Kamis, 15 Mei 2014

Senja Bersama Kamu

Pada suatu siang kau mengirimkan sebuah pesan di ponselku. 
“Bersiaplah. Pukul 16.00 tepat kita akan berangkat ke suatu tempat.”
Aku bersungut. Kau memang selalu penuh dengan kejutan, sekaligus termasuk banyak hal yang sulit aku kabulkan ketika aku sedang malas.
“Kemana?”
Aku diam-diam segera berjingkat dari kasur kos dan meraih handuk serta peralatan mandiku. Aku tahu, kau akan memberikan satu kisah lagi hari ini. Kisah kita, yang mungkin menjadi satu-satunya hal yang tidak berubah menyedihkan ketika kita menjadi tua nanti.
Pukul 16.00. Kau datang tepat waktu seperti biasanya. Tadi kau bilang pada pesan balasanmu bahwa kita akan pergi ke suatu tempat yang tak kan membuatku menyesal melewatkan hari ini.
“Tenang saja. Tempatnya dekat.”
“Berapa lama?” tiba-tiba aku risau. Kelakuanmu sering kali berbahaya.
“7 menit.”
Otakku mulai berputar-putar mengingat tempat-tempat mana yang mungkin akan kita kunjungi sore ini. Sepertinya tidak ada tempat special di sekitar kos, kampus atau sanggar seni yang menarik untuk ditempuh dalam waktu 7 menit. Kalau sekedar melihat kereta melintas di rel yang terbangun diatas sungai bengawan solo, bukankah itu sangat biasa kita lakukan? Oh, bahkan kebiasaan kita yang inipun sangat aneh dan tidak wajar. Belakangan, suara kereta yang berderu itu selalu membawa kita untuk mengingat rumusan matematika yang kerap membuat manusia menjadi terburu-buru : jarak, keberangkatan, kecepatan, perjumpaan dan perpisahan.
Kau membawa motormu pelan-pelan. Aku tidak asing dengan padatnya jalanan yang kau belah. Hingga kemudian berbelok pada jalan-jalan pedesaan yang belum pernah aku jamah, padahal kurang lima menit saja jaraknya dari kosan. Keberanian manusia memang jarang terlatih ketika telah menemukan jalur-jalur aman, seperti contohnya aku yang tak pernah ingin menemukan tempat kemana kau bawa aku saat ini.
Matahari mulai bergerak ke arah barat. Sebentar lagi senja. Sepertinya ini senja yang ke-berpuluh kali yang kulewati hanya denganmu saja. Sekali dua kali tanpa kau tahu, aku menjadi takut memiliki lebih banyak kenangan bersamamu daripada dengan suamiku nanti. Sial.
Kita berhenti pada sebuah buk tepi jalan pedesaan.Benar. Hanya 7 menit. Aku melihat sawah menghampar di sisi kanan dan kiri. Masih hijau benar. Para petani baru selesai bertanam. Sebagian tanah masih hitam karena belum selesai dibajak. Pada sawah sisi kiri, mataku merayapi gunung lawu yang nampak gagah. Dan pada sisi kanan, gunung merapi terlihat manis disebalik rimbun bukit. Tepat di bawah buk tempat kita duduk adalah selokan kecil beraliran air jernih yang membelah pematang. Kulitku agak basah dengan sisa hujan tadi siang yang meninggalkan jejak pada pucuk-pucuk daun pohon sirsak yang memayungi kita.
Kita bertatap sebentar. Mata kita saling mengucap terima kasih. Kemudian kau mulai bercerita bahwa sejak menjadi mahasiswa baru di kota ini kau seringkali mengejar senja di tempat ini. Apakah sendiri, bersama mantan kekasihmu, dan kembali sendiri dengan membawa luka-luka lama. Namun sore itu, aku bersamamu. Berdua saja.
“Gunungnya indah sekali. Mirip sekali dengan yang ada di lukisan. Aku sering bertanya mana yang hadir lebih dulu, apakah penciptaan dari mahakarya berupa ala mini ataukah lukisan yang indah sekali.”
“Tapi pastilah alam ini hadir lebih dahulu ya. Sebab Tuhan tidak pernah menyontek. Dan lukisan itu, dapat kusebut indah juga sebab memori tentang eksistensi alam yang lebih dahulu menjadi pengalaman dan pengetahuanku.”
Aku sibuk mengambil posisi terbaik untuk mengabadikan beberapa potongan cerita. Kubidik gambar gunung lawu dan merapi yang memiliki latar warna senja berbeda. Tak ketinggalan juga beberapa petani yang mulai memaknai kembali kaosnya setelah letih bertanam seharian. Aku membayangkan cinta yang menyambut mereka sesampainya di rumah nanti, tentang istri dan anak-anak yang merasakan rindu lengkap dengan menu makanan sederhana yang telah terhidang.
Sejak sore itu, aku menjadi lebih sering memandangi senja. Kadang aku iseng mencoba memberikan makna ini dan itu, mengamati tiap detail warnanya yang berubah-ubah mulai sejak kuning keemasan hingga menjadi abu-abu tua. Dan disela mega yang menghampar di luas cakrawala itu, ada ingatan tentangmu. Bukan, bukan tentang wajahmu. Apalagi senyummu. Tapi suaramu yang berisik ketika sedang bercerita.
Kau bilang kau khawatir bahwa suatu saat sore yang seperti ini tak akan pernah kita lihat lagi.
“Tiga tahun lalu pertama kali aku kesini, rumah-rumah itu belum ada. Hanya ada sawah yang sangat luas. Tapi sekarang, perumahan-perumahan baru semakin mencuri kesenangan sederhanaku ini.”
“Kesenangan murah maksudmu?”
“Ya. Kita jarang sadar bahwa yang murah itu sesungguhnya sangat indah dan mahal. Bentuk-bentuk awan itu setiap harinya tidak pernah ada yang sama. Tuhan memang Maha Besar.”
Kau terdiam sejenak sambil memandang kaki langit.
“Aku benci dengan budaya di Indonesia yang bilang seakan-akan kalau anak sudah berumah tangga itu wajib untuk membeli rumah baru. Kalau tidak sanggup beli rumah, dibilang tidak mampu. Padahal tidak ada teori yang berkata seperti itu. Akibatnya apa? Perumahan-perumahan baru semakin banyak. Masalahnya, rumah yang sudah terbangun nggak akan bisa kembali jadi sawah lagi.”
Aku mendengarkan dengan seksama. Era Industrialisasi memang merampas banyak hal yang bisa kita dapatkan secara gratis. Air, keakraban di tempat umum, apalagi hari ini yang bebas dari membayar? Hanya cinta. Itu juga tidak berlaku untuk cinta yang punya kekhawatiran tidak mampu hidup layak.
“Aku ingin punya anak yang cerdas.”
“Cerdas bagaimana?”
“Bayangkan jika suatu saat aku melarang anakkku untuk melakukan suatu hal dengan alasan hal tersebut berbahaya. Kemudian dia bisa menjawab : itukan menurut ayah? Kemudian kami berdeat kecil untuk menyimpulkan apakah hal itu boleh dilakukan atau tidak. Menyenangkan sekali punya anak yang cerdas seperti itu.”
“Itu cerdas atau bandel namanya?” Alisku berkerut-kerut sambil membayangkan ada seorang anak laki-laki kecil seperti dirimu yang sedang bermain layang-layang di hamparan sawah di depanku.
“Cerdas. Tapi aku butuh calon ibu yang cerdas juga biar cita-citaku itu berhasil.”
Mengenalmu, aku menjadi yakin bahwa persahabatan adalah hubungan paling megah yang bisa dibangun antar sesama manusia. Tidak sekalipun pernikahan ataupun hubungan antara sepasang kekasih bahkan bisa menandinginya. Tapi, oh, lagi-lagi kau pasti akan menyela.
“Tidak,” Katamu, “Sebab semua yang memberikan sebagian dirinya dengan cinta, sudah pasti menjadi luhur.”
Aku mengangguk bersepakat. Entah yang keberapa kalinya. Setiap kata-katamu memang manis.
Hari mulai gelap. Matahari tertutup sabut awan kelabu. Seperti biasanya, kita sudah terlalu banyak ngelindur hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar