Realita bangsa yang begitu memprihatinkan hari
ini nampaknya masih menunggu waktu yang sangat lama untuk menemui titik terang
ke arah perubahan yang lebih baik.
Pasalnya, semua komponen yang menjadi organ penyusun tubuh negeri ini
nampak sedang sakit. Birokrat dan penguasa yang korup, kapitalis yang licik dan rakus, aparat yang represif dan tidak bertanggungjawab, pendidik yang tidak berdedikasi, dan sebagainya. Yang nampak hanya rasa pesimis disana-
sini seakan semua telah kehilangan harapan dan kepercayaan akan adanya masa
depan yang manis di hari esok.
Dalam pelik fenomena itu sesungguhnya mahasiswa
hanya sebagian kecil saja dari bangsa yang besar ini. Namun keberadaannya
menjadi sangat berarti serta menjadi tumpuan harapan ketika kita mengingat
peran, fungsi dan posisi mahasiswa yang sangat strategis dalam tatanan
kehidupan masyarakat. Posisi strategis mahasiswa ini penulis maknai bukan hanya
dari segi hakikat secara terminologi dan kondisi ideal saja, namun lebih lanjut
kepada tanggungjawab moral serta konsekuensi logis yang diemban.
Secara ideal, sebagai insan akademis, mahasiswa
memiliki konsekuensi untuk mengembangkan jiwa pembelajar sejati agar dapat
terus mengembangkan diri sehingga menjadi generasi yang tangguh dan mampu
menghadapi tantangan masa depan. Jiwa pembelajar sejati akan memunculkan peran
selanjutnya dengan mengikuti watak ilmu itu sendiri.
Manusia yang telah tercerahkan oleh terang ilmu
pengetahuan pada hakikatnya akan selalu resah serta cenderung pada kebenaran
sebab sukmanya selalu mendorong untuk menyelesaikan kezaliman- kezaliman
penguasa yang belum tuntas diselesaikan. Manusia berilmu itu selayaknya sanggup
berdiri sendiri dengan lapangan ilmu pengetahuan sesuai dengan bidang yang
ditekuni dan dipahaminya, baik secara teoritis maupun teknis. Hal ini
dapat dicerminkan pada sikap peka dan peduli pada realita- realita sosial dan
perilaku tidak merugikan baik bagi dirinya dan lingkungan sekitar.
Namun, Realita
yang ada nampaknya masih jauh dari idealisme yang kita
miliki. Peran, fungsi,
dan posisi yang semestinya terwujud nyata dalam kemahasiswaan kita masih hanya
terbatas kata dan belum mengejawantah
dalam wujud perilaku keseharian. Dunia kampus kini justru akrab dengan sikap apatis, individualis,
pragmatis, serta yang paling tidak
terelakkan yakni hedonisme yang secara
nyata tercermin dalam kultur intelektualitas, moralitas, dan produktifitas yang melemah. Terlepas dari pengaruh eksternal
yang mempengaruhi kondisi kemahasiswaan kita, kita menyadari bahwa akar semua permasalahan itu ada di subjek utamanya yaitu mental
mahasiswa itu sendiri. Seperti
ungkapan “educate brain, educate mind, without educate the heart is blind”. Semua itu berawal
dari ketidaksadaran kita terhadap peran, fungsi, dan posisi kita
sebagai mahasiswa.
Kali ini, penulis akan mencoba menguraikan materi
Orientasi Studi Kehidupan Mahasiswa (OSKM) ITB yang menurut penulis sangat
bagus untuk diterapkan di kampus- kampus lainnya. Materi tersebut menjelaskan
mulai dari memahami esensi hidup, pembentukan paradigma manusia pembelajar, penyadaran
kembali tiga potensi dasar manusia, integritas, realita bangsa, posisi peran
dan fungsi mahasiswa, dan berujung pada semangat kontribusi yang harus dimiliki
oleh masing- masing pribadi, utamanya mahasiswa sebagai tonggak perubahan
bangsa.
Mahasiswa kita perlu disadarkan kembali akan
esensi mereka hidup di dunia ini. Sebab, kesadaran akan
esensi hidup adalah awal dari pembelajaran yang
sesungguhnya bagi seorang manusia.
Kesadaran akan makna dan hakikat hidup merupakan
akar dan sebab bagi kesadaran-
kesadaran yang lain. Juga awal dari pembangunan paradigma
sebagai
manusia pembelajar. Hidup yang sejati adalah hidup yang dijalani dengan sungguh- sungguh
dan sempurna, yang didalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan
mengembangkan kecakapan- kecakapan dan memenuhi keperluannya. Manusia yang
hidup berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan
dalam kegiatan- kegiatan yang membawa perubahan kearah kemajuan- kemajuan baik
yang mengenai alam maupun masyarakat yaitu hidup berjuang dalam arti yang
seluas- luasnya (Al- Ankabut (29) :6).
Namun seringkali manusia kehilangan hal
tersebut disebabkan kehidupan yang sangat
materialis. Manusia berubah
menjadi robot-robot
rutinitas yang menyebabkan manusia kehilangan makna. Hidupnya mengalir dan berputar seperti mesin pabrik. Hal tersebut penulis analisa disebabkan pula oleh sistem pendidikan yang mekanistik
dan dikebiri sekedar hapalan rumus dan ujian yang bersifat formalitas
belaka. Ironis, tanpa kita sadari, sistem
yang kita buat sendiri justru menyebabkan hilangnya potensi manusia sehingga
berujung hilangnya semangat kontribusi itu sendiri.
Jika kita menengok sejenak pada Tri Dharma
Perguruan Tinggi maka kita akan sampai pada hakikat kemanusiaan mahasiswa. Kita
akan mendapati tiga tujuan luhur Perguruan Tinggi yang terdiri dari Pendidikan
dan Pengajaran, Penelitian dan Pengngabdian Masyarakat. Tiga tujuan yang telah
terangkum ini sebenarnya memiliki makna yang dalam bahwa menjadi kaum elite
akademis sebenarnya adalah kembali menjadi bagian dari masyarakat. Bagaimanapun
kita harus menyadari bahwa kita adalah satu kesatuan dalam sebuah entitas
kehidupan, tidak memisahkan diri dari mereka yang seringkali dianggap berada di
luar lingkaran.
Bukti- bukti bahwa mahasiswa kita seringkali
melupakan kedudukannya sebagai bagian dari masyarakat adalah era pragmatis yang
saat ini kita hadapi. Misalnya adalah pada pendanaan Program Kreativitas
Mahasiswa. Kucuran dana dari Kementrian Pendidikan Nasional yang jumlahnya
mencapai angka triliun pertahun bahkan menjadi pengeluaran terbesar tiap
tahunnya itu terlihat hanya Nampak sebagai pemborosan anggaran belaka tanpa
goal- setting yang pasti. Program- program tersebut sebagian besar tidak banyak
membawa dampak yang signifikan bagi masyarakat dikarenakan terhenti di tengah
jalan. Banyak yang dikerjakan hamper tanpa dedikasi yang disertai ketulusan
untuk mengabdi. Paradigma matrealis dan pragmatis telah melekat pada jiwa- jiwa
mahasiswa yang berorientasi pada pendanaan yang mencapai 10 juta rupiah per
judul tersebut.
Masalahnya disini adalah bukan pada program-
program yang ditelurkan. Melainkan pada mental mengabdi itu sendiri. Jika
kesemuanya dari para pemegang kekuasaan masih berorientasi pada prokeristik
tahunan semata, maka sampai kapanpun bangsa ini tidak akan berubah.
Paparan yang penulis sampaikan berujung pada
sebuah harapan yakni munculnya laboratorium- laboratorium baru untuk mahasiswa kita
merebut idealisme yang sementara ini terbiaskan karena beberapa nilai yang
tidak sesuai untuk diinternalisasikan di republik kaya raya ini. Jika mahasiswa
Fakultas MIPA memiliki laboratorium riil untuk mereka bermain- main dengan
larutan dan tabung reaksi, maka bagaimana dengan mahasiswa dari disiplin ilmu
yang lainnya? Selama ini mereka telah cukup disibukkan dengan diktat dan teori.
Mereka butuh laboratorium untuk menguji ilmu yang telah mereka serap sehingga
ketika lulus kita tidak lagi miris dengan pemandangan antrian jutaan mahasiswa
di Job Fair atau pameran- pameran pekerjaan yang juga dijual seharga tiket
masuknya.
Mahasiswa kita butuh laboratorium riil untuk
mereka membayar hutang janji tri dharma paling tinggi yakni pengabdian terhadap
masyarakat tanpa orientasi apapun. Sudah saatnya mahasiswa Fakultas Keguruan
turun untuk mendesain kurikulum sendiri di pelosok- pelosok kampung pinggiran,
mengajar anak- anak dengan penuh suka cita, menyaksikan mereka berprestasi
tanpa tendensi sekedar sepuluh juta. Sudah saatnya mahasiswa Fakultas Kedokteran
mencari peluang untuk menyelesaikan persoalan gizi buruk juga mengatasi kasus
masyarakat yang tak memiliki dana untuk berobat. Sudah saatnya mahasiswa Hukum
turun ke masyarakat mencoba mengamati regulasi- regulasi yang selama ini
meresahkan. Serta para mahasiswa Fakultas Ekonomi yang sangat dinantikan
masyarakat untuk menjawab persoalan kemiskinan karena setiap harinya kita
digerus pasar bebas globalisasi.
Laboratorium- laboratorium itu hendaknya lahir
dari pemikiran mahasiswa sendiri sebagai akibat dari keresahan mereka melihat
ketidakadilan di sekitar mereka. Itulah yang penulis sebut dengan perebutan
kembali idealisme yang terbiaskan. Terbiaskan oleh nilai pembenaran nisbi,
kapital dan serangan mental melalui media virtual. Negeri ini tak butuh lagi para
manusia banyak bicara, tapi miskin kontribusi. Begitupula tidak kita butuhkan
lagi para manusia yang sekedar banyak bertindak namun sedikit sekali untuk
berfikir. Sebab mahasiswa adalah asset mahal yang dimiliki bangsa ini.
Kembalilah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar