Rabu, 05 Maret 2014

Cinta Tak Pernah Salah (Part 1)



Horizontal Scroll: Bab 1Hiding My Heart

Senja ini, Kota Solo berseri manja. Sesuai dengan slogan The Spirit of Java, melewati jalan-jalan kecil di sekitaran keraton Kasunanan Surakarta memang menghadirkan sebuah semangat baru yang khas. Patung Slamet Riyadi masih berdiri gagah mengacungkan pistolnya. Disinilah biasanya para mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Solo melakukan aksi demonstrasi. Pagar-pagar tembok rendah berwarna putih tulang yang seirama pada rumah-rumah joglo, nuansa artefak budaya yang elok, patung wrekudara di halaman beberapa rumah sebagai simbol sebuah ketegasan dan kejujuran serta nuansa sakral di seputaran jalan supit urang yang memaksa pengendara kendaraan bermotor berhati-hati. Ya, nilai-nilai filosofis masyarakat Jawa di Solo memang sangat dekat bagi mereka yang bersedia menangkap dan merasakannya.

Maria mengayuh sepedanya pelan-pelan. Tas ransel Eiger woman series warna abu-abu diletakkan di keranjang sepeda bagian depan. Kamera CANON menggantung rapi di lehernya. Sesekali ia membidik hal-hal yang menurutnya menarik. Walaupun sudah hampir tiga tahun ia hijrah di Kota budaya ini, baginya senja di Kota Solo selalu menghadirkan cerita. Para tukang becak yang kecipratan rejeki wisatawan mancanegara yang sekedar ingin mencari oleh-oleh di Pasar Barang Antik Windujenar atau anak-anak jalanan serta pengamen usia remaja yang makin hari makin banyak saja. Untuk hal yang terakhir, Maria sering merasa miris.

Mata Maria lincah mengamati hiruk pikuk sekitar. Rok spandeks panjang warna toscanya berkibar-kibar lembut seiring gemerisik angin yang berdesis santun. Ia melipat sedikit lengan kaos polo warna biru tuanya sambil memicingkan mata ketika mengambil fokus. Ia terkagum-kagum pada keramahan masyarakat yang selalu tersenyum dan berkata ”monggo mbak…” padanya. Padahal, tak satupun si penutur “monggo mbak..” yang ia kenal. “Monggo” dalam bahasa Indonesia berarti “Mari”. Namun bagi masyarakat Jawa, ini hanyalah teks interpersonal yang berarti sapaan saja, bukan ajakan untuk pergi ke suatu tempat. Sapaan seperti monggo atau sugeng siang yang berarti selamat siang, misalnya, membuat si penutur merasa bersaudara dengan objek tutur. Hal ini menciptakan rasa aman untuk mereka dan lingkungan sekitar tanpa ada rasa curiga mencurigai.

Sejarah masa lalu seringkali berbicara tentang harmoni. Pemimpin yang tegas dan dikagumi, rakyat yang tunduk dan setia, alam menjelma semesta yang senantiasa mendukung gerak-gerik manusia. Namun, manusia masa kini membuat buram halaman yang jernih itu dengan merusak heritage, mencorat-coret benda-benda sejarah, membuang sampah tidak pada tempatnya, melanggar ethic values yang diwariskan dan dijaga secara turun menurun dan melupakan semua pesan generasi terdahulu. Perkembangan teknologi dan informasi yang pesat tidak menjamin terbentuknya sebuah peradaban baru yang lebih baik. Manusia justru semakin anti-sosial, semaunya, merasa benar sendiri dan enggan berproses. Ah. Maria tersenyum kecut. Baru saja ia geram, seorang anak muda berkaos merah bertuliskan “Revolusi atau mati” di bagian punggungnya membuang sampah botol plastik sebuah minuman berenergi tepat di hadapannya. Sial! 

Sudah semakin sore. Hampir jam setengah enam. Tapi awan altocumulus masih saja setia menggantung di kaki langit. Biru, cerah sekali. 

“Jepret…” Gadis 20 tahun itu memotret seorang bule yang kekenyangan seusai menikmati nasi pecel ndeso di sebuah warung tenda di kawasan kauman. Sesekali ia membetulkan letak kacamatanya dengan dahi yang sedikit mengkerut. Kata teman-teman sekelas di jurusan Sastra Inggris, kerutan di dahi Maria itu simbol karakter optimis. Tapi, kadang-kadang juga pertanda sifatnya yang galak kalau teman-teman sedang menyepelekan tugas-tugas dari dosen. Apalagi dengan tampilannya yang sangat simple dengan rambut sebahu yang selalu dikuncir kuda. Poninya juga selalu teratur dalam jepit rambut sederhana. Walaupun begitu, sifatnya yang selalu periang membuatnya Nampak sangat manis walaupun sebenarnya tak ada yang istimewa. Senyum dan semangat Maria lah yang membuat ia Nampak istimewa.

Ia mengayuh lagi sepedanya memutar alun-alun Keraton kemudian lurus melewati belakang Pusat Grosir Solo serta Beteng Trade Center yang lumayan megah itu. Dua tempat yang disimbolkan sebagai reformasi pusat belanja yang lebih cantik dan modern daripada Pasar Klewer yang hingga hari ini masih belum berhasil untuk merelokasikan para pedagangnya. Huft, memang susah merencanakan Sesuatu perubahan. Banyak yang harus dipikirkan. Bagaimana nasib para pedagang itu ketika Pasar Klewer harus dibangun? Sudah siapkah Pemerintah untuk menampung mereka di pasar sementara dengan syarat mereka tetap mendapat penghasilan yang sama? Ah, Maria jadi berpikir kemana-mana hingga tak terasa ia telah sampai di depan tempat tinggalnya.

Iya. Hanya sekedar tempat tinggal. This place is just a house. Just a building. Not a home.   Sebabnya, Maria tak pernah merasakan ada ketenangan disini bahkan sejak tiga tahun yang lalu ketika ia baru saja lulus SMA dan kemudian memutuskan untuk kuliah di sebuah Perguruan Tinggi Negeri yang cukup ternama di Solo ini. Dulunya,  rumah ini adalah tempat tinggal sebuah keluarga kecil yang bahagia. Kirana, kakak perempuan Maria satu-satunya menikah enam tahun yang lalu dengan seorang laki-laki bernama Johan. Mereka memutuskan untuk tinggal berdua di Kota Solo karena pekerjaan Johan di kota ini saat itu sedang bagus-bagusnya. Sayangnya, pernikahan mereka tak bertahan lama. Hanya tiga tahun saja. Saat itu, Dion, buah cinta mereka satu-satunya yang saat ini masih berusia tiga tahun bahkan masih berada dalam kandungan. 

Walaupun kakak beradik, Kirana dan Maria memiliki kepribadian yang sangat berbeda. Dalam hal emosi, Maria yang berusia enam tahun lebih muda dari Kirana justru kelihatan lebih tenang dan dingin dalam menghadapi masalah. Satu kesalahan fatal yang dilakukan Kirana tiga tahun lalu adalah melibatkan terlalu banyak orang dalam masalah rumah tangga mereka. Pada akhirnya, mereka tidak mendapatkan solusi yang tepat selain kisah cinta mereka yang semakin hancur berantakan. Memang, tidak ada yang benar-benar mengerti kedalaman hati seorang suami atau istri setelah pernikahan, melainkan mereka masing-masing. Orang lain hendaknya hanya menjadi cermin, bukan eksekutor.

Ada satu kamar di rumah ini yang kini berubah menjadi gudang barang-barang bekas atau tempat untuk menumpuk mainan-mainan yang rusak oleh Dion. Cat kamarnya kuning gading, warna kesukaan Kirana. Anehnya, di gudang ini masih tetap ada sebuah ranjang berukuran double yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran etnik yang cukup mahal. Dibiarkan saja meja riasan dengan 3 kaca panjang di sisi tengah, kanan dan kirinya. Debu dibiarkan semakin menebal menutupi semua keindahan-keindahan cerita masa lalu itu. Iya, kamar itu adalah bekas kamar Kirana dan Johan. Sepeninggal Johan, Kirana enggan untuk menempati kamar itu lagi. Ia memang tipe perempuan yang melankolis to the max. Seperti ABG yang patah hati, ia bahkan membuang semua barang-barang pemberian Johan. Apapun, yang dapat membawa ingatannya pada mantan suaminya itu, termasuk cincin kawin mereka.

Entahlah, Maria menjadi senantiasa ketakutan membayangkan sebuah pernikahan ketika menatap mata polos Dion yang dengan lugu berkata bahwa ia ingin bertemu Papa. Kasihan sekali. Jagoan kecil yang ganteng dan sangat cerdas ini pasti tak bisa bertanya mengapa Papanya tak pernah pulang ke rumah seperti teman-teman yang lain. Ia pasti belum bisa merangkai kalimat Tanya mengapa Papanya tak pernah menemani mereka jalan-jalan ke mall atau sekedar ikut menjemput Dion ke sekolah. Kirana hanya selalu bilang ke Dion kalau Papanya sedang bekerja di luar negeri untuk beli mainan dan bayar sekolah Dion. Memang benar. Kabar terakhir yang diterima keluarga kami, Bang Johan pergi ke Korea setelah bisnis retailnya bangkrut dan menjadi awal perpecahan hubungannya dengan Kirana. Toh, bersyukur Dion tak pernah bertanya, “apa Papa tidak punya HP sehingga tak pernah telpon ke rumah, Ma? Tidak. Tidak. Itu akan sangat menyedihkan sekali.

“Tante Maria…” seru Dion dengan lucu ketika Maria memasukkan sepedanya ke dalam garasi. Dion sedang asik melukis di atas sebuah buku gambar.
“Halo sayang.. lagi ngegambar apa tuh?”
“Gambar buat sekolah besok.”
“Oya? memang disuruh gambar apa sama bu gurunya?”
“Dion gambar mama. Bagus ya?”
“Pasti dong..ponakan tante paling ganteng. Udah mandi belum sayang?”
“Udah dong.” jawabnya tanpa melepas pandangan ke buku gambar sembari mengangguk mantap.
“Hehe Tante Maria nih yang belum mandi. Tante mandi dulu yah..”

Dada Maria sesak.











Sebuah pesan masuk ke ponsel Maria. Dari Ikko.
  “Apa kabar Mar? Kapan UTS? Minggu depan aku UTS nih. Doain ya biar lancar n IP semester ini bagus.”
                    

 Ikko adalah mantan pacar Maria. Mereka dulu satu SMA dan merupakan pasangan yang cukup fenomenal di sekolah mereka. Ikko adalah ketua Majelis Permusyawaratan Kelas. Sedang Maria sendiri adalah Pengurus OSIS sejak kelas satu. Tugas MPK adalah mengkritisi program kerja yang akan dan telah dilaksanakan oleh Pengurus OSIS. Oeh karena itu Ikko sering berkomunikasi dengan Maria untuk meminta proposal kegiatan atau laporan pertanggung jawaban kalau jatuh deadline. Maria kerapkali sebal dengan Ikko karena selalu cerewet dengan usulan-usulan programnya. Bukan hanya itu. Ikko adalah orang yang sangat detail pada ururan administrasi. Surat menyurat yang kurang rapi, ketikan di proposal yang salah juga menjadi sasaran kritiknya. Fiuh. Bertemu dengan Ikko adalah saat-saat yang paling dihindari oleh Maria.
                     
 Toh, akhirnya mereka bisa jadian juga saat kelas XI. Ikko ada di kelas IPA dan Maria lebih memilih menjadi siswa IPS. Lucunya, justru Maria lah yang memakai kacamata minus 3. Biasanya anak-anak IPA yang mendapat kesan sebagai anak serius, rajin belajar, lebih culun, dan score-oriented. Tapi melihat pasangan Ikko-Maria, dahulu teman-teman satu sekolah selalu terheran-heran. Ikko dan Maria lebih sering berdebat tentang suatu topic berita atau ide-ide kegiatan komunitas daripada menjadi pasangan alay yang suka adu gombal di Facebook atau Twitter. Kadang-kadang mereka suka marahan di forum. Tapi rukun kembali ketika les di bimbingan belajar sore hari karena Maria tidak mungkin berangkat tanpa dijemput Ikko. Kenapa? Tepat sekali. Papa dan Mama maria sangat over protected. Sebelum kuliah, Maria tidak boleh naik motor sendiri.
                     
Ikko menembak Maria suatu sore usai kegiatan battle ekstrakurikuler basket. Dengan nafas yang terengah-engah setelah kalah dari tim kelas XI IPA 3, Ikko menghampiri Maria yang sedang beberes perlengkapan battle anak-anak. Ketika itu, Maria masih persis dengan hari ini. Rambut sebahu kuncir kuda serta  kacamata yang bertengger tegak pada hidungnya yang tak begitu mancung. Ia baru saja menghabiskan es kelapa muda dan sebatang dark chocolate almond favoritnya.
                     “Udah selesai beres-beresnya Mar?” Tanya Ikko kikuk.
                     “Eh. Hampir selesai Ko. Kenapa? Habis kalah ya tadi?” jawab Maria setengah menggoda Ikko.
                     “Hehe, ngeledek nih? Eh, aku mau minta waktu kamu sebentar bisa kan Mar?”
                     “Kenapa? Sekarang juga boleh kok kalau mau marah-marah lagi. Tapi kayaknya revisi aku kemarin udah kelaran deh.”
                     “Iya. Tapi ada yang belum selesai Mar kemarin…”
                     “Hah? Apalagi?” Maria bersungut-sungut.
                     “Kemarin aku belum bilang kalau aku suka sama kamu. Kamu mau nggak jadian sama aku?” Ucap Ikko terbata-bata. Keringat setengah kering setelah main basket tiba-tiba mengucur lagi di wajahnya.

                     Tapi itu sudah berlalu. Sudah lama sekali. Setahun lalu mereka sudah bersepakat untuk putus. Walaupun Ikko masih sangat sering menghubunginya baik lewat sms, panggilan, chat, juga obrolan-obrolan singkat di jejaring sosial. Ikko yang sekarang adalah Ikko yang sibuk dengan tugas-tugas hariannya. Ikko yang sibuk dengan hari-harinya di Himpunan Mahasiswa Jurusan. Ikko yang tidak membutuhkan Maria lebih dari dulu. Ikko pasti telah memiliki pengganti yang lebih baik dan “lebih dekat”.
                     “Baik. Oke aku doain semoga UTS nya lancar ya Ko..”

                     Message sent.

I wish I could lay down beside you when the day is done
And wake up to your face against the morning sun
But like everything I’ve ever known
You disappear one day
So I spend my whole life hiding my heart away…

                     Hiding My Heart dari Adele sayup-sayup terdengar dari playlist PC Maria ketika ia sibuk memindahkan ke folder D. Senja yang cerah telah berubah menjadi gelap. Malam makin merangkak.       
                    
 “Cekleek.”
                     Maria mengunci pintu kamar seusai sholat isya’. Ia sempat melihat Kirana yang menemani Dion belajar menghapal angka dan abjad. Suara jagoan kecil itu sangat lucu dan nyaring. Tak lama kemudian, jari-jari gadis yang bercita-cita memiliki sebuah yayasan pendidikan bagi anak-anak kurang mampu dan berkebutuhan khusus itu telah asyik merangkai kalimat demi kalimat pada menu write post pada blog pribadinya.

Blue Park, 20.03 WIB

Seharusnya Cinta

 Lagi, bahwa seharusnya kau tahu bahwa kekuatan cinta itu bahkan tetap dahsyat walau ia tak tampak dalam rupa. Cinta, yang walaupun itu picisan dan mereka bilang “cinta monyet” ternyata sanggup mengubah hari-hari sang belia menjadi penuh bunga seribu warna. Ia serupa datang dari pandangan mata, namun ditundukkan oleh hati dan ditakzimi oleh seluruh jiwa dan raga. Kepada mereka, yang tanpa kau sadari ingin kau bahagiakan hari-harinya.
Hukum mencintai adalah memberi hingga sehabis-habisnya tanpa meminta hal itu kembali. Sebab sejatinya dengan member kita tak pernah habis bukan? Sebab memberi adalah menanam selaksa senyuman yang berbekas sangat dalam. Dengan memberi kau tidak akan pernah merasa kekurangan, justru kau akan mendapat lebih. Ucapkan sekali lagi, “dengan member, kau akan mendapat lebih..”
Maka rumus mencintai orangtuamu, kawanmu, kekasihmu, anak-anakmu adalah dengan hanya member sehabis-habisnya, maka kau akan mendapat lebih…
Percayalah! Percayalah bahwa jika rumus ini dibalik, mungkin kau tidak akan lebih tenang dari kondisimu saat ini. Bahwa ketika kau hanya menitipkan mimpimu pada anak-anakmu, ternyata kau menjadi tak tenang karena dipenuhi rasa kekhawatiran. Khawatir jika anakmu tak bisa sesuai inginmu untuk menjadi seorang dokter atau polisi. Khawatir apabila anakmu ternyata kurang pandai sehingga tidak dapat masuk ke Fakultas yang kau inginkan. Dan kekhawatiran itu akan menumbuhkan benci. Namun, dengan memberi sehabis-habisnya, kau hanya perlu untuk memberi bekal pendidikan terbaik, bekal nasehat terbaik serta bekal kasih sayang terbaik. Kau lepas dia dengan kepercayaan yang telah kau hujam dalam-dalam ke hatimu. Aku tau kau tak bisa sepenuhnya percaya padanya. Kau terlalu sayang padanya. Namun kau harus! Sebab tugasmu hanya member saja. Beri terus!
Demikian pada sahabatmu, juga kekasihmu. Kau tak berhak menitipkan rasa cemburu walaupun setitik noda pada kain putihmu. Kau hanya diizinkan untuk mencurahkan segenap ketulusan dengan cintamu. Disana ada tangan yang ringan menolong, disana ada senyuman yang membantunya untuk bangkit, disana ada tangan yang memantiknya ketika tertatih, disana ada kepekaan yang merangkai pita merah muda setiap kali ulang tahunnya. Berikan saja! Beri terus! Biarkan kekuatan cinta yang bekerja.
Percayakah, ternyata hubungan pernikahan dua manusia tidak membuat keduanya terikat untuk tidak berkhianat. Pernikahan tidak berarti bahwa dia adalah saklar yang kau tekan untuk menyalakan lampumu. Tidak. Kadar cemburumu tidak akan berkurang dengan pernikahan. Justru semakin menjadi-jadi. Kau mulai membayangkan setiap  gerak-geriknya ketika dia keluar rumah. Apalagi ketika ia telah berada di tempat yang jauh. Kau akan semakin dipenuhi rasa khawatir karena kau berharap dia akan memberi sesuatu sebagai kompensasi atas pengabdianmu.
Cinta yang tulus lebih dari sekedar menggenapi atau melengkapi. Cinta yang tulus akan menyempurnakan cinta yang lainnya. Seperti sebuah senyuman yang akan berbalas senyuman yang lain lagi. Menjadi pemberi yang dermawan dengan ketulusan memang tidak mudah. Tapi, semua yang terlihat oleh mata, semua yang teraba oleh indera kelak akan habis juga. Tapi rasa yang berwujud cinta, akan hidup dan menghidupi siapa yang memanggilnya.

Selamat Mencintai ya!

Publish. Close tab.

Malam membisu. Ia mengabaikan semua pesan yang masuk bertubi-tubi pada ponsel dan semua jejaringnya. Semoga esok semesta akan merangkum semua tanya yang tak selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar