Rabu, 29 Januari 2014

Membumikan Budaya Literasi




Dalam sebuah sesi pembelajaran, saya tertarik untuk mengawali diskusi dengan siswa tentang fenomena korupsi yang marak terjadi di Indonesia. Tujuan saya adalah mengecek sejauh mana pemahaman siswa terhadap korupsi karena berbagai stasiun televisi begitu giat menyiarkan berita, tentu saja dengan kepentingan masing-masing. Alangkah terkejutnya saya ketika mendengar simpulan siswa bahwa mereka lebih memilih menjadi koruptor saja jika dapat korupsi bermilyar rupiah dengan hanya dipenjara dua atau tiga tahun. Ternyata, siswa yang berasal dari kalangan menengah ke bawah mengaitkan dengan kehidupan orang tua mereka yang serba sulit.

Menjadi guru hari ini bukanlah pekerjaan mudah. Keran-keran informasi yang semakin terbuka bersamaan dengan arus globalisasi yang menawarkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai senjata adalah alat sekaligus boomerang bagi guru. TIK dapat menjadi alat ketika hal tersebut difungsikan sebagai media informasi atau media pebelajaran yang meningkatkan efektifitas Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Namun, TIK sekaligus dapat menjadi bumerang ketika arusnya justru terlalu deras sehingga guru tak kuasa membendung dampak negatif yang diterima oleh para siswa.

Disadari atau tidak, sejak bangun tidur, para siswa masa kini sangat dekat dengan informasi. Dengan beberapa kali menekan layar ponsel, mereka dapat membaca apa saja di Timeline twitter atau facebook. Ketika tidak mengerti tentang suatu istilah, mereka akan mengetik kata-kata di google. Demikian ketika mereka merasa tak puas dengan sesuatu, mereka akan bebas mengadu pada diary elektronik blog atau sekedar menulis kicauan dan status.

Dunia yang menjadi sangat vertical hari ini menyebabkan paradigma menghormati karena “status sosial” menjadi tak penting lagi. Melalui media dan jejaring sosial, semua orang bebas memanggil politisi bahkan presiden dengan panggilan yang mereka suka. Sebut saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki berbagai jenis panggilan, seperti : SBY, Pak Beye, Mbeye, dan lain sebagainya. Siapapun, berapapun umurnya, bebas memberikan komentar terhadap suatu berita maupun tulisan yang diunggah oleh media sosial, apapun komentarnya. Terkadang, dalam forum-forum diskusi online, saya menjadi sangat prihatin ketika membaca komentar-komentar para user terhadap suatu fenomena. Sebagian besar komentar tersebut cenderung tidak mencerminkan pengetahuan yang lebih mendalam pada fenomena terkait. Kemudian, kita akan menyaksikan perang “kusir” komentar yang tak ada titik temunya. Jika sudah begitu, apakah dapat kita katakana bahwa teknologi merupakan sesuatu yang mempermudah kehidupan manusia? 

Pasalnya, secara kuantitas dan kualitas waktu yang dimiliki, siswa akan lebih cepat dalam menerima arus informasi. Guru, sebagai manusia yang memiliki tanggung jawab yang lain di rumah, sebagai suami/istri serta orangtua bagi anak-anaknya, otomatis akan disibukkan dengan kewajiban utama di rumah selepas mengajar di sekolah. Hal tersebut belum ditambah dengan kewajibannya bermasyarakat, seperti kegiatan RT/RW. Piranti guru dalam mengajar berbentuk buku yang cenderung tanpa inovasi dari tahun ke tahun menyebabkan terjadinya kesenjangan informasi pada siswa. Bahkan, terkadang siswa menganggap bahwa pelajaran yang ada pada buku-buku pelajaran telah basi alias tidak up to date.

Celakanya, seketat apapun pengawasan yang diberikan orangtua serta guru kepada siswa dalam berselancar di dunia maya, bahaya dampak negatif TIK tetap membayangi. Kita lihat saja, semakin hari, iklan-iklan yang ada di sudut kiri kanan homepage akun facebook kita semakin tidak mendidik saja. Iklan yang bernilai ekonomis tersebut sering memberikan judul yang “seronok” hanya demi menarik perhatian publik. Padahal, seringkali judul dan isi berita amat tidak sesuai. 

Disinilah pentingnya budaya melek literasi harus segera menjadi sajian utama dalam ruang belajar mengajar di sekolah. Literasi adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media atau informasi (Lawrence, 2011 : 40) . Kemampuan melakukan hal ini ditujukan agar pemirsa sebagai konsumen media (termasuk anak-anak) atau siswa menjadi sadar (melek) tentang cara media dikonstruksi dan diakses.

Selama ini, para siswa cenderung menganggap media sebagai sumber kebenaran tanpa tahu bahwa media memiliki kekuasaan secara intelektual di tengah publik dan menjadi medium untuk pihak yang berkepentingan dalam memonopoli makna yang akan dilempar ke public. Hal ini terkait pro bono public serta freedom of the press yang ada di tangan jurnalis yang seharusnya bersifat netral.

Budaya “melek literasi” ini dapat dikembangkan guru melalui metode diskusi dan inquiry based learning. Dalam pelajaran-pelajaran yang terkait nilai dan moral serta budaya seperti PKn, Agama, Bahasa serta Seni dan Budaya guru dapat memberikan suatu kasus kepada siswa untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi siswa kemudian dibandingkan dengan pemaparan beberapa media terkait kasus yang memberikan sudut pandang yang berbeda-beda. Diakhir pembelajaran, guru dapat memberikan simpulan bahwa pembaca memiliki otoritas dalam menyimpulkan sebuah informasi serta memberikan sikap terhadap informasi tersebut.

Lebih jauh, siswa dapat diajak untuk belajar menuliskan pendapatnya sendiri lewat blog pribadinya. Guru membimbing siswa agar menyampaikan gagasan tersebut secara ilmiah, artinya siswa harus berusaha menemukan beberapa referensi sebagai dasar tulisannya. Dengan demikian, pembelajaran dapat berlangsung secara faktual serta up to date. Siswa menjadi “butuh” untuk menerima pelajaran tersebut karena dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Dengan metode lain, seperti field research (penelitian lapangan) atau kegiatan konvensional seperti metode ceramah, poin pentingnya adalah guru harus memahamkan siswa bahwa mereka harus memiliki dasar yang kuat dalam menerima informasi serta meyikapi berbagai hal yang dilihat serta didengarnya. Selamat menjadi guru yang melek literasi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar