Jumat, 27 Juni 2014

Mengembalikan Khittah Ulama

Ihwal patokan moral dan kebenaran di negeri ini memang tak jelas tolok ukurnya. Para founding fathers Republik menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama pada Pancasila, yang tidak lain adalah falsafah hidup bangsa. Sila tersebut secara tidak langsung menitipkan amanat bahwa warga Negara Indonesia mesti menempatkan sifat-sifat Ketuhanan sebagai identitas kebangsaan. Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 dan kolom agama dalam KTP yang sedang ramai diperbincangkan adalah sebuah seruan bahwa warga Negara Indonesia tanpa terkecuali wajib memeluk agama tertentu yang sah dan diakui di Indonesia.

            Identitas sebagai warga Negara yang beragama, lucunya, tidak begitu saja membuat seseorang mengerti akan agama yang dipeluknya. Ketidakmengertian inilah yang membuat banyak standar moral atau kebenaran menjadi bias. Islam, sebagai agama yang paling jamak dipeluk di negeri ini, misalnya, tidak menjamin bahwa semua muslimnya menjadi islami. Kadang saya merasa prihatin, bahwa untuk hal-hal yang remeh saja banyak umat islam yang tidak bisa menyelesaikan persoalan –yang dianggap berhubungan dengan agama- secara mandiri.

Bapak saya adalah seorang kyai kampung yang kerapkali didatangi masyarakat yang bertanya tentang banyak hal yang menurut saya menggelikan. Mulai urusan syara’ hingga urusan hakikat yang kadang susah untuk dijawab memakai bahasa yang sederhana. Padahal, tak semua persoalan bisa dijawab oleh Bapak saya. Namun, masyarakat lebih puas dengan pernyataan, “manut kaliyan Pak Kyai” daripada berusaha untuk mencari kebenaran sendiri.

Seperti kita tahu, agama islam memang lekat dengan tokoh yang bergelar ulama. Ulama berasal dari kata dasar ‘alim dalam bahasa arab yang berarti orang yang berilmu atau ilmuwan. Ulama adalah tokoh yang bertugas menyampaikan dakwah, nasehat ataupun kabar baik (apa saja) yang mempermudah kehidupan manusia dengan berdasar firman-firman Tuhan yang tertulis dalam kitab suci Al qur’an. Prof. Dr M. Quraish Shihab, ahli tafsir kontemporer Indonesia menyatakan ulama adalah orang yang mempunyai ilmu pengetahuan tentang ayat-ayat Allah SWT baik yang bersifat kauniyyah (fenomena alam semesta dan kehidupan) maupun qawliyyah (mengenai kandungan Al-qur’an).

Di Indonesia, kata ulama mengalami perubahan semantik yang serius, yakni sebatas juru dakwah agama islam atau sering disebut dengan istilah “ustadz” atau khususnya di Jawa, jamak disebut “kyai”.  Pada musim politik, ulama di Indonesia laris manis. Kunjungan tokoh politik kepada para pengasuh pondok pesantren diliput oleh media massa. Pondok pesantren adalah basis massa yang kuat yang sangat ta’dzim kepada ijtihad politik kyai/pengasuhnya. Mendapat keberpihakan petinggi pondok pesantren artinya mendapat suara yang dapat dihitung pasti secara kuantitatif.

Dalam buku Ulama dan Kekuasaan, Jajat Burhanudin (2013) memberikan dokumentasi sejarah yang sangat menarik tentang perkembangan dunia islam ulama di Indonesia. Setelah melalui zaman kerajaan, era kolonial dan kemudian tumbuh gerakan para ulama anti-kolonialisme yang disebabkan oleh gerakan politik etis, muncul gerakan reformisme Islam. Gerakan ini memunculkan  perubahan kiblat intelektual dari Makkah ke Kairo. Para ulama reformis tersebut merespons dan memodernisasi pusat-pusat pengajaran Islam di pesantren-pesantren tanah air. Salah satu buah reformasi islam ini adalah kelahiran Muhammadiyah pada tahun 1912 oleh Ahmad Dahlan. Adapun tokoh ulama tradisionalis yang tetap mempertahankan ideologinya adalah Wahab Hasbullah yang dengan restu ulama sepuh Hasyim Asy’ari, mendirikan Nahdatul Ulama (NU) di tahun 1926.

Keterlibatan ulama di dalam politik praktis merupakan cara lain untuk menegaskan keberadaan mereka di era pasca-kolonial. Mereka mulai menggunakan peranan dalam beberapa posisi strategis di pemerintahan, seperti Kementrian Agama, sebagai pelindung konstituennya. Pada zamannya, cara ini menuai suara kritis dari tokoh-tokoh muslim baru yang menamakan diri, “intelektual Muslim.” HMI adalah salah satu bentukan organisasi yang mewakili kelompok ini.

Ulama dan kekuasaan dalam babad perpolitikan Republik semakin riuh di tahun politik ini. Perbedaan ijtihad politik para ulama membuat masyarakat kebingungan. Tak jelas lagi mana yang merupakan batas antara misi kemaslahatan umat dan ambisi pribadi dan golongan untuk berkuasa. Ulama memberikan fatwa untuk memilih pihak A ataupun pihak B. Adapula ulama yang terang-terangan menyerukan bahwa sikap politiknya adalah golongan putih (golput) atau tidak percaya pada Negara.

Bagi saya, semua sikap itu tidak pada tempatnya. Ulama sebagai pewaris para nabi (waratsat al anbiya’) mestinya menjalankan tugas-tugas profetik amar ma’ruf nahi munkar. Kita tentu lebih mengharapkan ulama yang dapat mengambil sikap moderat. Moderat yang saya maksud adalah mereka yang cukup memosisikan diri sebagaimana mestinya, yakni memberi pencerahan kepada umat melalui pengetahuan yang komprehensif tentang perspektif kaidah memilih pemimpin serta meredam fenomena sentimen simpatisan politik yang marak dan semakin bergejolak akhir-akhir ini.

Dalam islam, hakikat penciptaan manusia tercantum dalam Q.S Al Baqoroh (2: 30) bahwa manusia terlahir untuk menjadi pemimpin. Berdasar ayat itu, umat mestinya sadar tentang persamaan manusia dalam tanggung jawab mencari ilmu dalam upaya pencapaian kemandirian berpikir.

Walaupun bukan satu-satunya tolok ukur kebenaran, nilai-nilai kemanusiaan adalah sisi sangat penting dalam ajaran tauhid. Dalam buku Kuliah Tauhid, Muhammad Imaduddin Abdulrahim (1993) menyatakan bahwa nilai kemanusiaan yang paling utama ialah kemerdekaan. Proses pergaulan yang tidak seimbang adalah sejarah munculnya kultur tindas menindas, hisap menghisap, peras memeras dengan segala taktik dan tehnik yang bersangkutan dengan itu. Semua sikap tersebut merupakan bentuk-bentuk dari proses memberi-dan-menerima yang tak seimbang.

Munculnya kelas-kelas dan tingkat-tingkat kebangsawanan di dalam masyarakat manusia pada awalnya disebabkan oleh mengalahnya kemanusiaan terhadap orang yang suka menganggap dirinya lebih baik dan lebih mulia dari yang lain, sebagaimana dijelaskan di atas. Ulama yang merasa berhak atas kemerdekaan manusia lain, termasuk dalam pilihan politiknya, dapat diduga bahwa dirinya merasa lebih baik dari masyarakat biasa.

Kemerdekaanlah satu-satunya nilai yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Tanpa kemerdekaan manusia tidak mungkin dapat menjalani hidupnya sebagai manusia. Oleh karena itu, harga diri setiap manusia justru diukur dengan derajat kemerdekaan yang bisa dihayati dan dipertahankan manusia itu, untuk selanjutnya memanifestasi dalam berbagai amal kebaikan untuk menjadi khalifah fil ardh atau wakil Tuhan di bumi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar