Dalam sebuah
sesi pembelajaran, saya tertarik untuk mengawali diskusi dengan siswa tentang
fenomena korupsi yang marak terjadi di Indonesia. Tujuan saya adalah mengecek
sejauh mana pemahaman siswa terhadap korupsi karena berbagai stasiun televisi
begitu giat menyiarkan berita, tentu saja dengan kepentingan masing-masing.
Alangkah terkejutnya saya ketika mendengar simpulan siswa bahwa mereka lebih
memilih menjadi koruptor saja jika dapat korupsi bermilyar rupiah dengan hanya
dipenjara dua atau tiga tahun. Ternyata, siswa yang berasal dari kalangan
menengah ke bawah mengaitkan dengan kehidupan orang tua mereka yang serba
sulit.
Menjadi guru
hari ini bukanlah pekerjaan mudah. Keran-keran informasi yang semakin terbuka
bersamaan dengan arus globalisasi yang menawarkan Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK) sebagai senjata adalah alat sekaligus boomerang bagi guru. TIK
dapat menjadi alat ketika hal tersebut difungsikan sebagai media informasi atau
media pebelajaran yang meningkatkan efektifitas Kegiatan Belajar Mengajar
(KBM). Namun, TIK sekaligus dapat menjadi bumerang ketika arusnya justru
terlalu deras sehingga guru tak kuasa membendung dampak negatif yang diterima
oleh para siswa.
Disadari atau
tidak, sejak bangun tidur, para siswa masa kini sangat dekat dengan informasi.
Dengan beberapa kali menekan layar ponsel, mereka dapat membaca apa saja di Timeline twitter atau facebook. Ketika tidak mengerti tentang
suatu istilah, mereka akan mengetik kata-kata di google. Demikian ketika mereka merasa tak puas dengan sesuatu,
mereka akan bebas mengadu pada diary elektronik blog atau sekedar menulis
kicauan dan status.
Dunia yang
menjadi sangat vertical hari ini
menyebabkan paradigma menghormati karena “status sosial” menjadi tak penting
lagi. Melalui media dan jejaring sosial, semua orang bebas memanggil politisi
bahkan presiden dengan panggilan yang mereka suka. Sebut saja Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono yang memiliki berbagai jenis panggilan, seperti : SBY, Pak
Beye, Mbeye, dan lain sebagainya. Siapapun, berapapun umurnya, bebas memberikan
komentar terhadap suatu berita maupun tulisan yang diunggah oleh media sosial,
apapun komentarnya. Terkadang, dalam forum-forum diskusi online, saya menjadi
sangat prihatin ketika membaca komentar-komentar para user terhadap suatu
fenomena. Sebagian besar komentar tersebut cenderung tidak mencerminkan
pengetahuan yang lebih mendalam pada fenomena terkait. Kemudian, kita akan
menyaksikan perang “kusir” komentar yang tak ada titik temunya. Jika sudah
begitu, apakah dapat kita katakana bahwa teknologi merupakan sesuatu yang
mempermudah kehidupan manusia?
Pasalnya,
secara kuantitas dan kualitas waktu yang dimiliki, siswa akan lebih cepat dalam
menerima arus informasi. Guru, sebagai manusia yang memiliki tanggung jawab
yang lain di rumah, sebagai suami/istri serta orangtua bagi anak-anaknya,
otomatis akan disibukkan dengan kewajiban utama di rumah selepas mengajar di
sekolah. Hal tersebut belum ditambah dengan kewajibannya bermasyarakat, seperti
kegiatan RT/RW. Piranti guru dalam mengajar berbentuk buku yang cenderung tanpa
inovasi dari tahun ke tahun menyebabkan terjadinya kesenjangan informasi pada
siswa. Bahkan, terkadang siswa menganggap bahwa pelajaran yang ada pada
buku-buku pelajaran telah basi alias tidak up
to date.
Celakanya,
seketat apapun pengawasan yang diberikan orangtua serta guru kepada siswa dalam
berselancar di dunia maya, bahaya dampak negatif TIK tetap membayangi. Kita lihat
saja, semakin hari, iklan-iklan yang ada di sudut kiri kanan homepage akun facebook kita semakin tidak mendidik
saja. Iklan yang bernilai ekonomis tersebut sering memberikan judul yang
“seronok” hanya demi menarik perhatian publik. Padahal, seringkali judul dan
isi berita amat tidak sesuai.
Disinilah
pentingnya budaya melek literasi harus segera menjadi sajian utama dalam ruang
belajar mengajar di sekolah. Literasi adalah kemampuan untuk memahami,
menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media atau informasi (Lawrence,
2011 : 40) . Kemampuan melakukan hal ini ditujukan agar pemirsa sebagai
konsumen media (termasuk anak-anak) atau siswa menjadi sadar (melek) tentang
cara media dikonstruksi dan diakses.
Selama ini,
para siswa cenderung menganggap media sebagai sumber kebenaran tanpa tahu bahwa
media memiliki kekuasaan secara intelektual di tengah publik dan menjadi medium
untuk pihak yang berkepentingan dalam memonopoli makna yang akan dilempar ke
public. Hal ini terkait pro bono public
serta freedom of the press yang ada
di tangan jurnalis yang seharusnya bersifat netral.
Budaya “melek
literasi” ini dapat dikembangkan guru melalui metode diskusi dan inquiry based
learning. Dalam pelajaran-pelajaran yang terkait nilai dan moral serta budaya
seperti PKn, Agama, Bahasa serta Seni dan Budaya guru dapat memberikan suatu
kasus kepada siswa untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi siswa
kemudian dibandingkan dengan pemaparan beberapa media terkait kasus yang
memberikan sudut pandang yang berbeda-beda. Diakhir pembelajaran, guru dapat
memberikan simpulan bahwa pembaca memiliki otoritas dalam menyimpulkan sebuah
informasi serta memberikan sikap terhadap informasi tersebut.
Lebih jauh,
siswa dapat diajak untuk belajar menuliskan pendapatnya sendiri lewat blog
pribadinya. Guru membimbing siswa agar menyampaikan gagasan tersebut secara
ilmiah, artinya siswa harus berusaha menemukan beberapa referensi sebagai dasar
tulisannya. Dengan demikian, pembelajaran dapat berlangsung secara faktual
serta up to date. Siswa menjadi
“butuh” untuk menerima pelajaran tersebut karena dekat dengan kehidupan
sehari-hari.
Dengan metode
lain, seperti field research
(penelitian lapangan) atau kegiatan konvensional seperti metode ceramah, poin
pentingnya adalah guru harus memahamkan siswa bahwa mereka harus memiliki dasar
yang kuat dalam menerima informasi serta meyikapi berbagai hal yang dilihat
serta didengarnya. Selamat menjadi guru yang melek literasi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar