Kamis, 29 Mei 2014

Kesaksian!



Orang-orang harus dibangunkan/ Aku bernyanyi menjadi saksi/ Kenyataan harus dikabarkan/ Aku bernyanyi menjadi saksi. 

Sayup-sayup terdengar suara getir Iwan Fals yang menyanyikan lagu “Kesaksian”. Perkawinan musik dan syair puisi WS Rendra yang menghasilkan karya masyhur yang termuat dalam album Kantata Takwa (1990) tersebut membangunkan rasa gusar di hati. Pada akhirnya, saya lelah melihat beragam nilai kebenaran yang ditelan habis oleh kotak bodoh bernama televisi. Semua simbol agung yang terwakili oleh akademisi, intelektual, golongan terpelajar yang memakai almamater institusi keilmuan, kaum agamawan, seniman dan budayawan, semua bercericit riang dalam format acara bernuansa hiburan dan komedi. 

Hari ini, nampaknya memperbincangkan kebenaran bukan lagi dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Perihal keadilan boleh diperbincangkan berseling dengan canda tanpa makna dan irama musik mainstream. Ihwal gagasan kebangsaan boleh diwakilkan tanggungjawabnya oleh selebriti dan komedian, kita jamak melihat mereka berpendapat tentang apa saja, tanpa menghadirkan solusi dalam program infotainment. Calon Presiden hadir menyetor senyum penuh pamrih pada acara ajang hiburan pencarian bakat bernuansa bisnis komoditi kapitalisme. Oh, tentu kita tak boleh mengharap ia akan menyampaikan sebuah platform ideologis-kultural-kebangsaan dan menyuarakan hak-hak rakyat diatas panggung gemerlap. Sang Jendral hadir beberapa detik ikut menyerahkan hadiah kepada pemenang, menghadirkan citra ramah dan gagah lewat senyum dan lambaian tangan. Presiden kita, telah kita ketahui lebih dahulu menelurkan album tembang-tembang gubahannya sendiri. 

Kita bukan bangsa yang murung. Bohong jika ada yang berdendang ibu pertiwi sedang bersusah hatinya. Kita bangsa yang kelebihan hiburan. Setiap hari kita bahkan diberi komando untuk menari secara massal diiringi lagu dangdut yang seakan tidak ada kata basi untuk ditayangkan pada waktu prime time. Tak perlu risau, saya sendiri sudah kehilangan nalar kritis untuk memahami habitus apa yang sedang dicita-citakan oleh para pekerja kreatif yang ada disebalik media televisi.

Pelan-pelan kita diarahkan untuk menjadi generasi tuna pikir. Penjajahan fisik memang telah lama berakhir, tapi penjajahan non-fisik terus dilanggengkan. Orde baru boleh jadi membungkam mulut kita, namun di abad pemikiran, justru nalar pikir kita yang terbungkam. Kebohongan-kebohongan lancar mengalir di jalan raya mulut kaum-kaum intelektual yang kerap tampil untuk berdebat di layar kaca. Isu ketidakadilan hukum, pelanggaran Hak Asasi Manusia dan pelanggaran hak-hak rakyat lebih baik ditenggelamkan atau dapat diputarbalikkan sesuai keinginan. Urusan pembentukan opini publik, tinggal “wani piro” sajalah, bro!

Negara ini telah merdeka dan berdaulat sejak dibacakannya proklamasi atas nama bangsa Indonesia oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945, katanya. Namun, kita dipaksa untuk lupa bahwa hari ini fakta keadilan dan kebenaran tidak pernah lebih tinggi dari keinginan para politisi, raja-raja dan tentara. Ibarat bangunan, dari dalam rumahnya, polemik ekonomi, hukum, sosial, budaya, agama dan pendidikan hanya sebatas make up di negeri pesolek. Semua urusan itu tak harus diperbincangkan dengan serius bersama ahlinya, tak mesti diperjuangkan untuk mencapai tujuan bernegara. Oleh karena itu, sah-sah saja jika kursi parlemen diduduki oleh wajah-wajah selebriti. Kita hanya butuh bersolek dan melakukan politisasi!

Sementara di luar bangunannya, para penguasa sibuk mencari cara untuk menakut-nakuti rakyatnya. Rakyat yang merupakan pemilik sah negeri ini. Kita tak bisa lupa bahwa negeri ini berdiri diatas darah para aktivis yang bahkan hingga hari ini tak dapat kita temukan pusaranya sebab dibungkam oleh doktrin fasisme. Penguasa berotak penculik dan pembunuh itu melupakan satu hal, bahwa ketakutan yang terus menerus disuguhkan lama-lama akan menimbulkan kebosanan. Rakyat telah bangun untuk melawan, rakyat telah menebar biji-biji di temboknya dan berteriak : Kau harus hancur! Kau harus hancur! Demikian Wiji Thukul memekik dalam sajak Bunga dan Tembok (1994).

WS Rendra memang telah mati. Presiden SBY tak kenal siapa Rendra. Ia menyampaikan duka belasungkawa pada kematian selebriti tapi tak berkata apa-apa untuk kematian Rendra. Tapi demi Sang Burung Camar yang telah berada di surgaNya, pesannya sebelum mati senantiasa terhujam dalam dada, yakni agar kita semua terus menjadi saksi… 

Hari ini, kami menjadi saksi atas elite tamak yang terus memperdalam neoliberalisme, undang-undang ketenagakerjaan yang memasung buruh dan hak-hak pribadinya, privatisasi dan bisnis pertanian yang mengangkangi kepentingan petani skala kecil dan buruh tuna-tanah, miliaran dolar yang dipindahkan ke bank-bank internasional, serta penghisapan sumber daya alam nasional yang menistakan posisi masyarakat adat… kami berikan kesaksian!

Orang-orang harus dibangunkan. Rakyat Indonesia belum merdeka, para founding fathers hanya sempat mengantar hingga pintu gerbangnya . Soekarno (1963) selalu berpesan bahwa Revolusi Indonesia belum selesai.  Perjuangan melawan bangsa sendiri lebih sulit dari melawan penjajah. Kita tak ingin negara kita hanya menjadi peta, apalagi peta yang lusuh dan tinggal disobek pula. Nasionalisme bergerak harus segera dibangkitkan, revolusi mental harus didukung. Kita butuh memaknai kembali Pancasila agar tidak saling berebut merumuskan cita-cita dalam tenun kemajemukan bangsa.

Orang-orang harus dibangunkan. Tak pernah ada Negara yang utuh tanpa rakyat yang dimanusiakan. Kekuasaan borjuasi oleh kelas priyayi buah perkawinan budaya kolonialisme dan feodalisme mesti dicerabut hingga akarnya, diganti dengan kesadaran demokrasi yang sesungguhnya. Ritus sosial media hanyalah panggilan perjuangan untuk segenap lapisan. Aksi massa yang sesungguhnya butuh agitasi, orasi dan propaganda di dunia nyata. Lapis kekuatan sosial yang memperjuangkan rakyat tak akan selesai dengan reply dan retweet.

Orang-orang harus dibangunkan, Segala hajatan yang berkaitan dengan nasib rakyat seperti agenda memilih pemimpin mestinya merupakan pergelaran basis ideologis yang menawarkan agenda pencerdasan hingga rakyat turut merasa optimis. Kontestasi bermartabat bukan sekadar lolongan saling fitnah, namun mengemukakan strategi ideologis untuk memuliakan rakyat demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan.

Kami akan terus menjadi saksi…

Ps : Terimakasih buat yang sudah mengenalkan album Kantata Takwa ke saya :D :D




Tidak ada komentar:

Posting Komentar