Pada suatu siang kau mengirimkan sebuah pesan di ponselku.
“Bersiaplah. Pukul 16.00 tepat kita akan berangkat ke suatu
tempat.”
Aku bersungut. Kau memang selalu penuh dengan kejutan,
sekaligus termasuk banyak hal yang sulit aku kabulkan ketika aku sedang malas.
“Kemana?”
Aku diam-diam segera berjingkat dari kasur kos dan meraih
handuk serta peralatan mandiku. Aku tahu, kau akan memberikan satu kisah lagi
hari ini. Kisah kita, yang mungkin menjadi satu-satunya hal yang tidak berubah
menyedihkan ketika kita menjadi tua nanti.
Pukul 16.00. Kau datang tepat waktu seperti biasanya. Tadi
kau bilang pada pesan balasanmu bahwa kita akan pergi ke suatu tempat yang tak
kan membuatku menyesal melewatkan hari ini.
“Tenang saja. Tempatnya dekat.”
“Berapa lama?” tiba-tiba aku risau. Kelakuanmu sering kali
berbahaya.
“7 menit.”
Otakku mulai berputar-putar mengingat tempat-tempat mana
yang mungkin akan kita kunjungi sore ini. Sepertinya tidak ada tempat special
di sekitar kos, kampus atau sanggar seni yang menarik untuk ditempuh dalam
waktu 7 menit. Kalau sekedar melihat kereta melintas di rel yang terbangun
diatas sungai bengawan solo, bukankah itu sangat biasa kita lakukan? Oh, bahkan
kebiasaan kita yang inipun sangat aneh dan tidak wajar. Belakangan, suara
kereta yang berderu itu selalu membawa kita untuk mengingat rumusan matematika
yang kerap membuat manusia menjadi terburu-buru : jarak, keberangkatan,
kecepatan, perjumpaan dan perpisahan.
Kau membawa motormu pelan-pelan. Aku tidak asing dengan
padatnya jalanan yang kau belah. Hingga kemudian berbelok pada jalan-jalan
pedesaan yang belum pernah aku jamah, padahal kurang lima menit saja jaraknya
dari kosan. Keberanian manusia memang jarang terlatih ketika telah menemukan
jalur-jalur aman, seperti contohnya aku yang tak pernah ingin menemukan tempat
kemana kau bawa aku saat ini.
Matahari mulai bergerak ke arah barat. Sebentar lagi senja. Sepertinya
ini senja yang ke-berpuluh kali yang kulewati hanya denganmu saja. Sekali dua
kali tanpa kau tahu, aku menjadi takut memiliki lebih banyak kenangan bersamamu
daripada dengan suamiku nanti. Sial.
Kita berhenti pada sebuah
buk tepi jalan pedesaan.Benar. Hanya
7 menit. Aku melihat sawah menghampar di sisi kanan dan kiri. Masih hijau
benar. Para petani baru selesai bertanam. Sebagian tanah masih hitam karena
belum selesai dibajak. Pada sawah sisi kiri, mataku merayapi gunung lawu yang
nampak gagah. Dan pada sisi kanan, gunung merapi terlihat manis disebalik
rimbun bukit. Tepat di bawah buk tempat kita duduk adalah selokan kecil
beraliran air jernih yang membelah pematang. Kulitku agak basah dengan sisa
hujan tadi siang yang meninggalkan jejak pada pucuk-pucuk daun pohon sirsak
yang memayungi kita.
Kita bertatap sebentar. Mata kita saling mengucap terima
kasih. Kemudian kau mulai bercerita bahwa sejak menjadi mahasiswa baru di kota
ini kau seringkali mengejar senja di tempat ini. Apakah sendiri, bersama mantan
kekasihmu, dan kembali sendiri dengan membawa luka-luka lama. Namun sore itu,
aku bersamamu. Berdua saja.
“Gunungnya indah sekali. Mirip sekali dengan yang ada di
lukisan. Aku sering bertanya mana yang hadir lebih dulu, apakah penciptaan dari
mahakarya berupa ala mini ataukah lukisan yang indah sekali.”
“Tapi pastilah alam ini hadir lebih dahulu ya. Sebab Tuhan
tidak pernah menyontek. Dan lukisan itu, dapat kusebut indah juga sebab memori
tentang eksistensi alam yang lebih dahulu menjadi pengalaman dan
pengetahuanku.”
Aku sibuk mengambil posisi terbaik untuk mengabadikan
beberapa potongan cerita. Kubidik gambar gunung lawu dan merapi yang memiliki
latar warna senja berbeda. Tak ketinggalan juga beberapa petani yang mulai
memaknai kembali kaosnya setelah letih bertanam seharian. Aku membayangkan
cinta yang menyambut mereka sesampainya di rumah nanti, tentang istri dan
anak-anak yang merasakan rindu lengkap dengan menu makanan sederhana yang telah
terhidang.
Sejak sore itu, aku menjadi lebih sering memandangi senja.
Kadang aku iseng mencoba memberikan makna ini dan itu, mengamati tiap detail
warnanya yang berubah-ubah mulai sejak kuning keemasan hingga menjadi abu-abu
tua. Dan disela mega yang menghampar di luas cakrawala itu, ada ingatan
tentangmu. Bukan, bukan tentang wajahmu. Apalagi senyummu. Tapi suaramu yang
berisik ketika sedang bercerita.
Kau bilang kau khawatir bahwa suatu saat sore yang seperti
ini tak akan pernah kita lihat lagi.
“Tiga tahun lalu pertama kali aku kesini, rumah-rumah itu
belum ada. Hanya ada sawah yang sangat luas. Tapi sekarang, perumahan-perumahan
baru semakin mencuri kesenangan sederhanaku ini.”
“Kesenangan murah maksudmu?”
“Ya. Kita jarang sadar bahwa yang murah itu sesungguhnya
sangat indah dan mahal. Bentuk-bentuk awan itu setiap harinya tidak pernah ada
yang sama. Tuhan memang Maha Besar.”
Kau terdiam sejenak sambil memandang kaki langit.
“Aku benci dengan budaya di Indonesia yang bilang
seakan-akan kalau anak sudah berumah tangga itu wajib untuk membeli rumah baru.
Kalau tidak sanggup beli rumah, dibilang tidak mampu. Padahal tidak ada teori
yang berkata seperti itu. Akibatnya apa? Perumahan-perumahan baru semakin
banyak. Masalahnya, rumah yang sudah terbangun nggak akan bisa kembali jadi
sawah lagi.”
Aku mendengarkan dengan seksama. Era Industrialisasi memang
merampas banyak hal yang bisa kita dapatkan secara gratis. Air, keakraban di
tempat umum, apalagi hari ini yang bebas dari membayar? Hanya cinta. Itu juga
tidak berlaku untuk cinta yang punya kekhawatiran tidak mampu hidup layak.
“Aku ingin punya anak yang cerdas.”
“Cerdas bagaimana?”
“Bayangkan jika suatu saat aku melarang anakkku untuk
melakukan suatu hal dengan alasan hal tersebut berbahaya. Kemudian dia bisa
menjawab : itukan menurut ayah? Kemudian kami berdeat kecil untuk menyimpulkan
apakah hal itu boleh dilakukan atau tidak. Menyenangkan sekali punya anak yang
cerdas seperti itu.”
“Itu cerdas atau bandel namanya?” Alisku berkerut-kerut
sambil membayangkan ada seorang anak laki-laki kecil seperti dirimu yang sedang
bermain layang-layang di hamparan sawah di depanku.
“Cerdas. Tapi aku butuh calon ibu yang cerdas juga biar
cita-citaku itu berhasil.”
Mengenalmu, aku menjadi yakin bahwa persahabatan adalah
hubungan paling megah yang bisa dibangun antar sesama manusia. Tidak sekalipun pernikahan
ataupun hubungan antara sepasang kekasih bahkan bisa menandinginya. Tapi, oh,
lagi-lagi kau pasti akan menyela.
“Tidak,” Katamu, “Sebab semua yang memberikan sebagian
dirinya dengan cinta, sudah pasti menjadi luhur.”
Aku mengangguk bersepakat. Entah yang keberapa kalinya.
Setiap kata-katamu memang manis.
Hari mulai gelap. Matahari tertutup sabut awan kelabu. Seperti
biasanya, kita sudah terlalu banyak ngelindur hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar