang
terengah-engah setelah kalah dari tim kelas XI IPA 3, Ikko menghampiri Maria
yang sedang beberes perlengkapan battle anak-anak. Ketika itu, Maria masih
persis dengan hari ini. Rambut sebahu kuncir kuda serta kacamata yang bertengger tegak pada hidungnya
yang tak begitu mancung. Ia baru saja menghabiskan es kelapa muda dan sebatang
dark chocolate almond favoritnya.
“Udah selesai
beres-beresnya Mar?” Tanya Ikko kikuk.
“Eh. Hampir selesai Ko.
Kenapa? Habis kalah ya tadi?” jawab Maria setengah menggoda Ikko.
“Hehe, ngeledek nih? Eh,
aku mau minta waktu kamu sebentar bisa kan Mar?”
“Kenapa? Sekarang juga
boleh kok kalau mau marah-marah lagi. Tapi kayaknya revisi aku kemarin udah
kelaran deh.”
“Iya. Tapi ada yang belum
selesai Mar kemarin…”
“Hah? Apalagi?” Maria
bersungut-sungut.
“Kemarin aku belum bilang
kalau aku suka sama kamu. Kamu mau nggak jadian sama aku?” Ucap Ikko
terbata-bata. Keringat setengah kering setelah main basket tiba-tiba mengucur
lagi di wajahnya.
Tapi itu sudah berlalu.
Sudah lama sekali. Setahun lalu mereka sudah bersepakat untuk putus. Walaupun
Ikko masih sangat sering menghubunginya baik lewat sms, panggilan, chat, juga
obrolan-obrolan singkat di jejaring sosial. Ikko yang sekarang adalah Ikko yang
sibuk dengan tugas-tugas hariannya. Ikko yang sibuk dengan hari-harinya di
Himpunan Mahasiswa Jurusan. Ikko yang tidak membutuhkan Maria lebih dari dulu.
Ikko pasti telah memiliki pengganti yang lebih baik dan “lebih dekat”.
“Baik. Oke aku doain semoga
UTS nya lancar ya Ko..”
Message sent.
I wish I could lay down beside you when the
day is done
And wake up to your face against the morning
sun
But like everything I’ve ever known
You disappear one day
So I spend my whole life hiding my heart
away…
Hiding My Heart dari Adele sayup-sayup terdengar dari playlist PC
Maria ketika ia sibuk memindahkan ke folder D. Senja yang cerah telah berubah
menjadi gelap. Malam makin merangkak.
“Cekleek.”
Maria mengunci pintu kamar
seusai sholat isya’. Ia sempat melihat Kirana yang menemani Dion belajar
menghapal angka dan abjad. Suara jagoan kecil itu sangat lucu dan nyaring. Tak
lama kemudian, jari-jari gadis yang bercita-cita memiliki sebuah yayasan
pendidikan bagi anak-anak kurang mampu dan berkebutuhan khusus itu telah asyik
merangkai kalimat demi kalimat pada menu write
post pada blog pribadinya.
Blue
Park, 20.03 WIB
Seharusnya Cinta
Lagi, bahwa seharusnya kau tahu bahwa kekuatan
cinta itu bahkan tetap dahsyat walau ia tak tampak dalam rupa. Cinta, yang
walaupun itu picisan dan mereka bilang “cinta monyet” ternyata sanggup mengubah
hari-hari sang belia menjadi penuh bunga seribu warna. Ia serupa datang dari
pandangan mata, namun ditundukkan oleh hati dan ditakzimi oleh seluruh jiwa dan
raga. Kepada mereka, yang tanpa kau sadari ingin kau bahagiakan hari-harinya.
Hukum mencintai adalah memberi
hingga sehabis-habisnya tanpa meminta hal itu kembali. Sebab sejatinya dengan
member kita tak pernah habis bukan? Sebab memberi adalah menanam selaksa
senyuman yang berbekas sangat dalam. Dengan memberi kau tidak akan pernah
merasa kekurangan, justru kau akan mendapat lebih. Ucapkan sekali lagi, “dengan
member, kau akan mendapat lebih..”
Maka rumus mencintai orangtuamu,
kawanmu, kekasihmu, anak-anakmu adalah dengan hanya member sehabis-habisnya,
maka kau akan mendapat lebih…
Percayalah! Percayalah bahwa jika rumus ini
dibalik, mungkin kau tidak akan lebih tenang dari kondisimu saat ini. Bahwa
ketika kau hanya menitipkan mimpimu pada anak-anakmu, ternyata kau menjadi tak
tenang karena dipenuhi rasa kekhawatiran. Khawatir jika anakmu tak bisa sesuai
inginmu untuk menjadi seorang dokter atau polisi. Khawatir apabila anakmu
ternyata kurang pandai sehingga tidak dapat masuk ke Fakultas yang kau
inginkan. Dan kekhawatiran itu akan menumbuhkan benci. Namun, dengan memberi
sehabis-habisnya, kau hanya perlu untuk memberi bekal pendidikan terbaik, bekal
nasehat terbaik serta bekal kasih sayang terbaik. Kau lepas dia dengan
kepercayaan yang telah kau hujam dalam-dalam ke hatimu. Aku tau kau tak bisa
sepenuhnya percaya padanya. Kau terlalu sayang padanya. Namun kau harus! Sebab
tugasmu hanya member saja. Beri terus!
Demikian pada sahabatmu, juga
kekasihmu. Kau tak berhak menitipkan rasa cemburu walaupun setitik noda pada
kain putihmu. Kau hanya diizinkan untuk mencurahkan segenap ketulusan dengan cintamu.
Disana ada tangan yang ringan menolong, disana ada senyuman yang membantunya
untuk bangkit, disana ada tangan yang memantiknya ketika tertatih, disana ada
kepekaan yang merangkai pita merah muda setiap kali ulang tahunnya. Berikan
saja! Beri terus! Biarkan kekuatan cinta yang bekerja.
Percayakah, ternyata hubungan
pernikahan dua manusia tidak membuat keduanya terikat untuk tidak berkhianat.
Pernikahan tidak berarti bahwa dia adalah saklar yang kau tekan untuk
menyalakan lampumu. Tidak. Kadar cemburumu tidak akan berkurang dengan
pernikahan. Justru semakin menjadi-jadi. Kau mulai membayangkan setiap gerak-geriknya ketika dia keluar rumah.
Apalagi ketika ia telah berada di tempat yang jauh. Kau akan semakin dipenuhi
rasa khawatir karena kau berharap dia akan memberi sesuatu sebagai kompensasi
atas pengabdianmu.
Cinta yang tulus lebih dari
sekedar menggenapi atau melengkapi. Cinta yang tulus akan menyempurnakan cinta
yang lainnya. Seperti sebuah senyuman yang akan berbalas senyuman yang lain
lagi. Menjadi pemberi yang dermawan dengan ketulusan memang tidak mudah. Tapi,
semua yang terlihat oleh mata, semua yang teraba oleh indera kelak akan habis
juga. Tapi rasa yang berwujud cinta, akan hidup dan menghidupi siapa yang
memanggilnya.
Selamat Mencintai ya!
Publish. Close tab.
Malam membisu. Ia mengabaikan semua pesan yang masuk bertubi-tubi pada
ponsel dan semua jejaringnya. Semoga esok semesta akan merangkum semua tanya
yang tak selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar