Jumat, 18 Juli 2014

Risalah Cinta Sahara


Cerpen Kalis Mardi Asih
 

Aku suka tubuhmu yang kurus kecil. Nampak ringkih dan penyakitan, padahal kau pasti tak pernah sampai kelaparan. Walaupun kau juga merokok seperti kami, kebutuhan gizimu pastilah sangat tercukupi. Aku juga menyukai gelak tawa yang cair di tengah-tengah ritual mendongengmu di sekolah terminal tiap dua kali seminggu. Kalau boleh memohon pada Tuhan, sejak kedatanganmu, rasa-rasanya aku ingin semua hari berubah menjadi Rabu dan Sabtu, hari ketika kau terjadwal datang ke markas kami -sebuah ruang bekas pencatatan administrasi di belakang terminal kota Depok- agar aku bebas memandangimu dalam waktu yang lebih dari lama.

Tidak hanya aku yang menyukaimu. Hampir semua anak yang biasa mangkal di belakang terminal membicarakanmu pada hari-hari senggang ketika kami menghitung uang hasil mengamen sambil istirahat untuk sekadar minum bir oplosan dan menghisap uap lem aibon. Menurut pendapat mereka, Kak Abdi adalah teman baik yang tidak perlu dicurigai dan dilawan seperti para mahasiswa pengajar sekolah terminal yang lain. Kak Abdi sangat berbeda, tidak seperti gerombolan orang-orang suci yang tiba-tiba sering datang ke tempat kami dan memberikan ceramah tentang halal-haram, surga-neraka, dan juga baik-buruk. Benturkan saja khotbah-khotbah khayal itu ke jidat kami dan jangan harap sampai masuk ke kepala apalagi berharap kami percaya.

Dua bulan lalu, sekolah terminal yang katanya program mahasiswa kampus ternama berjaket almamater kuning cerah itu mendapat persetujuan Ustadz Khomeini, imam masjid terminal yang rajin adzan lima kali sehari dan lebih sering sholat sendirian karena sepertinya tak ada orang yang ingin pergi menjadi makmumnya.  Terminal tetap hiruk pikuk diantara teriakan dan makian, kepulan asap bis, angkutan umum, derit klakson mobil, motor dan asap rokok. Bau-bau keringat para sopir, kondektur, pegawai dinas perhubungan, tukang parkir, pedagang asongan, pengamen, pengemis, mucikari dan lonte yang biasa mangkal di losmen-losmen belakang terminal tertinggal di warung-warung makan, kendaraan, loket, tembok, kursi tunggu, dan angin di terik siang yang membakar kulit.

Aku tidak pernah tahu apa arti nama Sahara. Lagipula sampai hari ketika kau datang aku juga tak menganggap penting arti dari sebuah nama. Aku hanya tahu bahwa namaku Sahara. Memang sepertinya aku pernah dengar dari pelajaran-pelajaran di sekolah yang jarang kuperhatikan dengan sungguh-sungguh tentang sebuah gurun di Afrika bernama Sahara. Tapi hanya kamu yang bilang kalau barangkali orangtuaku menginginkan aku punya hati yang luas seperti luasnya gurun sahara.

Hati yang luas? Ah, siapa peduli? Tidak sekalipun ibu atau bapak. Ibu hanya seorang buruh cuci berbadan ringkih yang suka menangis ketika bapak pulang ke rumah. Kurasa ia istri yang kurang beruntung dan sangat aneh karena tak pernah mengharapkan suaminya pulang. Bapakku adalah seorang kondektur bis antar kota yang jarang pulang. Barangkali karena manjurnya doa-doa ibu. Tapi semanjur-manjurnya doa ibu, tetap saja sekali waktu bapak pulang. Bapak selalu pulang dengan membawa perempuan muda yang badannya tidak ringkih seperti Ibu. Lalu ibu akan menangis lagi. Dan aku tidak peduli.

Kata orang, aku adalah anak bajingan. Kaupun juga bilang begitu. Sesuai usul Bonek, ketua geng anak terminal, kami harus menceritakan semua aktivitas yang biasa kami lakukan dengan jujur agar para mahasiswa yang membosankan itu tidak betah dan tidak datang-datang lagi ke tempat kami. Bukankah program para manusia terpelajar yang sudah-sudah juga begitu? Paling-paling hanya kuat paling lama sebulan, mereka sudah tidak berminat “berkawan” dengan kami lagi seperti yang mereka ucapkan di awal pertemuan. 

Biasanya Bonek akan bercerita dengan mantap kalau ia biasa membayar duapuluh ribu rupiah agar bisa “dipijit” Tante Rina di losmen belakang terminal. Riko dan Deri akan bercerita disertai tawa yang menggelegak mengingat pengalaman-pengalaman mereka ketika saling memuaskan hasrat satu sama lain karena penghasilannya habis untuk biaya sekolah adik-adiknya yang masih belajar di Sekolah Dasar. Puluhan anak yang lain juga akan menceritakan hobi mereka kabur dari sekolah, memukuli teman sekolahnya yang sok kuasa mentang-mentang kaya, dan yang paling banyak tentunya tentang cerita-cerita menyedihkan mengapa mereka putus sekolah.

 Aku yang katamu berhati luas ini, sudah bergabung bersama geng Bonek untuk mengamen sejak usia sembilan tahun. Selain mengamen, aku juga sering datang ke losmen untuk memijit. Aku kerap mengamen dengan pakaian seksi, sebab seringkali ada om-om yang kemudian menawarku dan kemudian minta dipijit di losmen. Hasilnya lumayan. Aku tidak perlu lagi minta uang untuk bayar sekolah pada Ibu.

Tapi ketika berdekatan denganmu, rasanya aku ingin yang lebih dari itu. Aku merasa aman ketika tempo hari kau mengelus rambutku. Ada getar yang tak biasa, yang ingin sekali aku raih dan aku bungkam dalam waktu. Entah apa.

Tempat kami mengamen dibagi-bagi oleh Emon, lelaki seumuran ayah yang suka berbuat jahat pada beberapa anak laki-laki. Seperti ayah, Emon suka memukul jika hasil mengamen kami tidak terlalu banyak. Emon adalah satu-satunya alasan kami ikut kegiatan-kegiatan membosankan semacam sekolah terminal karena kami punya alasan jika pendapatan kami berkurang. Emon tidak akan berani berhadapan dengan Ustadz Khomeini. Ia berkali-kali dilaporkan ke polisi oleh Pak Ustadz. Tapi ia selalu saja bisa kembali menemukan markas kami setelah keluar dari penjara.

Anak-anak orang kaya yang suka memakai baju dan barang-barang bagus  itu mengajar matematika tiap hari Rabu dan bahasa inggris tiap hari Sabtu. Mereka bilang dua pelajaran itu penting agar kami bisa menjadi orang sukses. Padahal kami tidak pernah ingin jadi orang sukses. Oh, sebenarnya kami tidak tahu arti sukses itu apa. Barangkali, orang sukses itu adalah yang seperti mereka. Kalau benar begitu, aku dan geng anak terminal tidak ingin jadi sukses. Kami hanya ingin terus sama-sama. Minum bir, ngelem sambil sesekali mengendorkan otot-otot bareng tukang pijit di losmen kalau ada uang hasil ngamen yang tersisa. Yang penting kami aman dari jeritan dan makian yang ada di rumah. Aku juga aman dari ibu yang suka menangis dan bapak yang suka memukul ibu.

“Kemarin malam Kak Abdi datang ke Margonda. Dia ikut kita nongkrong sampai pagi.” Riko bercerita sambil mengepulkan asap rokoknya ke udara kota yang pengap.
“Kak Abdi ikut kalian ngelem? Atau ikut kalian ke losmen buat main-main sama Tante Rina?” Aku bertanya dengan mata sedikit terbelalak. Kaget.
“Enggak lah. Kita cuma minum-minum sedikit. Kak Abdi cuma ngeliatin kita sambil ngerokok dan cerita-cerita sampai ketiduran disana.” Jawab Bonek dengan gerak kepalanya yang khas, sepertinya ada sarafnya yang sudah putus karena kebanyakan ngobat.
“Kak Abdi baik, Har,” Deri menyahut setelah menghabiskan seplastik es teh, ”Dia bilang nggak apa-apa kita kayak gini. Tapi kata Kak Abdi, kita tetep harus inget kalau Tuhan masih peduli sama kita.”
“Peduli? Buktinya?” Aku menginterupsi kalimatnya. Hatiku selalu berdebar-debar tiap nama Abdi disebut.
“Ya kalau nggak peduli, kita nggak akan bisa seneng bareng-bareng kayak gini. Kita masih dikasih banyak temen baik. Masih dikasih duit buat mabok, buat ngelem, buat minta jatah Tante Rina…Kata Kak Abdi itu karena Tuhan yang Maha Baik.”
Ya. Aku tentu juga masih ingat. Suatu sore Kak Abdi menatapku lekat sambil berujar,”Hara, jika hidup mengharuskan kalian jadi bajingan, kalian harus jadi bajingan yang tetap punya cinta di hati. Bajingan yang nggak akan pernah memukul Ibu. Bajingan yang nggak menyusahkan hidup orang lain. Bajingan yang nggak membunuh…”

Aku adalah bajingan yang punya cinta di hati. Cinta untukmu, Kak Abdi.

Kau tidak lebih tampan dari teman-temanmu yang lain, para cendekia yang suka ha-ha-hi-hi setelah mengajar seolah-olah kami adalah anak TK yang gampang dibohongi untuk perintah menyanyi dan menari. Tapi matamu elang, senyummu sangat purba dan aku terhempas tanpa daya di pusarannya. Berkat kau, teman-temanku tidak terlalu melawan lagi pada para manusia terpelajar itu, mereka malah semakin bersemangat datang tiap hari Rabu dan Sabtu. Lucunya, mereka hanya mau berkumpul jika kau datang. Kau akan mulai mendongeng hal-hal lucu tentang Tuhan, menceritakan pengalamanmu hari itu, menyanyi dan memetik gitar dengan tiba-tiba, serta kadang-kadang berdiri untuk berlagak seperti artis sinetron yang memainkan peran. Mereka mendengarkanmu dengan senang, tapi mereka tidak mau belajar matematika ataupun bahasa inggris.
Pada satu hari Sabtu ketika kau pamit pulang dari terminal, aku pernah membuntutimu dengan menyambar motor Bang Mamat, tukang ojek terminal. Kau menuju ke arah kampus dan memarkir motormu di pelataran gedung bertuliskan Fakultas Ilmu Budaya. Kau melangkah cepat sekali masuk ke gedung itu hingga aku tak kuasa mengejar sosokmu. Lagipula, dengan penampilanku yang beda kelas dengan manusia-manusia kuliahan sebangsamu, aku tak punya cukup nyali.

Aku menikmati semua hal yang kau buat. Kurasa inilah yang disebut jatuh cinta.

Hari Rabu pada pekan yang ke sepuluh, akhirnya aku sudah tidak tahan lagi. Hari itu semua yang kulihat di terminal hanyalah bunga dan kupu-kupu beraneka warna. Udara sesak yang menguar berubah menjadi embun subuh hari yang menenangkan. Aku ingin sekali kau tahu perasaanku. Kalau saja bisa, biarkan aku lahir sekali lagi menjadi bunga. Yang kuncup, mekar, layu dan membusuk, pada dahan yang satu. Padamu. Kalau Tuhan memang Pemurah, aku ingin dia memberiku kesempatan. Kali ini saja.
Aku memakai pakaian terbaikku untuk pergi ke sekolah terminal. Aku juga memoles wajahku dengan sedikit foundation dan bedak. Penampilanku makin sempurna dengan memakai kaos ketat berwarna merah dan rok jins selutut andalanku. Kuharap kau akan tertarik dan mimpi-mimpi tentangmu yang telah menghantui selama dua bulan ini akan menjadi kenyataan.
Tapi, sepertinya harapanku tersangkut pada pilar-pilar tembok terminal yang sering membuat sinyal televisi rumah kami jadi buruk. Sore itu, Kak Abdi tak hadir mengajar. Hanya ada rombongan pengajar matematika dan bahasa inggris yang tak kami sukai. Demikian seterusnya pada pekan ke sebelas, ke dua belas dan seterusnya, hingga geng anak terminal tidak ada lagi satupun yang mau hadir untuk belajar pada hari Rabu dan Sabtu.
“Mereka memang brengsek, Hara! Aku dengar sendiri percakapan mereka. Mereka sepakat Kak Abdi nggak akan diundang buat ngajar lagi ke terminal.” Bonek kelihatan begitu gusar. Entah sudah berapa botol bir yang ia tenggak habis.
“Mereka bilang Kak Abdi ngajarin hal-hal buruk ke kita.” Deri berkata lirih sambil menghisap batang rokoknya dalam-dalam. Dari matanya yang memerah, ia nampak sangat kehilangan sosok seorang kakak yang selama ini ia dambakan.
Aku sendiri sudah tak kuasa berkata-kata. Maka kutinggalkan teman-temanku itu menikmati kekecewaan atas sebuah rasa percaya yang lagi-lagi dikhianati oleh seperangkat aturan baik-buruk orang-orang suci.




 

Aku selalu menunggumu di halte kampus depan gedung Fakultas Ilmu Budaya. Aku masih mengamen, tapi aku sudah tidak lagi melayani sopir dan kondektur terminal yang minta dipijit dan kemudian selalu menggagahiku hingga aku kelelahan. Untuk menggantinya, aku kini berjualan koran. Hasilnya lumayan. Anak-anak orang kaya yang belajar di gedung yang sama denganmu sering membeli koranku hingga habis

Aku masih menunggumu dengan harapan yang sama untuk menjadi bunga yang kembang pada dahanmu. Aku percaya kata-katamu, Tuhan pasti mendengar. Tugas kita hanya harus percaya sambil mengisi hati dengan banyak cinta. Aku meyakini pesanmu, meski hingga hari ini kau belum juga kulihat lagi.

Hingga suatu pagi yang bukan Rabu atau Sabtu, aku melihat nama dan fotomu di salah satu koran lokal yang kujajakan. Di foto itu kau tampak sumringah mendapat ucapan selamat dari rektor kampusmu karena mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Perancis.

Jalanan Depok semakin bengkak.
Udara semakin mampat.
Mataku berair.
Puisi-puisi perlahan meninggalkanku.
Tapi aku masih menyukai tubuh kecil, mata elang serta senyummu yang purba, Abdi Negara. Geng anak terminal telah berikrar untuk menjadi insan bajingan penaka Tuhan. Bajingan yang punya cinta. Dan aku menyimpan namamu hingga entah kapan kau kembali kesini, di kampus ini.
*Cerpen ini dimuat dalam buku antologi "Botol-botol berisi senja" yang diterbitkan oleh Taman Budaya Jawa Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar