Pagi ini, saya kelewat senang karena tiba-tiba ada sebuah
chat dari mas Hendi Jo, penjaga gawang redaksi islindo (www.islamindonesia.co.id). Kata mas
Hendi : Kalis, tulisanmu bagus. Boleh minta nomormu? nanti aku telpon. Oh well,
hati saya langsung melayang ke langit tingkat ketuju, bibir saya senyum lima
senti ke kiri dan ke kanan, tapi juga sekaligus terharu. Ada tetes air meluncur
dari sudut kelopak mataku. Kebiasaan, saya suka berlebihan kalau mendapat
pujian dari redaktur media atau penerbit tertentu.
Mengapa?
Bagi saya, pekerjaan menulis adalah pekerjaan mentafakkuri
jalan sunyi. Dari berbagai pelatihan yang saya kebetulan diundang untuk mengisi
acaranya, kebanyakan pertanyaan yang diajukan oleh peserta adalah :
1)
Mbak Kal, bagaimana sih agar tulisan kita bisa
dimuat di media?
2)
Mbak Kal, bagaimana sih caranya agar bisa
menulis bagus?
3)
Mbak Kal, bagaimana sih caranya membagi waktu
antara kuliah, membaca dan menulis juga aktifitas keorganisasian yang lain?
Untuk pertanyaan yang terakhir, biasanya langsung saya buang
ke keranjang sampah. Saya sampaikan kalau ini acara pelatihan menulis, bukan
acara pelatihan manajemen hidup. Yap, kita beralasan tidak punya waktu untuk
menulis, berkelit kekurangan waktu untuk membaca dan lain-lain pemakluman yang
lain, tapi kenyataannya, kita tak pernah kekurangan waktu untuk bermain gadget,
hang out tanpa hikmah dan tidur.
Catat : Saya bukan orang yang rajin-rajin amat, bahkan saya
cenderung punya waktu yang berlebihan untuk tidur . Heuheuheu
Tentang pertanyaan bagaimana nomor satu dan nomor dua,
jawaban saya hanya satu : Membaca dan Menulis adalah menulis itu sendiri. Saat
saya sedang membuat catatan ini, menulis ya sama dengan menulis itu sendiri.
Saya dengan sadar dan mentally active sedang mengetik gagasan-gagasan yang
berlompatan di pikiran saya.
Saya tidak percaya dengan pelatihan-pelatihan dengan format “menulis
bahagia” dan semacamnya. Pelatihan-pelatihan menulis yang saya ikuti dan
berkesan bagi saya, kebanyakan justru “tidak membuat saya bahagia” karena
biayanya mahal, memberikan saya banyak tugas yang implementatif tanpa banyak
omong dan pulangnya saya dibikin resah tak tenang.
Setelahnya, tidak ada resep lain untuk bisa menulis selain
membaca. Lho, lalu bagaimana dengan teknik? Lalu, bagaimana dengan proses
kreatif itu sendiri? Ya, tetap saja jawabannya adalah membaca!
Proses membaca yang dilakukan oleh seorang penulis berbeda
dengan proses membaca yang dilakukan “orang biasa”. Seorang penulis yang membaca
akan berpikir, menganalisis, dan mengkritisi jika mampu.
Ketika membaca novel, seorang calon penulis novel akan
memperhatikan baik-baik bagaimana teknik penceritaan pengarang, bagaimana ia
menggarap setting, bagaimana ia membangun karakter, bagaimana ia memainkan alur
dan plot.
Ketika membaca esai atau feature, seorang calon esais akan
memperhatikan bagaimana gagasan itu dibangun, bagaimana antar paragraph koheren,
bagaimana simpulan dan ide itu diwacanakan, motif apa yang ada dibaliknya (argumentative,
persuasive, dan lain-lain)
Dari proses membaca yang semakin banyak, maka akan terjadi
proses seleksi. Maksudnya, kita akan cenderung pada beberapa penulis yang kita
anggap mengakomodasi kebutuhan kita akan suatu tulisan yang informative dan
estetis menurut selera pribadi kita. Jika saya senang membaca Koran Kompas,
maka kemudian saya mencintai tulisan-tulisan Bre Redhana, Sindhunata, maupun
Yasraf Amir Piliang. Dari kecenderungan itu, saya akan melacak lebih jauh
artikel-artikel yang mereka tulis dan menduplikasi cara mereka bertutur dan
berwacana. Begitu yang saya maksud.
Hampir seluruh proses itu jauh dari hingar bingar dunia yang
menyenangkan. Seseorang akan “tersiksa” ketika membaca. Ia tidak sempat mikir
apakah dirinya akan tenar atau tidak, yang ada ia akan dihantui konsekuensi
logis dari jiwa yang berpikir : keresahan dan keinginan untuk bersikap.
Seseorang akan “tersiksa” ketika menulis. Bagaimana agar gagasan itu bersifat
universal, dapat diterima dan yang paling penting : mencerahkan umat.
Pertanyaan semacam : Bagaimana agar tulisan kita dimuat ,
menurut saya lumayan menjijikkan. Saya lebih suka pertanyaan : Bagaimana agar
kita dapat menulis yang bagus dan mencerahkan.
Tak banyak calon penulis yang tahu bahwa semua penulis pasti
lebih banyak mempunyai karya yang tertolak daripada karya yang dimuat.
Setelahnya penulis akan lebih giat belajar, merevisi dan menulis lagi dengan
lebih “gila”.
Saya jadi ingat Film "Gie" yang saat itu dikritik bahwa tokoh Gie yang dimainkan oleh Nicholas Saputra terkesan terlalu banyak merenung-renung. Buat saya, ya memang seperti itu pengalaman yang akan kita rasakan. Toh nyatanya Gie tak hanya merenung-renung. Untuk dapat menulis, ia mengamati gejala, ia berdiplomasi dengan banyak pihak, ia berpartisipasi dalam aktivitas dan sikap politik. Penulis adalah ideolog yang sudah pasti harus memiliki sikap (keberpihakan) tertentu.
Menulis adalah ikhtiar untuk memelihara akal sehat. Menulis
adalah perjuangan dakwah bil kalam. Kita hanya menempuh jalan sunyi, mendapati
tak ada sesuatupun yang kita dapatkan selain jiwa yang puas karena telah
melaksanakan fitrah untuk terus merasai dan memaknai.
Selamat menulis!
Menulis adalah salah satu menjaga otak tetap waras. Dalam tataran filosofis, menulis merupakan gerak dalam diam dan kerja dalam sunyi :)
BalasHapus