Saya mendapat cerita menarik, ceritanya saya tulis di bawah ini. Tapi sebelum menceritakanya, saya jadi teringat masa kecil saya. Hampir sama seperti apa yang disampaikan tokoh "sang anak". Masa kecil dahulu, rumah saya beralaskan tanah. Gentengnya lubang-lubang yang suka bocor, apalagi jika hujan badai. Dindingnya dari kayu mahoni yang keropos, yang bisa diintip orang dari luar. Hiasan? Ah, barangkali hanya kalender gambar artis yang dapat dari partai politik atau pegadaian hihihi. Saya memang merasa kekurangan saat itu, tapi saya tidak pernah merasa sedih yang berlebihan. Kenapa?
Ketika kecil, selepas maghrib saya harus mengaji ke Pondok Pesantren dengan mengayuh sepeda. Jaraknya mungkin sekitar 5 kilometer dari rumah. Setiap hari saya seperti itu. Saya ingat betul, dahulu setiap hari saya melewati sebuah rumah di Jalan Arumdalu. Menurut saya, rumah itu bagus sekali. Rumah itu bukan rumah paling besar, tapi rumah itu tetap saja paling bagus menurut saya. Halamannya luas. Ada 3 pohon mangga dan banyak bunga-bunga di halamannya. Ada sebentuk saung juga, yang saya bayangkan setiap pagi ketika embun paling cantik sedang hinggap pada daun-daun, saya sudah akan bangun dan membaca buku sendiri menikmati pagi disana. Loh, itu kan bukan rumah saya? Iya, tapi saya selalu membayangkan bahwa itu rumah saya. Cat dasarnya warna putih. Ada juga dua ayunan yang dicat merah muda dan biru laut di tengah taman bunga.
Setiap hari ketika berangkat mengaji, saya melewati rumah itu. Setiap hari, saya merasa memiliki rumah itu. Setiap malam, saya membawa mimpi-mimpi saya ke rumah itu. Esoknya saya akan merasa bahagia jika malamnya saya bermimpi bermain di rumah itu. Saya merasa cukup, saya tidak bersedih karena ternyata itu bukan rumah saya. Sampai sekarang, rumah saya tetap seperti dulu, hanya sudah tidak bocor dan tidak becek lagi....
Oh iya, ini kisah yang saya ingin bagikan :
Alkisah, seorang ayah yang kaya raya mengajak anak lelakinya dalam
sebuah perjalanan, dengan maksud untuk memperlihatkan kepada buah
hatinya itu kehidupan orang miskin.
Mereka menginap di sebuah rumah pertanian milik sebuah keluarga yang dapat dianggap sangat miskin.
Dalam perjalanan pulang, sang ayah bertanya, “Bagaimana kesanmu, Nak?”
“Aku sangat senang, Ayah,” jawab si anak.
“Apakah kini kau tahu bagaimana kehidupan orang miskin?” tanya sang ayah lagi.
“Tentu saja,” sang anak kembali menjawab yakin.
“Kalau begitu, ceritakan pada ayah apa saja yang kau pelajari dari perjalanan ini,” pinta si ayah.
Putranya menyahut: “Kulihat kita hanya punya seekor anjing, mereka
punya empat. Kita punya kolam renang yang merentang hingga di tengah
taman, mereka punya sungai tak bertepi. Kita mengimpor lampu taman, tapi
mereka punya ribuan bintang di langit saat malam.
“Teras kita sepanjang halaman depan, dan mereka punya seluruh
cakrawala. Kita tinggal di tanah yang Cuma sejengkal, sedangkan mereka
memiliki padang tak terbatas, bahkan hingga sejauh kita memandang.
“Kita membeli makanan, mereka menumbuhkan sendiri makanan mereka.
Kita membangun pagar tembok di sekeliling rumah sebagai pengaman, mereka
punya teman-teman yang melindungi.”
Sang ayah terdiam tak mampu berkata-kata.
Lalu anak itu melanjutkan, “Terima kasih Ayah sudah menunjukkan padaku betapa miskinnya keluarga kita.”
Nyata benar dari cerita tersebut, apa yang dirasa kurang bermakna
bagi sebagian orang justru menjadi sesuatu yang berarti bagi orang lain.
Semuanya tentu bergantung pada persepsi masing-masing. Kaya atau
miskin, miskin atau kaya, rasa syukurlah yang membedakannya. [Cerita disarikan dari Board of
Wisdom]
Kabeh kuwi mung masalah roso...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar