Aku menemukan hal menarik lagi siang ini. Aku menulis
catatan ini setelah shalat dzuhur, sesaat setelah melihat (lagi) film berjudul
tanda tanya (?) karya Hanung Bramantyo. Film yang baru aku saksikan satu kali
saja, sekitar tiga tahun yang lalu, sendirian di sebuah bioskop di kota
Yogyakarta.
Hal menarik itu adalah perbedaan pengalaman yang aku alami
antara tiga tahun yang lalu dan hari ini. Tiga tahun yang lalu ketika menonton
film ini, aku ingat betul, aku merasa marah bahkan benci sekali dengan Mas
Hanung Bramantyo kenapa membuat film seperti ini. Aku merasa bahwa film tanda Tanya
memiliki jalan cerita yang terlalu mengada-ada, konflik-konfliknya terlalu
dipaksakan.
Tentang seorang Menuk, muslimah berjilbab yang bekerja di
sebuah restoran China yang menjual daging babi. Tentang seorang Surya, muslim yang menjadi actor dan
memerankan tokoh Yesus. Tentang seorang Rika, muslimah yang menjadi pemeluk Katholik
karena suaminya memilih poligami. Tentang seorang Soleh, banser NU yang mati saat mengamankan
perayaan natal di Gereja. Dan seorang Hen, lelaki keturunan China yang akhirnya
memeluk islam.
Tiga tahun yang lalu, aku keluar dari bioskop dengan
perasaan marah atas skenario film yang kuanggap terlalu berlebihan. Kurasa, tak
ada jalan cerita yang seperti itu di dunia ini. Hanung Bramantyo kutuduh
sebagai agen muslim sesat yang giat menyebarkan nilai-nilai pluralitas yang
tidak sesuai lagi dengan koridor islam.
Tapi itu tiga tahun yang lalu. Siang ini, ketika aku
menonton lagi (dan sendirian lagi), aku justru menangis. Bukan hanya nangis Bombay,
but I am totally cried, weeped drop into tears, agak jejeritan pula. Seusai
agak tenang, aku bertanya pada diriku sendiri, kenapa aku menangis hari ini dan
tiga tahun lalu aku membenci segala yang berhubungan dengan hal ini.
Aku mengingat apa yang aku alami selama tiga tahun ini.
Kemudian aku bersyukur pada Allah SWT. Aku berterima kasih karena Allah
mempertemukanku dengan banyak teman-teman baru, buku, film dan banyak kejadian
yang memaksaku untuk belajar menjadi manusia yang tidak membenci. Aku berterima
kasih diberikan cahaya dalam hatiku dan kesempatan untuk berpikir lebih dalam
serta menimbang-nimbangnya dengan keimanan. Aku bersyukur mendapatkan aku yang
hari ini, ternyata bukan lewat jalan doktrin. Aku mempelajarinya sendiri, lewat
pengalaman-pengalaman spiritualku.
Hari ini, apa yang kupikirkan sebelumnya bahwa skenario dalam
film “tanda tanya” itu adalah hal-hal impossible yang dibikin mas Hanung,
ternyata keliru. Aku tentu harus mengingat bahwa sejak kecil, ibuku dan
saudara-saudaraku yang kebanyakan orang tak mampu, mereka pun bekerja di rumah
orang China yang hobi makan babi.Tapi keluarga kami tentu tetap muslim dan
menjalankan syari’at. Aku ingat sangat bahwa majikan-majikan para kokoh dan
cacik keturunan Tionghoa itu memang sangat baik hati. Tiap lebaran mereka
selalu berbagi apa saja, mulai dari hari libur yang lebih panjang, pakaian
serta makanan dan jajanan yang berlimpah. Sama persis dengan apa yang dialami Menuk dan majikannya. Sebuah toleransi kehidupan sosial masyarakat yang sangat
eksotis.
Aku juga punya beberapa saudara yang menjadi banser NU, sama
seperti Soleh. Tapi saudaraku tentu saja tidak ada yang mati kena bom.
Pengalaman cinta segitiga Menuk, ah tiga tahun ini aku sudah banyak sekali
menyaksikan dan diperdengarkan ragam kisah cinta yang mengiris hati. Kisah yang
ada inipun pasti tidak mengada-ada. Simpulanku hari ini, tak ada logika yang
berlebihan dalam film itu, dan tidak ada yang mesti dipersoalkan.
Perspektif memang menarik. Ia ternyata bersifat bisa berubah kapan saja. Dinamis. Mas Hanung lewat film tanda Tanya hanya ingin mengajak kita
untuk menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang islam, adalah manusia yang
berserah. Ketika dia telah rela dan ikhlas menyerahkan segala sesuatu yang terjadi pada kita hanya pada Allah
semata, kita tak akan menjadi sok-sokan : sok raja, sok benar, sok suci, sok
Tuhan. Melainkan kita akan terus merasa kecil,merasa kurang, merasa rendah,
merasa menjadi makhluk yang terbatas terhadap Tuhan yang tidak terbatas.
Terimakasih kepada semua guru, semua buku, semua peristiwa
yang melahirkan saya kembali menjadi manusia yang tidak membenci. Dan terhadap
para pembenci, kita pun harus tetap bersabar dan tidak membalas dengan
kebencian. Islam adalah As silmu yang berarti perdamaian.
O iya, ada satu lagi cerita sebelum aku menutup tulisan ini.
Aku mempunyai teman baru. Namanya Danang Muchtar Syafi’i. Dia adalah spesies
manusia langka, aneh dan baik hati. Bulan Maret nanti dia harus berangkat ke Bogor untuk melanjutkan studinya, S2 di Universitas Ibnu Khaldun Bogor. Ada hal lucu yang pernah disampaikan beliau kepada saya : "Saya takut berangkat ke Bogor. Saya takut kita akan semakin berbeda. Saya takut persahabatan kita tak bisa ha ha hi hi lagi."
Kata-kata seperti itu adalah kata-kata manis yang saya terima dari seorang sahabat. Mas Danang tahu bahwa saya adalah kader HMI yang gemar membaca pemikiran Nurcholish Madjid, Akhmad Sahal dan bacaan sastrawangi dari Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu. Sedangkan Universitas tempatnya S2 nanti memang sangat terkenal membenci modernisme dan westernisasi, serta apa yang mereka sebut sebagai liberalisme. Itu artinya, barangkali di masa depan diskursus dan epistemologi berpikir kita memang mungkin makin berbeda.
Tapi saya katakan ke beliau : Tak ada hal yang lebih mengasyikkan di dunia ini selain memiliki teman yang tidak memiliki tujuan lain selain berteman itu sendiri. Artinya, kalau mau berteman ya berteman sajalah!
Bayangkan saja, disaat saya lagi getol-getolnya main kemana
saja, bersahabat dengan siapa saja, dan membaca buku apa saja, Allah kirimkan
dia untuk saya. Seorang santri malu-malu yang gemar membaca dan memiliki
cita-cita mulia. Kemarin saya merasa lelah dan kesepian, eh dia ingatkan saya
untuk menghafal ayat Al Qur’an dan untuk bersyukur menjadi muslim. Biasanya
saya yang banyak bicara untuknya, tapi sekali dia bicara, biasanya saya
langsung diam tanpa balas.
Hehe, senang ya, sahabat saya banyak dan jenisnya
macam-macam. Sahabat itu adalah siapa saja yang masih merasa menjadi manusia. Manusia yang manusia itu tidak pernah anti terhadap manusia lainnya. Masih pentingkah kita berbeda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar