Kita, manusia
yang berpijak, mengambil manfaat dan menjalani kehidupan di atas tanah
Indonesia ini telah sama-sama menginsafi diri untuk berkhidmat sebagai bangsa yang
satu sejak dibacakannya teks Proklamasi 1945. Adapun Negara, kemudian kita
sepakati sebagai sebuah institusi yang didalamnya kita berjuang bersama untuk
mewujudkan cita-cita kemerdekaan sebagaimana tersebut dalam naskah pembukaan
UUD 1945.
Di dalam
institusi ini kita memercayakan tugas-tugas kenegaraan kepada para wakil rakyat
yang duduk di lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Kita juga
mengangkat seorang pemimpin dan wakilnya yang kita sebut sebagai Presiden dan
Wakil Presiden. Namun bagaimanapun¸ kita tetap bersepakat bahwa kedaulatan
adalah di tangan rakyat. Apa yang baik bagi rakyat, baik itu sistem
pendididikan, sumber daya alam untuk pemenuhan hajat hidup serta kebutuhan
untuk berserikat dan berkumpul adalah sesuatu yang sedang kita usahakan sejak
dahulu hingga selama-lamanya waktu yang dikaruniakan Tuhan YME untuk menjaga
Republik kita tercinta.
Lalu bagaimana
pola hubungan yang nyata terjadi antara rakyat, pemimpin dan Negara? Sistem hubung
apa yang dibangun agar terbentuk rakyat yang merupakan simbol dari sebuah lapis
kekuatan sosial yang juga menjalankan sebuah sistem Pemerintahan di luar
kesadarannya? Lewat apa dan bagaimana landasannya? Bagaimana kekuatan rakyat
pernah benar menjadi padu dalam satu komando kepemimpinan?
Ferdinand de
Saussure sebagai bapak bahasa strukturalis pernah memperkenalkan konsep langue dan parole, dimana langue
mewakili kaidah suatu bahasa dan parole
mewakili praktik bahasa dalam sebuah masyarakat bahasa. Ia membantah pendapat
Derrida dengan mengutarakan pendapat bahwa bahasa lisan tetap lebih utama dari
bahasa tulis yang selama itu dianggap lebih memiliki prestise. Bahasa lisan bagi Saussure adalah objek kajian utama
linguistik karena lebih dekat kepada petanda (signified).
Di depan
corong radio di Surabaya pada 10 November 1945 pernah terdengar pekik takbir
yang menggema di udara dari seorang Sutomo atau lebih dikenal dengan Bung Tomo.
Seruan “Merdeka atau Mati” berhasil
membakar kembali perjuangan rakyat Surabaya di tengah ancaman Inggris dan NICA
Belanda. Berkat pidato, rakyat Surabaya tidak takluk untuk menyerahkan senjata
dan tidak datang pada Inggris dengan membawa bendera putih sebagai tanda penyerahan diri. Kata-kata dalam pidato Bung
Tomo menjadi semacam kekuatan yang memberi keyakinan pada rakyat bahwa mati
demi memperjuangkan kemerdekaan adalah lebih baik daripada menyerah kepada
bangsa penjajah.
Kemasyhuran Soekarno
dalam berpidato bukan cerita baru bagi bangsa ini. Manakala Bapak bangsa itu
lantang berkata-kata, lautan manusia hening dan khidmat, hanyut dalam sebuah decak
kagum. Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia disebut bahwa
Soekarno pidato di depan publik HBS pertama kali pada usia 16 tahun untuk
membahas buah-buah pikiran dan cita-cita. Kelak ketika ia melanjutkan studi ke Technische Hoogeschool te Bandoeng,
Bandung dan Jakarta menjadi saksi dimana si Singa Podium ini dapat menggerakkan
rakyat untuk mendengar propaganda perlawanannya hingga Belanda pun kewalahan
dan berkali-kali ia dicekal karena dianggap berbahaya.
Di era orde
lama, tokoh-tokoh Masyumi mashyur berpidato dalam debat Dewan Konstituante pada
tahun 1958. Debat mengenai dasar Negara menjadi catatan sejarah yang tidak
boleh dilupakan begitu saja. Asas Islam, Asas Komunis dan Pancasila pernah
menjadi sebuah konsepsi yang bertarung dalam sebuah mimbar panas namun penuh
kesantunan berlandas keyakinan dan gagasan-gagasan ilmiah. Ujung sidang penuh
ketegangan itu akhirnya mendorong Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang
berbunyi: Kembali pada UUD 1945, Demokrasi Terpimpin dan Pembubaran Dewan
Konstituante.
Begitulah, pada
masa perjuangan, kata tidak hanya menjadi sebuah petanda yang mewakili reference namun juga kuasa untuk
menggerakkan orang lain. Hari ini, ketika semua orang mengagungkan kata
demokrasi, berebut bangga karena keran informasi terbuka dari dan untuk siapa
saja, namun kata-kata kehilangan makna dan kuasa.
Pidato
Presiden SBY pada tiap peringatan ulang tahun kemerdekaan Republik selama 10
tahun tidak tercatat sebagai sesuatu yang penting bagi rakyat. Rakyat sibuk dengan
urusan masing-masing, berpikir tentang biaya hidup dan pendidikan anak yang
semakin mahal tanpa merasa butuh mendengar apa yang dipetuahkan oleh SBY. Kata
SBY tak berkuasa untuk mengubah kehendak maupun nasib rakyat. Pula, lagu-lagu
karya SBY yang digubah lewat kata-kata tidak memiliki daya jika harus bersaing
dengan lagu-lagu dangdut yang dipromosikan lewat aneka goyangan selebritis di televisi.
Belum lama
ini, Republik mencatat sebuah gelombang massa yang bangkit demi memenangkan
seorang Presiden terpilih, Jokowi. Dalam konser dua jari itu Jokowi membacakan
maklumat bertajuk “Revolusi Mental”, dimana Jokowi mengajak rakyat untuk
membulatkan tekad, menyatukan hati dan bekerja keras sebagai tanggung jawab
untuk melakukan perubahan demi kebaikan Indonesia. Puluhan ribu pendukung
mendengarkan sambil mengacungkan simbol dua jari ke atas berbentuk huruf V. Kita
boleh memiliki harapan, semoga rakyat datang karena ingin melihat pemimpin dari
dekat dan mendengar pidato Jokowi, bukan hanya lantaran hiburan dari
artis-artis Ibukota yang turut memeriahkan acara.
Kata-kata juga
dapat menjadi bedak yang memoles wajah penguasa. Yasraf Amir Piliang
memunculkan istilah politik kosmetika untuk menanggapi situasi yang berkembang
dalam riuh konstelasi politik tahun ini. Politik ideologi yang merupakan
pertarungan antara ide, gagasan, keyakinan dan makna, hari ini dikalahkan oleh
politik kosmetika yang mengedepankan penampakan dan citra semata-mata.
Demikian, kata-kata
dalam sebuah pertarungan politik dibeli dengan harga yang mahal dari ahli
komunikasi sebuah lembaga konsultasi politik. Banyak lembaga konsultasi politik
yang menaikkan harga hanya untuk memenuhi ambisi para penguasa untuk berkuasa.
Tapi kata-kata yang mahal itu sesungguhnya rapuh dan tidak memiliki kekuatan
yang menggerakkan daya dan jiwa rakyat. Bung Tomo, Sukarno, dan Para tokoh yang
kita kenang karena orasinya yang menggetarkan itu telah mati. Zaman politik
kosmetik ini, rakyat tidak bergerak ke Lapangan Banteng sebab seruan kata-kata
pemimpin, rakyat bergerak karena nasi bungkus dan lembar ribuan. Kata-kata
menguap bersama angin dan polusi udara di Ibu Kota, lalu hilang entah kemana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar