Saat-saat akhir Sekolah Menengah
Atas (SMA) mendekati masa transisi menjadi mahasiswa barangkali adalah masa
paling sulit dalam hidup saya. Dikala temen-temen sekolah saya disibukkan dengan
kebingungan rencana-rencana kuliah seperti pilihan universitas, jurusan ataupun
ujian seleksi masuk Perguruan Tinggi mana aja yang bakal mereka ambil, well,
inilah saya yang cuma anak seorang tukang becak dan ibu rumah tangga. Disaat
mereka punya banyak saudara yang berpendidikan tinggi juga orang tua kooperatif
yang bisa diajak diskusi tentang gambaran masa depan mereka, saya seakan nggak
punya pilihan. 4 saudara saya yang lain selepas SMA semua bekerja sebagai buruh
serabutan.
Walaupun saya tercatat sebagai
siswa SMA terbaik di kota dan juga anak IPA, tapi sayangnya saya bukan siswa
pandai di kelas IPA. Dari 4 Mapel IPA (Matematika, Fisika, Kimia, Biologi),
hanya biologi yang saya lolos Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Tiga lainnya
saya selalu ikut remedial test. Untungnya,
guru-guru di sekolah nggak tega nyebut saya sebagai “siswa bodoh” karena saya
punya prestasi di bidang lain yaitu English
debate dan Indonesian Debate.
Noted, Saya bukan anak yang terlampau
pandai buat dapetin beasiswa masuk Perguruan Tinggi tanpa biaya dan seleksi.
Pada tahun 2009 ketika saya lulus, belum ada beasiswa bidik misi dari
Pemerintah yang dapat menggratiskan anak-anak kurang mampu kuliah hingga lulus
S1. Beasiswa-beasiswa dari Perguruan Tinggi Swasta juga belum semarak sekarang.
Apalagi, beberapa tahun lalu saya sangat kudet (kurang update) dengan berbagai
informasi. Maklum, anak tukang becak yang untuk ke warnet saja harus
menyisihkan uang saku harian. Dalam silsilah keluarga saya belum pernah
ditemukan satu orang pun yang bergelar Sarjana, dan orangtua saya nggak mungkin
diperas dalam waktu singkat buat dapetin duit jutaan. Terakhir ketika saya
minta tolong mereka buat cari pinjaman di Bank, bapak justru bilang,”Bapak
masih punya angsuran hutang yang belum selesai di 3 Bank yang berbeda. Kalau
mau nyari pinjeman lagi, kita nggak punya surat berharga buat bakal jaminan…”.
Pikir saya,”OK. Semua peluang kayaknya udah tertutup.”
Untung saja pikiran negatif untuk
menutup semua peluang yang “mungkin” masih banyak di depan sana tidak lama
mempengaruhi semangat saya.
Saya harus bersyukur pada Tuhan untuk
menjadikan kenekatan sebagai harta satu-satunya yang saya jaga serta
teman-teman baik sebagai perhiasan yang saya miliki. Lucunya, saat itu lagu
dari D’ Massiv yang berjudul “Jangan Menyerah” lagi hits. Kalau kalian lupa,
kira-kira begini liriknya : Tak ada manusia yang terlahir sempurna…(Ups, malah
nyanyi). Iya, thanks to Ryan D’massiv yang sempat hadir dalam beberapa mimpi
saya di malam hari sambil nyanyi-nyanyi menyemangati saya ketika itu hampir
putus asa. Hehehe…
Dalam setiap doa, hal yang nggak
putus saya sampaikan ke Tuhan adalah,”Ya Allah, sesungguhnya saya tak punya
keinginan apapun dalam hidup ini. Apakah itu untuk menjadi orang yang besar di
mata orang lain atau menjadikan diri merasa bangga namun lupa darimana saya
berasal. Saya hanya ingin menghadirkan senyuman di bibir Bapak dan Ibu biar
mereka sadar bahwa mereka adalah orang tua yang hebat. Tak ada jalan yang
terlampau sulit untuk dilalui jika itu adalah kehendakMu dan Engkau selalu
bersamaku.” Kelak, hingga hari ini ketika saya sering ikut dalam banyak
kompetisi mahasiswa atau beberapa kegiatan sosial anak muda, bahkan hampir
Sarjana, doa saya nggak pernah berubah. Tetap seperti itu tanpa sedikitpun
revisi.
Dari Seleksi
ke Seleksi
Saya berpikir kalau saya harus terus menantang Tuhan dengan kenekatan
saya. Satu-satunya keyakinan saya adalah Tuhan setidaknya bakal kasihan sama si
bodoh nan miskin ini sehingga setidaknya saya bakal dikasih kesempatan buat
mewujudkan mimpi saya : Menjadi Sarjana pertama dalam silsilah keluarga saya.
And believe it or not, sebenarnya ketika sebuah mimpi akan menjadi kenyataan,
kalian nggak akan pernah mau berhenti untuk memperjuangkannya. Entah kenapa
dulu saya yakin banget bakal jadi mahasiswa (entah jurusan apa, di kota mana),
tapi mimpi tersebut terasa sangat nyata dan sangat dekat, hampir-hampir dapat
saya peluk erat dan saya cium baunya.
Mendekati
hari-hari terakhir pendaftaran berbagai tes seleksi masuk, tiba-tiba saja saya dipanggil
ke ruang Kepala Sekolah. Ternyata ada 3 anak, yang salah satunya adalah saya
yang diputuskan untuk mendapat beasiswa dari sekolah. Pesan dari Bu Purwanti,
Wakil Kepala Bidang Kesiswaan, uang tersebut harus digunakan buat beli kambing
atau modal jualan orang tua. Tapi karena keinginan saya untuk ikut berbagai tes
saat itu sudah sampai di ubun-ubun dan hampir meledak, saya ijin ke Ibu Guru
kalau uangnya akan saya pakai buat beli formulir pendaftaran tes.
Si
miskin ini dahulu mempunyai beragam cita-cita. Salah satu yang paling kuat
adalah menjadi akademisi. Setiap membaca Harian Kompas pada bagian Kolom Opini,
saya membayangkan suatu saat nama saya yang akan bertengger disana sebagai
kolumnis. Atau, ketika menonton sebuah acara talkshow inspiratif di televisi,
saya membayangkan suatu saat saya akan bisa menjadi narasumber sebuah acara TV Nasional.
Toh hari ini, saya merevisi semua cita-cita itu. Saya tidak ingin semata
mengharap tepuk tangan manusia. Berbekal cita-cita yang cukup kuat itu, singkat
cerita saya membeli berbagai formulir pendaftaran ujian tulis PT.
Pertama, saya ikut Simak UI
dengan pilihan pertama jurusan Ilmu Pemerintahan dan pilihan kedua jurusan Ilmu
Komunikasi. Kedua, saya ikut Ujian Masuk UGM dengan pilihan pertama jurusan
Ilmu Pemerintahan dan pilihan kedua jurusan Ilmu Komunikasi. Ketika ada tabel
pengisian “biaya yang bersedia dibayarkan apabila anda diterima di universitas
ini”, saya melingkari pilihan “nol rupiah”. Ternyata, saya gagal untuk diterima
di dua universitas terbaik negeri tersebut.
Kegagalan tersebut membuat saya
cukup terpukul. Kegagalan tersebut membuat saya terpaksa menyadari jika saya
ini tidak cukup pandai untuk dapat diterima di Perguruan Tinggi Negeri ternama.
Namun saya sadar bahwa langkah tidak boleh berhenti sampai disini. Pertemuan
dengan siswa-siswa lain dari berbagai kota dengan penampilan mereka yang
berkecukupan entah mengapa membuat mimpi saya menjadi mahasiswa semakin
menguat. Saya tidak ingin berhenti sebelum semua peluang benar-benar tertutup.
Saya mengevaluasi apa sebab saya
gagal. Sedari awal saya telah menyadari bahwa jurusan yang saya pilih adalah
bidang IPS, sedangkan saya adalah anak IPA. Saya memang telah memutuskan hal
itu karena selain tidak punya passion di bidang IPA, saya juga tak percaya diri
dengan kemampuan IPA saya yang demikian buruk. Itu artinya, saya harus fokus
belajar mata pelajaran IPS. Saya mempersiapkan diri untuk ikut seleksi masuk
Universitas Negeri Semarang (UNNES). Saya akhirnya (sempat) diterima sebagai
calon mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia FBS UNNES. Namun, kenapa saya gagal
lagi?
Benar. Saya harus membayar 5 juta
rupiah agar bisa benar-benar resmi menjadi mahasiswa UNNES. Dan suatu sore
ketika saya menyampaikan berita gembira tersebut ke Bapak, Bapak bahkan tidak
menoleh ke arah saya. Tak ada jawaban bahkan sinyal tatap mata yang saya
tangkap dari beliau. Saya kembali (sangat) putus asa.
Tes-tes Perguruan Tinggi
kedinasan seperti STAN, tidak berhasil saya taklukkan. Berkas-berkas beasiswa
ke beberapa Perguruan Tinggi Negeri Kedinasan seperti Akademi Kimia Analisis
Bogor, Sekolah Tinggi Perikanan, AKIP dan lain-lain berakhir tanpa jawaban.
Hingga akhirnya, satu-satunya pilihan terakhir saya ada pada Seleksi Nasional
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Beasiswa dari sekolah sudah habis
untuk biaya kesana kemari. Pada cerita ini sekaligus saya ingin mengabadikan
nama-nama yang turut memperjuangkan cerita saya hingga hari ini saya hampir
dapat mewujudkan mimpi saya. Terimakasih kepada Dyah (Tek. Sipil Undip 09),
Santi (Arsitektur UII ’09), dan Ariyan Bayu (STAN 09) yang memberi “uang saku”
pada saya untuk berangkat mengikuti test SNMPTN.
Akhirnya saya diterima lewat
jalur SNMPTN pada jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UNS. Loh, kemana larinya
mimpi-mimpi saya untuk jurusan Ilmu Pemerintahan dan Ilmu Komunikasi? Alkisah,
suatu malam sebelum saya berangkat ke Yogyakarta untuk mendaftar SNMPTN, Ibu
saya berpesan,”Semoga tercapai cita-citamu untuk menjadi guru ya, Nduk. Ibu
ndak tahu gimana caranya. Ibu percaya sama usaha kamu. Tapi Ibu juga senang
kalau suatu saat kamu jadi guru.” Sampai sekarang, saya juga heran kenapa
dahulu Ibu bisa berpesan seperti itu. Tapi karena mengingat pesan beliau malam
itu, akhirnya saya memang memutuskan untuk melingkari jurusan Pendidikan Bahasa
Inggris pada formulir pendaftaran SNMPTN.
Ketika tahu bahwa saya diterima
lewat jalur SNMPTN, saya sangat bahagia. Bayangan akan menjadi Sarjana sudah
sangat dekat di depan mata. Saya beranikan diri untuk menyampaikan kepada Bapak
bahwa saya diterima di UNS dan harus membayar biaya 3,8 juta. Saya berharap
kali ini Bapak akan luluh, namun ternyata : tidak. Bapak kembali bersikap acuh
dan dingin. Semalaman itu saya menangis karena tak tahu lagi harus berbuat apa.
Saya teringat jika satu-satunya benda yang masih dapat kami jual adalah Sepeda
Motor Honda keluaran Tahun 2004. Tapi, saya juga tahu betul kalau cicilannya
belum lunas. Bapak belum punya BPKBnya. Atas ijin Bapak saya memperjuangkan
bagaimana agar motor tersebut bisa berubah menjadi uang minimal 5 juta untuk
membayar biaya pangkal masuk dan biaya perjalanan awal saya. Sisanya, saya
tidak pikirkan akan dapat uang darimana. Toh nyatanya, setelah bolak-balik ke
dealer resmi untuk menego cicilan beserta denda, mereka tetap tidak bersedia.
Saya mengunjungi rumah guru-guru, menanyakan apakah mereka bersedia mengganti
motor yang saya punya dengan uang sejumlah 5 juta, tetap tak ada yang bersedia.
Saat itu saya sungguh tak tahu
harus berbuat apa lagi. Saya menjadi gampang sekali menangis membayangkan
mimpi-mimpi saya yang nampaknya akan gagal. Entah petunjuk darimana, saya
memiliki ide untuk menelpon beberapa teman. Saya sampaikan saya ingin meminjam
uang 3,8 juta dan akan saya kembalikan dalam jangka waktu satu tahun. Bodohnya,
saya hanyalah anak lulusan SMA yang tak memiliki jaminan apapun yang tentu saja
tak ada yang bisa mengabulkan keinginan saya itu. Saya terus menggumamkan doa
andalan saya hingga tanpa sadar saya menelpon Mbak Azizah. Beliau adalah kakak
senior saya di sebuah organisasi pengajian remaja di kota. Ketika Mbak Azizah
mengangkat telepon, saya juga kaget mengapa saya bisa menelepon beliau. Tapi
beliau saat itu sudah terlanjur mendengar tangisan dan suara saya yang serak
sehingga memaksa saya untuk bercerita. Saya pun memberanikan diri untuk
bercerita pada beliau.
Singkat cerita, saya datang ke
Semarang untuk memenuhi undangan Mbak Azizah. Beliau yang saat itu adalah
Mahasiswa tingkat akhir di Teknik Industri Undip berkata akan berusaha membantu
saya. Sampai saat ini, saya tidak tahu uang 3,8 juta yang diberikan Mbak Azizah
untuk membayar biaya masuk UNS 4 tahun lalu itu berasal darimana. Beliau bilang
uang tersebut bukan uang pribadinya. Beliau hanya berkata, “Suatu saat uang
tersebut harus kamu kembalikan kepada adik-adikmu yang juga kesulitan ketika
ingin melanjutkan kuliah.” Pesan beliau itu akan selalu saya ingat.
Sekali lagi, saya ingin
mengucapkan terima kasih pada beberapa nama yang menjadi bagian dari perjalanan
saya hingga hari ini. Kepada Mas Koko (FH UGM 07) yang menemani saya antri
formulir di GSP UGM, kepada Mbak Nia (MIPA UNY 07) dan Mas Iim (Ilkom UGM 06)
yang sudah mengantar saya sampai ke Gedung Teknik Fisika UGM untuk tes SNMPTN.
Padahal, usut punya usut Mas Iim dulunya adalah aktivis dakwah kampus UGM yang
dengan semena-mena dan percaya diri saya membonceng sepeda motornya. Uhuk!
Achievement Never Ask Who You Are
Saya berhasil jadi mahasiswa
tidak dengan mudah. Tapi enggak berarti juga saya rajin belajar semata karena
buat bales dendam. Nggak, saya menjadi mahasiswa yang “belajar serius” karena semata
kewajiban saya pada bangsa dan Negara ini. Saya ingin jadi mahasiswa terbaik,
guru terbaik agar kelak saya bisa mengajar banyak anak-anak yang kurang mampu.
Sebagai perempuan yang tentunya calon ibu, saya ingin anak saya kelak
menghargai semua orang tua, guru dan ilmu pengetahuan di dunia ini. Oleh karena
itu, saya harus memulai hal itu dari diri saya sendiri. Saya selalu berusaha
bersungguh-sungguh di setiap kelas kuliah dan ruang-ruang ilmu pengetahuan
seperti seminar dan diskusi.
Di Solo, saya menghidupi diri
saya dan kegiatan kuliah saya dengan mengajar les, beasiswa, menulis dan
lomba-lomba. Motor Honda yang dahulu hampir saya jual, diserahkan dengan
sukarela oleh bapak dengan berpesan,”Bapak mungkin nggak bisa ngasih uang saku
ke kamu buat hidup di Kota. Tapi bawalah motor ini, mungkin bermanfaat buat
ngajar les atau kerja paruh waktu.”
Alhamdulillah, dengan izin Tuhan
selama menjadi mahasiswa saya bisa menjadi Juara penulisan artikel dan Karya
Tulis Ilmiah Nasional, Debat Mahasiswa, Mahasiswa Berprestasi Fakultas juga
tercatata sebagai Mahasiswa terbaik jurusan. Sebuah prestasi tak pernah
bertanya siapa dirimu dan darimana kamu berasal. Miskin atau kaya, desa atau
kota, ia hanya meminta proses yang bernama perjuangan dan keringat.
Toh, awalnya saya mengira
prestasi-prestasi itu berharga dan akan abadi, tapi nyatanya tidak sama sekali.
Selama masih hidup, prestasi bukanlah sesuatu yang abadi. Hari ini mungkin kita
bisa bangga karena menjadi pemenang terbaik sebuah Kompetisi Mahasiswa
Nasional, tapi 3 bulan lagi ketika kita tidak terus mengasah diri, orang-orang
akan melupakan kita. Every people actually live in their own life without busy
thinking who we are. Artinya, ketika kita berhenti berkarya, pada suatu fase
kemudian, kita tidak akan menjadi apa-apa. Bukan piala ataupun sertifikat kita
dapat yang berharga. Melainkan ilmu yang kita dapatkan. Figur, sahabat karib saya
pernah berkata, “Orang yang berilmu tak akan goyah oleh zaman. Lihatlah para
filosof pendahulu, biarpun mereka hidup dengan sangat pas-pasan, mereka telah
merasa hidupnya sangat bermakna.”
Yah, walaupun kelak saya yakin
dapat lebih memperjuangkan masa depan anak-anak saya, walaupun kini saya lebih optimis dalam melangkah,
doa-doa saya tak pernah berubah, mimpi-mimpi saya tetap sama. Setapak langkah
diatas hanya secuil cerita dalam rangka memperjuangkan satu ikhtiar hidup,
masih banyak fragmen makna lain yang menuntut untuk kita selesaikan. Semoga
dalam keadaan apapun, saya tetap menjadi pribadi yang bukan siapa-siapa dan
bukan apa. Because If you have nothing, You’ve got nothing to loose!