Kamis, 13 Februari 2014

PRINSIP DAKWAH DAN INGATAN SEJARAH



Ada yang unik dari aktivitas Front Pembela Islam (FPI) yang melakukan pembubaran bedah buku “Tan Malaka IV” oleh Harry A Poeze di sebuah rumah di Jalan Cipto Surabaya pada Jumat malam (7/2/2014). Biasanya, aktivitas FPI yang selalu menimbulkan kerusuhan itu berkaitan dengan hal-hal “syariat” seperti penertiban (sweeping) warung-warung miras, diskotik, pelarangan kegiatan yang diduga sebagai aliran sesat, atau kontroversi rumah-rumah ibadah. 

Kali ini, FPI mulai turut campur pada ranah-ranah kebebasan publik dalam menyampaikan kehendak dan kebebasan dalam berpendapat. Hal tersebut tampak dari ucapan Ketua Bidang Nahi Munkar, FPI Jawa Timur, KH Dhofir yang menjelaskan bahwa bedah buku Tan Malaka lebih baik digelar di kampus karena kampus adalah tempat untuk belajar, dan buku tersebut dapat dikaji secara ilmiah. Mereka beralasan bahwa aktivitas tersebut dikhawatirkan dapat mengajak orang untuk beraktivitas yang tidak benar. Hal ini tentu saja tidak benar sebab bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 tentang kemerdekaan dalam menyampaikan pendapat.

Tan Malaka dan Ingatan Sejarah
Adalah tercatat divisi nahi munkar dalam FPI yang bertugas untuk melakukan aksi sejenis pembubaran sepihak atas acara-acara yang menurut mereka tergolong kemunkaran. Hal yang perlu kita tanyakan adalah kemunkaran seperti apa yang mereka maksudkan?

Marilah kita mengkaji tentang Tan Malaka. Tan Malaka adalah seorang pahlawan nasional yang telah ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 28 Maret 1963, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 53 Tahun 1963. Berkaitan dengan komunis, Tan Malaka justru dianggap sebagai musuh terbesar PKI karena mendirikan Partai Murba (1948). Nama Tan Malaka lebih bersinar karena karya tulisnya yang hidup dan menjadi referensi sejarah agung negeri ini. Pada tahun 1925, Tan Malaka telah menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Mahakarya agung tersebut menyuarakan bahwa bangsa Indonesia harus bersegera merebut kemerdekaan dengan memahami situasi sosial dan ekonomi bangsa dengan belajar dari situasi politik dunia setelah perang dunia pertama tahun 1914-1918. Karya-karya lain yang dicatat sebagai bagian yang terpenting adalah Madilog, Aksi Massa dan Gerpolek.

Tempo pernah mengabadikan kehidupan Tan Malaka dengan Tajuk “Bapak Republik yang dilupakan”. Tan Malaka dan teman-temannya dihapus dalam ingatan bangsa ini karena ideologi komunis yang mereka anut. Padahal sebagai ideologi, komunis bukanlah suatu kejahatan. Ideologi komunis pernah dianut oleh sebagian bangsa kita secara legal. Bahkan tokoh PKI, Munawar Musso, adalah mantan pengurus Sarekat Islam dan tinggal di rumah H.O.S Tjokroaminoto bersama Sukarno, Alimin, Semaun dan Kartosuwiryo. Namun ketika Orde Baru berkuasa, ideologi ini diberangus. PKI dibubarkan dengan mengeksekusi tokoh-tokohnya bahkan simpatisan pun turut disikat, serta tidak sedikit rakyat jelata yang tidak tahu menahu menjadi korban kekerasan tragedi Gestapu.

Pemakluman bangsa atas tragedi tersebut berhenti pada kenyataan sejarah bahwa rezim Soeharto langgeng dengan ditopang oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Rezim yang berkuasa selama 32 tahun itu disokong oleh negara-negara liberal, yang tak lain merupakan negara-negara yang memusuhi komunisme. Mitos ketakutan pada “ekstrim kiri” hampir setiap hari didoktrinkan Orde Baru kepada rakyat. Politik bebas aktif yang dicanangkan oleh Sukarno telah mati. Tak ada lagi Negara non-blok yang memiliki ketegasan dalam menentukan sikap. Sedang phobia terhadap ideologi komunis pun terlanjur mendarah daging pada bangsa yang dibesarkan oleh rezim Orde Baru.

Satu lagi yang tidak boleh dilupakan oleh FPI adalah bahwa Tan Malaka pernah berpidato di Kongres Komunis Internasional pada tahun 1922 dengan menyatakan bahwa islam adalah tidak sekadar agama, namun menyangkut semua hal termasuk politik, ekonomi, dan sosial budaya sehingga perjuangan kemerdekaan semua yang tertindas adalah tanggung jawab persaudaraan semua muslim. Tan Malaka adalah representasi muslim rahmatan lil alamiin. Bangsa Indonesia memiliki hutang besar pada Harry A Poeze, warga keturunan Belanda yang mendedikasikan 40 tahun hidupnya untuk meneliti Tan Malaka. Pahlawan nasional yang hingga kini bahkan belum jelas dimana makamnya itu akan selalu menjadi mutiara lewat buah pikirnya.

Tafsir Kemerdekaan Berpendapat
FPI yang mengaku bertujuan untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat islam seharusnya mengkaji kembali bagaimana islam sangat terbuka dalam hal kemerdekaan dalam berpendapat. Untuk itu saya ingin mengkaji kembali kaidah-kaidah dakwah dalam islam dan prinsip-prinsipnya, wasilah (sarana-sarana) dan metode-metodenya. 

Dalam Al Qur’an surat An Nahl (16: 125) terdapat penjelasan tiga macam metode dakwah yang harus disesuaikan dengan sasaran dakwah. Pertama adalah bilhikmah, yakni metode yang digunakan kepada cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi. Dakwah bilẖikmah adalah berdialog dengan kata-kata bijak sesuai tingkat kepandaian mereka. Terhadap kaum awam, diperintahkan untuk mau’izhah yakni memberikan nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan pengetahuan mereka yang sederhana. Sedang terhadap Ahl al-Kitāb dan penganut agama-agama lain yang diperintahkan adalah jidāl/ mujadalah billati hiya ahsan atau perdebatan dengan cara yang terbaik yaitu dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan.

Kata ẖikmah, menurut Endang Saifuddin Anshari dalam buku Wawasan Islam diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih besar. Lagipula, makna hikmah ini secara sharaf berasal dari kata hakamah, yang berarti kendali. Sehingga dapat kita simpulkan, perwujudan dari ẖikmah adalah memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai. Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang buruk pun dinamai ẖikmah, dan pelakunya dinamai hakīm (bijaksana). Siapa yang tepat dalam penilaiannya dan dalam pengaturannya, dialah yang wajar menyandang sifat ini atau dengan kata lain dia adalah hakīm

Kaum radikal yang mengusung kekerasan sesungguhnya bertentangan dengan tajuk “islam” yang mereka gunakan sebagai semangat geraknya. Jika mereka bersembunyi lewat alasan bahwa perang dibenarkan dalam masa Rasulullah, kenyataannya perang yang dilakukan di masa Rasulullah lebih bersifat defensif (upaya untuk bertahan dari serangan lawan) dan bukan ofensif (menyerang) (QS. al-Baqarah [2]: 191). Selebihnya, Rasulullah mengajarkan umatnya untuk berdakwah dengan penuh kelembutan, kebijaksanaan dan bertahap (at-tadarruj fī ad-da’wah).

Secara retoris, ketua FPI berkali-kali mengatakan dukungannya terhadap NKRI, tetapi kenyataannya tidak demikian. Perilaku para anggota FPI dengan merusak dan mengancam warga lain yang dianggap tidak sejalan dengan mereka merupakan ancaman serius bagi stabilitas negara.

Kesetiaan pada NKRI tidak cukup dinyatakan lewat kata-kata, apalagi sekadar retorika kepura-puraan. Ia harus dibuktikan dengan perilaku, tentu saja yang dimaksud adalah perilaku yang sesuai dengan Pancasila dan konstitusi. Sendi-sendi yang paling asasi dalam negeri ini, termasuk didalamnya adalah nilai-nilai tentang kemerdekaan dalam menyampaikan pendapat, tidak boleh digugat lewat jalan apapun, apalagi lewat jalan kekerasan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar