Mendidik
adalah tugas tiap-tiap orang terdidik…
(Anies
Baswedan)
Zaman kini
telah berubah. Derasnya arus informasi akibat perkembangan Teknologi Informasi
dan Komunikasi menyebabkan perubahan pada segala aspek kehidupan yang tak bisa
kita bendung kehadirannya. Sebagian disebut efek sebuah peradaban yang dianggap
maju namun di lain pihak kita juga wajib bertanya : apakah indikator dari
sebuah kemajuan peradaban? adakah parameter bangsa yang maju ditentukan dari
pesatnya teknologi yang dianggap memudahkan kehidupan manusia? adakah generasi
bangsa yang bergelimang teknologi menjajikan sebuah tata kehidupan yang baik
dan beradab?.
Kenyataannya,
salah satu akibat negatif dari pesatnya perkembangan teknologi bagi generasi
bangsa saat ini adalah kemudahan aksesibilitas internet dan media komunikasi.
Diantara gejala permasalahan yang paling meresahkan setiap orang tua adalah pengaruh
tayangan televisi, situs porno dan game
online. Munir (2012) mengungkapkan sebuah kejadian ironis tentang anak SD
yang sanggup membobol rumah tangga demi mencuri uang untuk bermain game online.
Semuanya sungguh menodai rasa kemanusiaan kita, khususnya bagi orang tua dan
para pendidik.
Sementara itu,
aksioma dunia pendidikan akan memberikan sebuah panduan bagi tata nilai yang
berguna dan bermanfaat untuk kehidupan manusia pun telah bergeser. Pada hari
ini, pendidikan tak lebih dari sebuah syarat untuk mendapatkan status sosial
yang layak. Berita tentang oknum pendidik yang curang dalam rangka meraih gelar
sertifikasi semakin lazim kita dengar. Ruang-ruang belajar lebih layak disebut
sebagai sebuah perusahaan di bidang pendidikan dibanding dengan papan pasinaon. Dari sebuah tinjauan
pada biaya pendidikan TK swasta berkualitas di Jabodetabek, uang pangkal
dibanderol hingga puluhan juta. Bahkan, Ujian Nasional (UN) yang menjadi
hajatan pendidikan terakbar Negara pun tak lebih harganya dari sebuah profit
tender.
Semua penyakit
kronis dalam tubuh pendidikan kita kini dianggap sebuah kewajaran. Jika sudah
begitu, benarlah ungkapan Prasetyo (2008) bahwa orang miskin dilarang sekolah!.
Barangkali, pendidikan yang dikomersialisasikan tersebut hanya milik segelintir
pihak. Lalu, kemana mestinya nasib masa depan bangsa ini disandarkan? Bagaimana
kita harus memulai sebuah solusi dalam unsur-unsur pendidikan yang ada? Jelas
sudah, teknologi tidak hanya menawarkan sebuah kemudahan tetapi juga meminta
harga yang sangat mahal sebagai kompensasi. Derasnya arus informasi dan
komunikasi menimbulkan apa yang disebut Gramsci (1937) sebagai teori hegemoni,
yakni sebuah proses penguasaan yang dilakukan kelas dominan kepada kelas bawah
melalui pendiktean tak sadar lewat bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang
dikuasai.
Dalam teori
hegemoni, pendidikan kita dipaksa untuk menerima parameter sebuah kualitas.
Jika hari ini kualitas pendidikan ditentukan oleh teknologi, maka pemikiran
kritis atas doktrin ideologi tersebut misalnya adalah Pemerintah yang
kebingungan dalam mencoba-coba standar Internasional bagi sebuah lembaga
pendidikan atau pengaturan kurikulum yang berbasis pendidikan kelas dunia.
Alih-alih menyebut kurikulum 2013 (tematik integratif) yang akan datang sebagai
upaya preventif terhadap degradasi moral, esensi terhadap karakter yang hanya
dapat tercipta lewat habitual kehidupan sehari-hari justru terlupakan.
Sikap-sikap prematur terhadap hadirnya gemerlap fasilitas pendidikan berkelas Internasional tersebut
sungguh menciderai tujuan Pendidikan Nasional yang termaktub dalam
Undang-Undang no.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Ruang Edukasi
Alternatif (REAL) tidak mensyaratkan apapun selain kata “alternatif” itu
sendiri. Dalam perspektif ini, kita berpikir realistis bahwa kini kita semakin
sulit menemukan ruang-ruang inspirasi bagi anak-anak untuk berkembang. Jika
pada tahun 1900an kita masih dengan mudah melihat hamparan sawah dan perkebunan
yang nampak ramai dengan belalang, kini spesies-spesies itu bisa jadi semakin
sulit untuk kita temukan. Ironis, tanpa kita sadari, generasi masa depan telah
kehilangan hal yang sangat berharga, yakni ruang-ruang inspirasi untuk belajar.
Demikian karena telah hilang, maka kita wajib mencipta kembali alternatif ruang
belajar tersebut.
Sementara itu, sastra anak
didefinisikan oleh Brown, C.
& Tomlinson (2005) sebagai buku bacaan yang baik, yang
diperuntukkan untuk anak dari
lahir sampai remaja , yang mencakup
topik-topik yang relevan dan menarik bagi
anak-anak usia tersebut, melalui prosa dan puisi, fiksi dan non
fiksi. Dalam konteks ini, sastra anak adalah salah satu bentuk kesusasteraan
yang diperuntukkan bagi anak-anak yang bersifat informative sekaligus mendidik
namun topik yang diangkat jelaslah diluar buku teks sekolah. Pengaruh tayangan televisi
yang demikian massif meminta kita untuk memassifkan kembali dunia sastra anak
yang selama ini luput dari perhatian. Penulis memilih sastra anak sebagai
solusi yang tepat bagi degradasi moral bangsa karena sastra mengemban dua
fungsi yakni mendidik dan menghibur. Sastra dapat mentransformasikan
nilai-nilai luhur melalui cara-cara yang menyenangkan.
Dalam rangka
mempersiapkan REAL yang mengintegrasikan aktualisasi sastra anak, ada tiga hal
yang harus dipikirkan yakni meliputi tempat, konteks belajar dan struktur
organisasi pendidik. Pertama adalah tempat. Sebagai ruang alternatif, REAL
sebaiknya diusahakan untuk ada minimal satu buah tiap satu desa atau per satu
RW. Kita dapat menyulap sebuah lapangan bola, taman desa, mushola, rumah baca
atau halaman rumah menjadi ruang inspirasi bagi anak-anak. Sebagai ruang
belajar alternatif, ruang tersebut hatus memiliki atmosfer pembelajaran
sekaligus atmosfer jiwa anak-anak yang menyenangkan. Pada sebuah kampung di Yogyakarta,
saya pernah melihat sawah yang pada hamparan luasnya terdapat replika-replika
tokoh-tokoh pewayangan dalam ukuran besar. Gubug-gubugnya disulap sebagai
tempat teduh yang menyediakan papan informasi dan pengetahuan bagi anak-anak.
Disana anak-anak dapat bermain sekaligus belajar pada sore hari yang cerah.
Kedua adalah
konteks belajar. Konteks belajar pada REAL melalui sastra anak tentu saja
adalah pelajaran di luar konteks sekolah formal. Pada REAL anak-anak lebih
diajarkan tentang tata nilai sosial kemasyarakatan. Melalui penyajian
aktualisasi sastra anak yang dikemas pada dongeng, puisi, seni musik dan
pentas, anak-anak dikenalkan kepada budaya masyarakat setempat serta sejarah
dan nilai KeIndonesiaan yang kian luntur karena pengaruh globalisasi.
Ketiga adalah
struktur organisasi pendidik. Pendidik pada REAL adalah struktur organisasi
yang dibentuk oleh pamong desa. Namun penulis menggagas bahwa pola asuh pada
REAL adalah kaum ibu dan remaja yang berpotensi dalam mentransformasikan
nilai-nilai luhur dalam aktualisasi sastra anak. Dengan demikian, kaum ibu
dapat meningkatkan kapasitas dirinya serta memiliki alternatif cara dalam
membimbing anak pada era globalisasi yang sarat degradasi moral. Sifat
pemerkayaan kosa kata, pengemban nilai luhur sekaligus menghibur pada sastra
anak dapat menjadi sarana bagi kaum ibu untuk membelokkan aktivitas negatif
anak pada waktu bermainnya.
Pada akhirnya,
penciptaan Ruang Edukasi Alternatif (REAL) serta upaya aktualisasi sastra anak
memang bukan perkara mudah. Perlu sebuah kolaborasi yang sinergi dari seluruh
elemen masyarakat pada hal-hal yang inti, termasuk sterilisasi sastra anak dari
kajian konten yang kurang baik, misalnya. Akhirnya, seluruh usaha aktualisasi
dan solusi bukanlah hanya pewujudan sebuah pentas, pameran ataupun hal-hal
inderawi lainnya. Melainkan, usaha mendidik adalah usaha mengangkat kembali
nilai-nilai luhur bangsa yang hanya dapat diraih melalui keteladanan sikap dan
karakter serta panggung masyarakat yang madani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar