Senin, 24 Februari 2014

Here I am : Anak Tukang Becak Jadi Sarjana! (Tulisan ini telah saya kirimkan untuk laman studyinjogja.com)




Saat-saat akhir Sekolah Menengah Atas (SMA) mendekati masa transisi menjadi mahasiswa barangkali adalah masa paling sulit dalam hidup saya. Dikala temen-temen sekolah saya disibukkan dengan kebingungan rencana-rencana kuliah seperti pilihan universitas, jurusan ataupun ujian seleksi masuk Perguruan Tinggi mana aja yang bakal mereka ambil, well, inilah saya yang cuma anak seorang tukang becak dan ibu rumah tangga. Disaat mereka punya banyak saudara yang berpendidikan tinggi juga orang tua kooperatif yang bisa diajak diskusi tentang gambaran masa depan mereka, saya seakan nggak punya pilihan. 4 saudara saya yang lain selepas SMA semua bekerja sebagai buruh serabutan.

Walaupun saya tercatat sebagai siswa SMA terbaik di kota dan juga anak IPA, tapi sayangnya saya bukan siswa pandai di kelas IPA. Dari 4 Mapel IPA (Matematika, Fisika, Kimia, Biologi), hanya biologi yang saya lolos Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Tiga lainnya saya selalu ikut remedial test. Untungnya, guru-guru di sekolah nggak tega nyebut saya sebagai “siswa bodoh” karena saya punya prestasi di bidang lain yaitu English debate dan Indonesian Debate.

Noted, Saya bukan anak yang terlampau pandai buat dapetin beasiswa masuk Perguruan Tinggi tanpa biaya dan seleksi. Pada tahun 2009 ketika saya lulus, belum ada beasiswa bidik misi dari Pemerintah yang dapat menggratiskan anak-anak kurang mampu kuliah hingga lulus S1. Beasiswa-beasiswa dari Perguruan Tinggi Swasta juga belum semarak sekarang. Apalagi, beberapa tahun lalu saya sangat kudet (kurang update) dengan berbagai informasi. Maklum, anak tukang becak yang untuk ke warnet saja harus menyisihkan uang saku harian. Dalam silsilah keluarga saya belum pernah ditemukan satu orang pun yang bergelar Sarjana, dan orangtua saya nggak mungkin diperas dalam waktu singkat buat dapetin duit jutaan. Terakhir ketika saya minta tolong mereka buat cari pinjaman di Bank, bapak justru bilang,”Bapak masih punya angsuran hutang yang belum selesai di 3 Bank yang berbeda. Kalau mau nyari pinjeman lagi, kita nggak punya surat berharga buat bakal jaminan…”. Pikir saya,”OK. Semua peluang kayaknya udah tertutup.”

Untung saja pikiran negatif untuk menutup semua peluang yang “mungkin” masih banyak di depan sana tidak lama mempengaruhi semangat saya.

Saya harus bersyukur pada Tuhan untuk menjadikan kenekatan sebagai harta satu-satunya yang saya jaga serta teman-teman baik sebagai perhiasan yang saya miliki. Lucunya, saat itu lagu dari D’ Massiv yang berjudul “Jangan Menyerah” lagi hits. Kalau kalian lupa, kira-kira begini liriknya : Tak ada manusia yang terlahir sempurna…(Ups, malah nyanyi). Iya, thanks to Ryan D’massiv yang sempat hadir dalam beberapa mimpi saya di malam hari sambil nyanyi-nyanyi menyemangati saya ketika itu hampir putus asa. Hehehe…

Dalam setiap doa, hal yang nggak putus saya sampaikan ke Tuhan adalah,”Ya Allah, sesungguhnya saya tak punya keinginan apapun dalam hidup ini. Apakah itu untuk menjadi orang yang besar di mata orang lain atau menjadikan diri merasa bangga namun lupa darimana saya berasal. Saya hanya ingin menghadirkan senyuman di bibir Bapak dan Ibu biar mereka sadar bahwa mereka adalah orang tua yang hebat. Tak ada jalan yang terlampau sulit untuk dilalui jika itu adalah kehendakMu dan Engkau selalu bersamaku.” Kelak, hingga hari ini ketika saya sering ikut dalam banyak kompetisi mahasiswa atau beberapa kegiatan sosial anak muda, bahkan hampir Sarjana, doa saya nggak pernah berubah. Tetap seperti itu tanpa sedikitpun revisi.

Dari Seleksi ke Seleksi

            Saya berpikir kalau saya harus terus menantang Tuhan dengan kenekatan saya. Satu-satunya keyakinan saya adalah Tuhan setidaknya bakal kasihan sama si bodoh nan miskin ini sehingga setidaknya saya bakal dikasih kesempatan buat mewujudkan mimpi saya : Menjadi Sarjana pertama dalam silsilah keluarga saya. And believe it or not, sebenarnya ketika sebuah mimpi akan menjadi kenyataan, kalian nggak akan pernah mau berhenti untuk memperjuangkannya. Entah kenapa dulu saya yakin banget bakal jadi mahasiswa (entah jurusan apa, di kota mana), tapi mimpi tersebut terasa sangat nyata dan sangat dekat, hampir-hampir dapat saya peluk erat dan saya cium baunya.

            Mendekati hari-hari terakhir pendaftaran berbagai tes seleksi masuk, tiba-tiba saja saya dipanggil ke ruang Kepala Sekolah. Ternyata ada 3 anak, yang salah satunya adalah saya yang diputuskan untuk mendapat beasiswa dari sekolah. Pesan dari Bu Purwanti, Wakil Kepala Bidang Kesiswaan, uang tersebut harus digunakan buat beli kambing atau modal jualan orang tua. Tapi karena keinginan saya untuk ikut berbagai tes saat itu sudah sampai di ubun-ubun dan hampir meledak, saya ijin ke Ibu Guru kalau uangnya akan saya pakai buat beli formulir pendaftaran tes.

            Si miskin ini dahulu mempunyai beragam cita-cita. Salah satu yang paling kuat adalah menjadi akademisi. Setiap membaca Harian Kompas pada bagian Kolom Opini, saya membayangkan suatu saat nama saya yang akan bertengger disana sebagai kolumnis. Atau, ketika menonton sebuah acara talkshow inspiratif di televisi, saya membayangkan suatu saat saya akan bisa menjadi narasumber sebuah acara TV Nasional. Toh hari ini, saya merevisi semua cita-cita itu. Saya tidak ingin semata mengharap tepuk tangan manusia. Berbekal cita-cita yang cukup kuat itu, singkat cerita saya membeli berbagai formulir pendaftaran ujian tulis PT.

Pertama, saya ikut Simak UI dengan pilihan pertama jurusan Ilmu Pemerintahan dan pilihan kedua jurusan Ilmu Komunikasi. Kedua, saya ikut Ujian Masuk UGM dengan pilihan pertama jurusan Ilmu Pemerintahan dan pilihan kedua jurusan Ilmu Komunikasi. Ketika ada tabel pengisian “biaya yang bersedia dibayarkan apabila anda diterima di universitas ini”, saya melingkari pilihan “nol rupiah”. Ternyata, saya gagal untuk diterima di dua universitas terbaik negeri tersebut.

Kegagalan tersebut membuat saya cukup terpukul. Kegagalan tersebut membuat saya terpaksa menyadari jika saya ini tidak cukup pandai untuk dapat diterima di Perguruan Tinggi Negeri ternama. Namun saya sadar bahwa langkah tidak boleh berhenti sampai disini. Pertemuan dengan siswa-siswa lain dari berbagai kota dengan penampilan mereka yang berkecukupan entah mengapa membuat mimpi saya menjadi mahasiswa semakin menguat. Saya tidak ingin berhenti sebelum semua peluang benar-benar tertutup.

Saya mengevaluasi apa sebab saya gagal. Sedari awal saya telah menyadari bahwa jurusan yang saya pilih adalah bidang IPS, sedangkan saya adalah anak IPA. Saya memang telah memutuskan hal itu karena selain tidak punya passion di bidang IPA, saya juga tak percaya diri dengan kemampuan IPA saya yang demikian buruk. Itu artinya, saya harus fokus belajar mata pelajaran IPS. Saya mempersiapkan diri untuk ikut seleksi masuk Universitas Negeri Semarang (UNNES). Saya akhirnya (sempat) diterima sebagai calon mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia FBS UNNES. Namun, kenapa saya gagal lagi?

Benar. Saya harus membayar 5 juta rupiah agar bisa benar-benar resmi menjadi mahasiswa UNNES. Dan suatu sore ketika saya menyampaikan berita gembira tersebut ke Bapak, Bapak bahkan tidak menoleh ke arah saya. Tak ada jawaban bahkan sinyal tatap mata yang saya tangkap dari beliau. Saya kembali (sangat) putus asa.

Tes-tes Perguruan Tinggi kedinasan seperti STAN, tidak berhasil saya taklukkan. Berkas-berkas beasiswa ke beberapa Perguruan Tinggi Negeri Kedinasan seperti Akademi Kimia Analisis Bogor, Sekolah Tinggi Perikanan, AKIP dan lain-lain berakhir tanpa jawaban. Hingga akhirnya, satu-satunya pilihan terakhir saya ada pada Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Beasiswa dari sekolah sudah habis untuk biaya kesana kemari. Pada cerita ini sekaligus saya ingin mengabadikan nama-nama yang turut memperjuangkan cerita saya hingga hari ini saya hampir dapat mewujudkan mimpi saya. Terimakasih kepada Dyah (Tek. Sipil Undip 09), Santi (Arsitektur UII ’09), dan Ariyan Bayu (STAN 09) yang memberi “uang saku” pada saya untuk berangkat mengikuti test SNMPTN. 

Akhirnya saya diterima lewat jalur SNMPTN pada jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UNS. Loh, kemana larinya mimpi-mimpi saya untuk jurusan Ilmu Pemerintahan dan Ilmu Komunikasi? Alkisah, suatu malam sebelum saya berangkat ke Yogyakarta untuk mendaftar SNMPTN, Ibu saya berpesan,”Semoga tercapai cita-citamu untuk menjadi guru ya, Nduk. Ibu ndak tahu gimana caranya. Ibu percaya sama usaha kamu. Tapi Ibu juga senang kalau suatu saat kamu jadi guru.” Sampai sekarang, saya juga heran kenapa dahulu Ibu bisa berpesan seperti itu. Tapi karena mengingat pesan beliau malam itu, akhirnya saya memang memutuskan untuk melingkari jurusan Pendidikan Bahasa Inggris pada formulir pendaftaran SNMPTN.

Ketika tahu bahwa saya diterima lewat jalur SNMPTN, saya sangat bahagia. Bayangan akan menjadi Sarjana sudah sangat dekat di depan mata. Saya beranikan diri untuk menyampaikan kepada Bapak bahwa saya diterima di UNS dan harus membayar biaya 3,8 juta. Saya berharap kali ini Bapak akan luluh, namun ternyata : tidak. Bapak kembali bersikap acuh dan dingin. Semalaman itu saya menangis karena tak tahu lagi harus berbuat apa. Saya teringat jika satu-satunya benda yang masih dapat kami jual adalah Sepeda Motor Honda keluaran Tahun 2004. Tapi, saya juga tahu betul kalau cicilannya belum lunas. Bapak belum punya BPKBnya. Atas ijin Bapak saya memperjuangkan bagaimana agar motor tersebut bisa berubah menjadi uang minimal 5 juta untuk membayar biaya pangkal masuk dan biaya perjalanan awal saya. Sisanya, saya tidak pikirkan akan dapat uang darimana. Toh nyatanya, setelah bolak-balik ke dealer resmi untuk menego cicilan beserta denda, mereka tetap tidak bersedia. Saya mengunjungi rumah guru-guru, menanyakan apakah mereka bersedia mengganti motor yang saya punya dengan uang sejumlah 5 juta, tetap tak ada yang bersedia.

Saat itu saya sungguh tak tahu harus berbuat apa lagi. Saya menjadi gampang sekali menangis membayangkan mimpi-mimpi saya yang nampaknya akan gagal. Entah petunjuk darimana, saya memiliki ide untuk menelpon beberapa teman. Saya sampaikan saya ingin meminjam uang 3,8 juta dan akan saya kembalikan dalam jangka waktu satu tahun. Bodohnya, saya hanyalah anak lulusan SMA yang tak memiliki jaminan apapun yang tentu saja tak ada yang bisa mengabulkan keinginan saya itu. Saya terus menggumamkan doa andalan saya hingga tanpa sadar saya menelpon Mbak Azizah. Beliau adalah kakak senior saya di sebuah organisasi pengajian remaja di kota. Ketika Mbak Azizah mengangkat telepon, saya juga kaget mengapa saya bisa menelepon beliau. Tapi beliau saat itu sudah terlanjur mendengar tangisan dan suara saya yang serak sehingga memaksa saya untuk bercerita. Saya pun memberanikan diri untuk bercerita pada beliau.

Singkat cerita, saya datang ke Semarang untuk memenuhi undangan Mbak Azizah. Beliau yang saat itu adalah Mahasiswa tingkat akhir di Teknik Industri Undip berkata akan berusaha membantu saya. Sampai saat ini, saya tidak tahu uang 3,8 juta yang diberikan Mbak Azizah untuk membayar biaya masuk UNS 4 tahun lalu itu berasal darimana. Beliau bilang uang tersebut bukan uang pribadinya. Beliau hanya berkata, “Suatu saat uang tersebut harus kamu kembalikan kepada adik-adikmu yang juga kesulitan ketika ingin melanjutkan kuliah.” Pesan beliau itu akan selalu saya ingat.

Sekali lagi, saya ingin mengucapkan terima kasih pada beberapa nama yang menjadi bagian dari perjalanan saya hingga hari ini. Kepada Mas Koko (FH UGM 07) yang menemani saya antri formulir di GSP UGM, kepada Mbak Nia (MIPA UNY 07) dan Mas Iim (Ilkom UGM 06) yang sudah mengantar saya sampai ke Gedung Teknik Fisika UGM untuk tes SNMPTN. Padahal, usut punya usut Mas Iim dulunya adalah aktivis dakwah kampus UGM yang dengan semena-mena dan percaya diri saya membonceng sepeda motornya. Uhuk!

Achievement Never Ask Who You Are

Saya berhasil jadi mahasiswa tidak dengan mudah. Tapi enggak berarti juga saya rajin belajar semata karena buat bales dendam. Nggak, saya menjadi mahasiswa yang “belajar serius” karena semata kewajiban saya pada bangsa dan Negara ini. Saya ingin jadi mahasiswa terbaik, guru terbaik agar kelak saya bisa mengajar banyak anak-anak yang kurang mampu. Sebagai perempuan yang tentunya calon ibu, saya ingin anak saya kelak menghargai semua orang tua, guru dan ilmu pengetahuan di dunia ini. Oleh karena itu, saya harus memulai hal itu dari diri saya sendiri. Saya selalu berusaha bersungguh-sungguh di setiap kelas kuliah dan ruang-ruang ilmu pengetahuan seperti seminar dan diskusi.

Di Solo, saya menghidupi diri saya dan kegiatan kuliah saya dengan mengajar les, beasiswa, menulis dan lomba-lomba. Motor Honda yang dahulu hampir saya jual, diserahkan dengan sukarela oleh bapak dengan berpesan,”Bapak mungkin nggak bisa ngasih uang saku ke kamu buat hidup di Kota. Tapi bawalah motor ini, mungkin bermanfaat buat ngajar les atau kerja paruh waktu.”

Alhamdulillah, dengan izin Tuhan selama menjadi mahasiswa saya bisa menjadi Juara penulisan artikel dan Karya Tulis Ilmiah Nasional, Debat Mahasiswa, Mahasiswa Berprestasi Fakultas juga tercatata sebagai Mahasiswa terbaik jurusan. Sebuah prestasi tak pernah bertanya siapa dirimu dan darimana kamu berasal. Miskin atau kaya, desa atau kota, ia hanya meminta proses yang bernama perjuangan dan keringat.

Toh, awalnya saya mengira prestasi-prestasi itu berharga dan akan abadi, tapi nyatanya tidak sama sekali. Selama masih hidup, prestasi bukanlah sesuatu yang abadi. Hari ini mungkin kita bisa bangga karena menjadi pemenang terbaik sebuah Kompetisi Mahasiswa Nasional, tapi 3 bulan lagi ketika kita tidak terus mengasah diri, orang-orang akan melupakan kita. Every people actually live in their own life without busy thinking who we are. Artinya, ketika kita berhenti berkarya, pada suatu fase kemudian, kita tidak akan menjadi apa-apa. Bukan piala ataupun sertifikat kita dapat yang berharga. Melainkan ilmu yang kita dapatkan. Figur, sahabat karib saya pernah berkata, “Orang yang berilmu tak akan goyah oleh zaman. Lihatlah para filosof pendahulu, biarpun mereka hidup dengan sangat pas-pasan, mereka telah merasa hidupnya sangat bermakna.”

Yah, walaupun kelak saya yakin dapat lebih memperjuangkan masa depan anak-anak saya, walaupun  kini saya lebih optimis dalam melangkah, doa-doa saya tak pernah berubah, mimpi-mimpi saya tetap sama. Setapak langkah diatas hanya secuil cerita dalam rangka memperjuangkan satu ikhtiar hidup, masih banyak fragmen makna lain yang menuntut untuk kita selesaikan. Semoga dalam keadaan apapun, saya tetap menjadi pribadi yang bukan siapa-siapa dan bukan apa. Because If you have nothing, You’ve got nothing to loose!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar