Rabu, 29 Januari 2014

Ruang Edukasi Alternatif dan Sastra Anak



Mendidik adalah tugas tiap-tiap orang terdidik…
(Anies Baswedan)

Zaman kini telah berubah. Derasnya arus informasi akibat perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi menyebabkan perubahan pada segala aspek kehidupan yang tak bisa kita bendung kehadirannya. Sebagian disebut efek sebuah peradaban yang dianggap maju namun di lain pihak kita juga wajib bertanya : apakah indikator dari sebuah kemajuan peradaban? adakah parameter bangsa yang maju ditentukan dari pesatnya teknologi yang dianggap memudahkan kehidupan manusia? adakah generasi bangsa yang bergelimang teknologi menjajikan sebuah tata kehidupan yang baik dan beradab?. 

Kenyataannya, salah satu akibat negatif dari pesatnya perkembangan teknologi bagi generasi bangsa saat ini adalah kemudahan aksesibilitas internet dan media komunikasi. Diantara gejala permasalahan yang paling meresahkan setiap orang tua adalah pengaruh tayangan televisi, situs porno dan game online. Munir (2012) mengungkapkan sebuah kejadian ironis tentang anak SD yang sanggup membobol rumah tangga demi mencuri uang untuk bermain game online. Semuanya sungguh menodai rasa kemanusiaan kita, khususnya bagi orang tua dan para pendidik. 

Sementara itu, aksioma dunia pendidikan akan memberikan sebuah panduan bagi tata nilai yang berguna dan bermanfaat untuk kehidupan manusia pun telah bergeser. Pada hari ini, pendidikan tak lebih dari sebuah syarat untuk mendapatkan status sosial yang layak. Berita tentang oknum pendidik yang curang dalam rangka meraih gelar sertifikasi semakin lazim kita dengar. Ruang-ruang belajar lebih layak disebut sebagai sebuah perusahaan di bidang pendidikan dibanding dengan papan pasinaon. Dari sebuah tinjauan pada biaya pendidikan TK swasta berkualitas di Jabodetabek, uang pangkal dibanderol hingga puluhan juta. Bahkan, Ujian Nasional (UN) yang menjadi hajatan pendidikan terakbar Negara pun tak lebih harganya dari sebuah profit tender. 

Semua penyakit kronis dalam tubuh pendidikan kita kini dianggap sebuah kewajaran. Jika sudah begitu, benarlah ungkapan Prasetyo (2008) bahwa orang miskin dilarang sekolah!. Barangkali, pendidikan yang dikomersialisasikan tersebut hanya milik segelintir pihak. Lalu, kemana mestinya nasib masa depan bangsa ini disandarkan? Bagaimana kita harus memulai sebuah solusi dalam unsur-unsur pendidikan yang ada? Jelas sudah, teknologi tidak hanya menawarkan sebuah kemudahan tetapi juga meminta harga yang sangat mahal sebagai kompensasi. Derasnya arus informasi dan komunikasi menimbulkan apa yang disebut Gramsci (1937) sebagai teori hegemoni, yakni sebuah proses penguasaan yang dilakukan kelas dominan kepada kelas bawah melalui pendiktean tak sadar lewat bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai.

Dalam teori hegemoni, pendidikan kita dipaksa untuk menerima parameter sebuah kualitas. Jika hari ini kualitas pendidikan ditentukan oleh teknologi, maka pemikiran kritis atas doktrin ideologi tersebut misalnya adalah Pemerintah yang kebingungan dalam mencoba-coba standar Internasional bagi sebuah lembaga pendidikan atau pengaturan kurikulum yang berbasis pendidikan kelas dunia. Alih-alih menyebut kurikulum 2013 (tematik integratif) yang akan datang sebagai upaya preventif terhadap degradasi moral, esensi terhadap karakter yang hanya dapat tercipta lewat habitual kehidupan sehari-hari justru terlupakan. Sikap-sikap prematur terhadap hadirnya gemerlap fasilitas  pendidikan berkelas Internasional tersebut sungguh menciderai tujuan Pendidikan Nasional yang termaktub dalam Undang-Undang no.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Ruang Edukasi Alternatif (REAL) tidak mensyaratkan apapun selain kata “alternatif” itu sendiri. Dalam perspektif ini, kita berpikir realistis bahwa kini kita semakin sulit menemukan ruang-ruang inspirasi bagi anak-anak untuk berkembang. Jika pada tahun 1900an kita masih dengan mudah melihat hamparan sawah dan perkebunan yang nampak ramai dengan belalang, kini spesies-spesies itu bisa jadi semakin sulit untuk kita temukan. Ironis, tanpa kita sadari, generasi masa depan telah kehilangan hal yang sangat berharga, yakni ruang-ruang inspirasi untuk belajar. Demikian karena telah hilang, maka kita wajib mencipta kembali alternatif ruang belajar tersebut.

Sementara itu, sastra anak didefinisikan oleh Brown, C. & Tomlinson (2005) sebagai buku bacaan yang baik, yang diperuntukkan untuk anak  dari lahir sampai remaja , yang mencakup topik-topik yang relevan dan menarik bagi anak-anak usia tersebut, melalui prosa dan puisi, fiksi dan non fiksi. Dalam konteks ini, sastra anak adalah salah satu bentuk kesusasteraan yang diperuntukkan bagi anak-anak yang bersifat informative sekaligus mendidik namun topik yang diangkat jelaslah diluar buku teks sekolah. Pengaruh tayangan televisi yang demikian massif meminta kita untuk memassifkan kembali dunia sastra anak yang selama ini luput dari perhatian. Penulis memilih sastra anak sebagai solusi yang tepat bagi degradasi moral bangsa karena sastra mengemban dua fungsi yakni mendidik dan menghibur. Sastra dapat mentransformasikan nilai-nilai luhur melalui cara-cara yang menyenangkan.

Dalam rangka mempersiapkan REAL yang mengintegrasikan aktualisasi sastra anak, ada tiga hal yang harus dipikirkan yakni meliputi tempat, konteks belajar dan struktur organisasi pendidik. Pertama adalah tempat. Sebagai ruang alternatif, REAL sebaiknya diusahakan untuk ada minimal satu buah tiap satu desa atau per satu RW. Kita dapat menyulap sebuah lapangan bola, taman desa, mushola, rumah baca atau halaman rumah menjadi ruang inspirasi bagi anak-anak. Sebagai ruang belajar alternatif, ruang tersebut hatus memiliki atmosfer pembelajaran sekaligus atmosfer jiwa anak-anak yang menyenangkan. Pada sebuah kampung di Yogyakarta, saya pernah melihat sawah yang pada hamparan luasnya terdapat replika-replika tokoh-tokoh pewayangan dalam ukuran besar. Gubug-gubugnya disulap sebagai tempat teduh yang menyediakan papan informasi dan pengetahuan bagi anak-anak. Disana anak-anak dapat bermain sekaligus belajar pada sore hari yang cerah.

Kedua adalah konteks belajar. Konteks belajar pada REAL melalui sastra anak tentu saja adalah pelajaran di luar konteks sekolah formal. Pada REAL anak-anak lebih diajarkan tentang tata nilai sosial kemasyarakatan. Melalui penyajian aktualisasi sastra anak yang dikemas pada dongeng, puisi, seni musik dan pentas, anak-anak dikenalkan kepada budaya masyarakat setempat serta sejarah dan nilai KeIndonesiaan yang kian luntur karena pengaruh globalisasi.

Ketiga adalah struktur organisasi pendidik. Pendidik pada REAL adalah struktur organisasi yang dibentuk oleh pamong desa. Namun penulis menggagas bahwa pola asuh pada REAL adalah kaum ibu dan remaja yang berpotensi dalam mentransformasikan nilai-nilai luhur dalam aktualisasi sastra anak. Dengan demikian, kaum ibu dapat meningkatkan kapasitas dirinya serta memiliki alternatif cara dalam membimbing anak pada era globalisasi yang sarat degradasi moral. Sifat pemerkayaan kosa kata, pengemban nilai luhur sekaligus menghibur pada sastra anak dapat menjadi sarana bagi kaum ibu untuk membelokkan aktivitas negatif anak pada waktu bermainnya.

Pada akhirnya, penciptaan Ruang Edukasi Alternatif (REAL) serta upaya aktualisasi sastra anak memang bukan perkara mudah. Perlu sebuah kolaborasi yang sinergi dari seluruh elemen masyarakat pada hal-hal yang inti, termasuk sterilisasi sastra anak dari kajian konten yang kurang baik, misalnya. Akhirnya, seluruh usaha aktualisasi dan solusi bukanlah hanya pewujudan sebuah pentas, pameran ataupun hal-hal inderawi lainnya. Melainkan, usaha mendidik adalah usaha mengangkat kembali nilai-nilai luhur bangsa yang hanya dapat diraih melalui keteladanan sikap dan karakter serta panggung masyarakat yang madani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar