Orang-orang harus dibangunkan/ Aku bernyanyi
menjadi saksi/ Kenyataan harus dikabarkan/ Aku bernyanyi menjadi saksi.
Sayup-sayup
terdengar suara getir Iwan Fals yang menyanyikan lagu “Kesaksian”. Perkawinan
musik dan syair puisi WS Rendra yang menghasilkan karya masyhur yang termuat
dalam album Kantata Takwa (1990) tersebut membangunkan rasa gusar di hati. Pada
akhirnya, saya lelah melihat beragam nilai kebenaran yang ditelan habis oleh
kotak bodoh bernama televisi. Semua simbol agung yang terwakili oleh akademisi,
intelektual, golongan terpelajar yang memakai almamater institusi keilmuan,
kaum agamawan, seniman dan budayawan, semua bercericit riang dalam format acara
bernuansa hiburan dan komedi.
Hari ini, nampaknya
memperbincangkan kebenaran bukan lagi dianggap sebagai sesuatu yang sakral.
Perihal keadilan boleh diperbincangkan berseling dengan canda tanpa makna dan
irama musik mainstream. Ihwal gagasan
kebangsaan boleh diwakilkan tanggungjawabnya oleh selebriti dan komedian, kita
jamak melihat mereka berpendapat tentang apa saja, tanpa menghadirkan solusi
dalam program infotainment. Calon
Presiden hadir menyetor senyum penuh pamrih pada acara ajang hiburan pencarian
bakat bernuansa bisnis komoditi kapitalisme. Oh, tentu kita tak boleh mengharap
ia akan menyampaikan sebuah platform
ideologis-kultural-kebangsaan dan menyuarakan hak-hak rakyat diatas panggung
gemerlap. Sang Jendral hadir beberapa detik ikut menyerahkan hadiah kepada
pemenang, menghadirkan citra ramah dan gagah lewat senyum dan lambaian tangan. Presiden
kita, telah kita ketahui lebih dahulu menelurkan album tembang-tembang
gubahannya sendiri.
Kita bukan
bangsa yang murung. Bohong jika ada yang berdendang ibu pertiwi sedang bersusah
hatinya. Kita bangsa yang kelebihan hiburan. Setiap hari kita bahkan diberi
komando untuk menari secara massal diiringi lagu dangdut yang seakan tidak ada
kata basi untuk ditayangkan pada waktu prime
time. Tak perlu risau, saya sendiri sudah kehilangan nalar kritis untuk
memahami habitus apa yang sedang dicita-citakan oleh para pekerja kreatif yang
ada disebalik media televisi.
Pelan-pelan
kita diarahkan untuk menjadi generasi tuna pikir. Penjajahan fisik memang telah
lama berakhir, tapi penjajahan non-fisik terus dilanggengkan. Orde baru boleh
jadi membungkam mulut kita, namun di abad pemikiran, justru nalar pikir kita
yang terbungkam. Kebohongan-kebohongan lancar mengalir di jalan raya mulut
kaum-kaum intelektual yang kerap tampil untuk berdebat di layar kaca. Isu
ketidakadilan hukum, pelanggaran Hak Asasi Manusia dan pelanggaran hak-hak
rakyat lebih baik ditenggelamkan atau dapat diputarbalikkan sesuai keinginan.
Urusan pembentukan opini publik, tinggal “wani piro” sajalah, bro!
Negara ini
telah merdeka dan berdaulat sejak dibacakannya proklamasi atas nama bangsa
Indonesia oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945, katanya. Namun, kita
dipaksa untuk lupa bahwa hari ini fakta keadilan dan kebenaran tidak pernah
lebih tinggi dari keinginan para politisi, raja-raja dan tentara. Ibarat
bangunan, dari dalam rumahnya, polemik ekonomi, hukum, sosial, budaya, agama
dan pendidikan hanya sebatas make up
di negeri pesolek. Semua urusan itu tak harus diperbincangkan dengan serius
bersama ahlinya, tak mesti diperjuangkan untuk mencapai tujuan bernegara. Oleh
karena itu, sah-sah saja jika kursi parlemen diduduki oleh wajah-wajah
selebriti. Kita hanya butuh bersolek dan melakukan politisasi!
Sementara di
luar bangunannya, para penguasa sibuk mencari cara untuk menakut-nakuti
rakyatnya. Rakyat yang merupakan pemilik sah negeri ini. Kita tak bisa lupa
bahwa negeri ini berdiri diatas darah para aktivis yang bahkan hingga hari ini
tak dapat kita temukan pusaranya sebab dibungkam oleh doktrin fasisme. Penguasa
berotak penculik dan pembunuh itu melupakan satu hal, bahwa ketakutan yang
terus menerus disuguhkan lama-lama akan menimbulkan kebosanan. Rakyat telah
bangun untuk melawan, rakyat telah menebar biji-biji di temboknya dan berteriak
: Kau harus hancur! Kau harus hancur! Demikian Wiji Thukul memekik dalam sajak
Bunga dan Tembok (1994).
WS Rendra
memang telah mati. Presiden SBY tak kenal siapa Rendra. Ia menyampaikan duka
belasungkawa pada kematian selebriti tapi tak berkata apa-apa untuk kematian
Rendra. Tapi demi Sang Burung Camar yang telah berada di surgaNya, pesannya
sebelum mati senantiasa terhujam dalam dada, yakni agar kita semua terus
menjadi saksi…
Hari ini, kami
menjadi saksi atas elite tamak yang terus memperdalam neoliberalisme,
undang-undang ketenagakerjaan yang memasung buruh dan hak-hak pribadinya,
privatisasi dan bisnis pertanian yang mengangkangi kepentingan petani skala
kecil dan buruh tuna-tanah, miliaran dolar yang dipindahkan ke bank-bank
internasional, serta penghisapan sumber daya alam nasional yang menistakan
posisi masyarakat adat… kami berikan kesaksian!
Orang-orang
harus dibangunkan. Rakyat Indonesia belum merdeka, para founding fathers hanya sempat mengantar hingga pintu gerbangnya . Soekarno
(1963) selalu berpesan bahwa Revolusi Indonesia belum selesai. Perjuangan melawan bangsa sendiri lebih sulit
dari melawan penjajah. Kita tak ingin negara kita hanya menjadi peta, apalagi
peta yang lusuh dan tinggal disobek pula. Nasionalisme bergerak harus segera
dibangkitkan, revolusi mental harus didukung. Kita butuh memaknai kembali
Pancasila agar tidak saling berebut merumuskan cita-cita dalam tenun
kemajemukan bangsa.
Orang-orang
harus dibangunkan. Tak pernah ada Negara yang utuh tanpa rakyat yang
dimanusiakan. Kekuasaan borjuasi oleh kelas priyayi buah perkawinan budaya
kolonialisme dan feodalisme mesti dicerabut hingga akarnya, diganti dengan
kesadaran demokrasi yang sesungguhnya. Ritus sosial media hanyalah panggilan
perjuangan untuk segenap lapisan. Aksi massa yang sesungguhnya butuh agitasi,
orasi dan propaganda di dunia nyata. Lapis kekuatan sosial yang memperjuangkan
rakyat tak akan selesai dengan reply
dan retweet.
Orang-orang
harus dibangunkan, Segala hajatan yang berkaitan dengan nasib rakyat seperti
agenda memilih pemimpin mestinya merupakan pergelaran basis ideologis yang
menawarkan agenda pencerdasan hingga rakyat turut merasa optimis. Kontestasi
bermartabat bukan sekadar lolongan saling fitnah, namun mengemukakan strategi
ideologis untuk memuliakan rakyat demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Kami akan
terus menjadi saksi…
Ps : Terimakasih buat yang sudah mengenalkan album Kantata Takwa ke saya :D :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar