Ada yang unik
dari aktivitas Front Pembela Islam (FPI) yang melakukan pembubaran bedah buku
“Tan Malaka IV” oleh Harry A Poeze di sebuah rumah di Jalan Cipto Surabaya pada
Jumat malam (7/2/2014). Biasanya, aktivitas FPI yang selalu menimbulkan
kerusuhan itu berkaitan dengan hal-hal “syariat” seperti penertiban (sweeping) warung-warung miras, diskotik,
pelarangan kegiatan yang diduga sebagai aliran sesat, atau kontroversi
rumah-rumah ibadah.
Kali ini, FPI
mulai turut campur pada ranah-ranah kebebasan publik dalam menyampaikan
kehendak dan kebebasan dalam berpendapat. Hal tersebut tampak dari ucapan Ketua
Bidang Nahi Munkar, FPI Jawa Timur, KH Dhofir yang menjelaskan bahwa bedah buku
Tan Malaka lebih baik digelar di kampus karena kampus adalah tempat untuk
belajar, dan buku tersebut dapat dikaji secara ilmiah. Mereka beralasan bahwa
aktivitas tersebut dikhawatirkan dapat mengajak orang untuk beraktivitas yang
tidak benar. Hal ini tentu saja tidak benar sebab bertentangan dengan
nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 tentang kemerdekaan dalam menyampaikan
pendapat.
Tan Malaka dan Ingatan Sejarah
Adalah
tercatat divisi nahi munkar dalam FPI yang bertugas untuk melakukan aksi sejenis
pembubaran sepihak atas acara-acara yang menurut mereka tergolong kemunkaran.
Hal yang perlu kita tanyakan adalah kemunkaran seperti apa yang mereka
maksudkan?
Marilah kita
mengkaji tentang Tan Malaka. Tan Malaka adalah seorang pahlawan nasional yang telah
ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 28 Maret 1963, melalui Keputusan
Presiden (Keppres) No. 53 Tahun 1963. Berkaitan dengan komunis, Tan Malaka
justru dianggap sebagai musuh terbesar PKI karena mendirikan Partai Murba
(1948). Nama Tan Malaka lebih bersinar karena karya tulisnya yang hidup dan
menjadi referensi sejarah agung negeri ini. Pada tahun 1925, Tan Malaka telah
menulis Naar de Republiek Indonesia
(Menuju Republik Indonesia). Mahakarya agung tersebut menyuarakan bahwa bangsa
Indonesia harus bersegera merebut kemerdekaan dengan memahami situasi sosial
dan ekonomi bangsa dengan belajar dari situasi politik dunia setelah perang
dunia pertama tahun 1914-1918. Karya-karya lain yang dicatat sebagai bagian
yang terpenting adalah Madilog, Aksi Massa dan Gerpolek.
Tempo pernah
mengabadikan kehidupan Tan Malaka dengan Tajuk “Bapak Republik yang dilupakan”.
Tan Malaka dan teman-temannya dihapus dalam ingatan bangsa ini karena ideologi
komunis yang mereka anut. Padahal sebagai ideologi, komunis bukanlah suatu
kejahatan. Ideologi komunis pernah dianut oleh sebagian bangsa kita secara
legal. Bahkan tokoh PKI, Munawar Musso, adalah mantan pengurus Sarekat Islam
dan tinggal di rumah H.O.S Tjokroaminoto bersama Sukarno, Alimin, Semaun dan
Kartosuwiryo. Namun ketika Orde Baru berkuasa, ideologi ini diberangus. PKI
dibubarkan dengan mengeksekusi tokoh-tokohnya bahkan simpatisan pun turut
disikat, serta tidak sedikit rakyat jelata yang tidak tahu menahu menjadi
korban kekerasan tragedi Gestapu.
Pemakluman
bangsa atas tragedi tersebut berhenti pada kenyataan sejarah bahwa rezim
Soeharto langgeng dengan ditopang oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Rezim
yang berkuasa selama 32 tahun itu disokong oleh negara-negara liberal, yang tak
lain merupakan negara-negara yang memusuhi komunisme. Mitos ketakutan pada
“ekstrim kiri” hampir setiap hari didoktrinkan Orde Baru kepada rakyat. Politik
bebas aktif yang dicanangkan oleh Sukarno telah mati. Tak ada lagi Negara non-blok
yang memiliki ketegasan dalam menentukan sikap. Sedang phobia terhadap ideologi komunis pun terlanjur mendarah daging pada
bangsa yang dibesarkan oleh rezim Orde Baru.
Satu lagi
yang tidak boleh dilupakan oleh FPI adalah bahwa Tan Malaka pernah berpidato di
Kongres Komunis Internasional pada tahun 1922 dengan menyatakan bahwa islam
adalah tidak sekadar agama, namun menyangkut semua hal termasuk politik,
ekonomi, dan sosial budaya sehingga perjuangan kemerdekaan semua yang tertindas
adalah tanggung jawab persaudaraan semua muslim. Tan Malaka adalah representasi
muslim rahmatan lil alamiin. Bangsa
Indonesia memiliki hutang besar pada Harry A Poeze, warga keturunan Belanda
yang mendedikasikan 40 tahun hidupnya untuk meneliti Tan Malaka. Pahlawan
nasional yang hingga kini bahkan belum jelas dimana makamnya itu akan selalu
menjadi mutiara lewat buah pikirnya.
Tafsir Kemerdekaan Berpendapat
FPI yang
mengaku bertujuan untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat islam
seharusnya mengkaji kembali bagaimana islam sangat terbuka dalam hal
kemerdekaan dalam berpendapat. Untuk itu saya ingin mengkaji kembali
kaidah-kaidah dakwah dalam islam dan prinsip-prinsipnya, wasilah
(sarana-sarana) dan metode-metodenya.
Dalam Al
Qur’an surat An Nahl (16: 125) terdapat penjelasan tiga macam metode dakwah
yang harus disesuaikan dengan sasaran dakwah. Pertama adalah bilhikmah, yakni
metode yang digunakan kepada cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi.
Dakwah bilẖikmah adalah
berdialog dengan kata-kata bijak sesuai tingkat kepandaian mereka. Terhadap
kaum awam, diperintahkan untuk mau’izhah yakni memberikan nasihat dan
perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan pengetahuan mereka yang
sederhana. Sedang terhadap Ahl al-Kitāb dan penganut agama-agama lain
yang diperintahkan adalah jidāl/ mujadalah billati hiya ahsan atau perdebatan
dengan cara yang terbaik yaitu dengan logika dan retorika yang halus, lepas
dari kekerasan.
Kata ẖikmah,
menurut Endang Saifuddin Anshari dalam buku Wawasan Islam diartikan sebagai sesuatu yang bila
digunakan/diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar
atau lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang
besar atau lebih besar. Lagipula, makna hikmah ini secara
sharaf berasal dari kata hakamah, yang berarti kendali. Sehingga
dapat kita simpulkan, perwujudan dari ẖikmah adalah memilih perbuatan
yang terbaik dan sesuai. Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua
hal yang buruk pun dinamai ẖikmah, dan pelakunya dinamai hakīm
(bijaksana). Siapa yang tepat dalam penilaiannya dan dalam pengaturannya, dialah
yang wajar menyandang sifat ini atau dengan kata lain dia adalah hakīm.
Kaum radikal
yang mengusung kekerasan sesungguhnya bertentangan dengan tajuk “islam” yang
mereka gunakan sebagai semangat geraknya. Jika mereka bersembunyi lewat alasan
bahwa perang dibenarkan dalam masa Rasulullah, kenyataannya perang yang
dilakukan di masa Rasulullah lebih bersifat defensif (upaya untuk bertahan dari
serangan lawan) dan bukan ofensif (menyerang) (QS. al-Baqarah [2]: 191).
Selebihnya, Rasulullah mengajarkan umatnya untuk berdakwah dengan penuh
kelembutan, kebijaksanaan dan bertahap (at-tadarruj fī ad-da’wah).
Secara retoris, ketua FPI berkali-kali mengatakan dukungannya
terhadap NKRI, tetapi kenyataannya tidak demikian. Perilaku para anggota FPI
dengan merusak dan mengancam warga lain yang dianggap tidak sejalan dengan
mereka merupakan ancaman serius bagi stabilitas negara.
Kesetiaan pada NKRI tidak cukup dinyatakan lewat kata-kata,
apalagi sekadar retorika kepura-puraan. Ia harus dibuktikan dengan perilaku, tentu
saja yang dimaksud adalah perilaku yang sesuai dengan Pancasila dan konstitusi.
Sendi-sendi yang paling asasi dalam negeri ini, termasuk didalamnya adalah
nilai-nilai tentang kemerdekaan dalam menyampaikan pendapat, tidak boleh
digugat lewat jalan apapun, apalagi lewat jalan kekerasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar