Ihwal patokan
moral dan kebenaran di negeri ini memang tak jelas tolok ukurnya. Para founding fathers Republik menempatkan
sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama pada Pancasila, yang tidak
lain adalah falsafah hidup bangsa. Sila tersebut secara tidak langsung
menitipkan amanat bahwa warga Negara Indonesia mesti menempatkan sifat-sifat
Ketuhanan sebagai identitas kebangsaan. Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 dan kolom
agama dalam KTP yang sedang ramai diperbincangkan adalah sebuah seruan bahwa
warga Negara Indonesia tanpa terkecuali wajib memeluk agama tertentu yang sah
dan diakui di Indonesia.
Identitas sebagai
warga Negara yang beragama, lucunya, tidak begitu saja membuat seseorang
mengerti akan agama yang dipeluknya. Ketidakmengertian inilah yang membuat
banyak standar moral atau kebenaran menjadi bias. Islam, sebagai agama yang
paling jamak dipeluk di negeri ini, misalnya, tidak menjamin bahwa semua muslimnya
menjadi islami. Kadang saya merasa prihatin, bahwa untuk hal-hal yang remeh
saja banyak umat islam yang tidak bisa menyelesaikan persoalan –yang dianggap
berhubungan dengan agama- secara mandiri.
Bapak saya
adalah seorang kyai kampung yang kerapkali didatangi masyarakat yang bertanya
tentang banyak hal yang menurut saya menggelikan. Mulai urusan syara’ hingga urusan hakikat yang kadang
susah untuk dijawab memakai bahasa yang sederhana. Padahal, tak semua persoalan
bisa dijawab oleh Bapak saya. Namun, masyarakat lebih puas dengan pernyataan, “manut kaliyan Pak Kyai” daripada
berusaha untuk mencari kebenaran sendiri.
Seperti kita
tahu, agama islam memang lekat dengan tokoh yang bergelar ulama. Ulama berasal
dari kata dasar ‘alim dalam bahasa
arab yang berarti orang yang berilmu atau ilmuwan. Ulama adalah tokoh yang
bertugas menyampaikan dakwah, nasehat ataupun kabar baik (apa saja) yang
mempermudah kehidupan manusia dengan berdasar firman-firman Tuhan yang tertulis
dalam kitab suci Al qur’an. Prof. Dr M. Quraish Shihab, ahli tafsir kontemporer
Indonesia menyatakan ulama adalah orang yang mempunyai ilmu pengetahuan tentang
ayat-ayat Allah SWT baik yang bersifat kauniyyah
(fenomena alam semesta dan kehidupan) maupun qawliyyah (mengenai kandungan Al-qur’an).
Di Indonesia, kata
ulama mengalami perubahan semantik yang serius, yakni sebatas juru dakwah agama
islam atau sering disebut dengan istilah “ustadz” atau khususnya di Jawa, jamak
disebut “kyai”. Pada musim politik,
ulama di Indonesia laris manis. Kunjungan tokoh politik kepada para pengasuh
pondok pesantren diliput oleh media massa. Pondok pesantren adalah basis massa
yang kuat yang sangat ta’dzim kepada ijtihad politik kyai/pengasuhnya.
Mendapat keberpihakan petinggi pondok pesantren artinya mendapat suara yang
dapat dihitung pasti secara kuantitatif.
Dalam buku Ulama
dan Kekuasaan, Jajat Burhanudin (2013) memberikan dokumentasi sejarah yang
sangat menarik tentang perkembangan dunia islam ulama di Indonesia. Setelah
melalui zaman kerajaan, era kolonial dan kemudian tumbuh gerakan para ulama
anti-kolonialisme yang disebabkan oleh gerakan politik etis, muncul gerakan
reformisme Islam. Gerakan ini memunculkan
perubahan kiblat intelektual dari Makkah ke Kairo. Para ulama reformis
tersebut merespons dan memodernisasi pusat-pusat pengajaran Islam di
pesantren-pesantren tanah air. Salah satu buah reformasi islam ini adalah
kelahiran Muhammadiyah pada tahun 1912 oleh Ahmad Dahlan. Adapun tokoh ulama
tradisionalis yang tetap mempertahankan ideologinya adalah Wahab Hasbullah yang
dengan restu ulama sepuh Hasyim Asy’ari, mendirikan Nahdatul Ulama (NU) di
tahun 1926.
Keterlibatan
ulama di dalam politik praktis merupakan cara lain untuk menegaskan keberadaan
mereka di era pasca-kolonial. Mereka mulai menggunakan peranan dalam beberapa
posisi strategis di pemerintahan, seperti Kementrian Agama, sebagai pelindung
konstituennya. Pada zamannya, cara ini menuai suara kritis dari tokoh-tokoh
muslim baru yang menamakan diri, “intelektual Muslim.” HMI adalah salah satu bentukan
organisasi yang mewakili kelompok ini.
Ulama dan
kekuasaan dalam babad perpolitikan Republik semakin riuh di tahun politik ini.
Perbedaan ijtihad politik para ulama membuat masyarakat kebingungan. Tak jelas
lagi mana yang merupakan batas antara misi kemaslahatan umat dan ambisi pribadi
dan golongan untuk berkuasa. Ulama memberikan fatwa untuk memilih pihak A
ataupun pihak B. Adapula ulama yang terang-terangan menyerukan bahwa sikap
politiknya adalah golongan putih (golput) atau tidak percaya pada Negara.
Bagi saya, semua
sikap itu tidak pada tempatnya. Ulama sebagai pewaris para nabi (waratsat al anbiya’) mestinya
menjalankan tugas-tugas profetik amar ma’ruf nahi munkar. Kita tentu lebih
mengharapkan ulama yang dapat mengambil sikap moderat. Moderat yang saya maksud
adalah mereka yang cukup memosisikan diri sebagaimana mestinya, yakni memberi
pencerahan kepada umat melalui pengetahuan yang komprehensif tentang perspektif
kaidah memilih pemimpin serta meredam fenomena sentimen simpatisan politik yang
marak dan semakin bergejolak akhir-akhir ini.
Dalam islam,
hakikat penciptaan manusia tercantum dalam Q.S Al Baqoroh (2: 30) bahwa manusia
terlahir untuk menjadi pemimpin. Berdasar ayat itu, umat mestinya sadar tentang
persamaan manusia dalam tanggung jawab mencari ilmu dalam upaya pencapaian
kemandirian berpikir.
Walaupun bukan
satu-satunya tolok ukur kebenaran, nilai-nilai kemanusiaan adalah sisi sangat
penting dalam ajaran tauhid. Dalam buku Kuliah
Tauhid, Muhammad Imaduddin Abdulrahim (1993) menyatakan bahwa nilai
kemanusiaan yang paling utama ialah kemerdekaan. Proses pergaulan yang tidak
seimbang adalah sejarah munculnya kultur tindas menindas, hisap menghisap,
peras memeras dengan segala taktik dan tehnik yang bersangkutan dengan itu.
Semua sikap tersebut merupakan bentuk-bentuk dari proses memberi-dan-menerima
yang tak seimbang.
Munculnya
kelas-kelas dan tingkat-tingkat kebangsawanan di dalam masyarakat manusia pada
awalnya disebabkan oleh mengalahnya kemanusiaan terhadap orang yang suka
menganggap dirinya lebih baik dan lebih mulia dari yang lain, sebagaimana
dijelaskan di atas. Ulama yang merasa berhak atas kemerdekaan manusia lain,
termasuk dalam pilihan politiknya, dapat diduga bahwa dirinya merasa lebih baik
dari masyarakat biasa.
Kemerdekaanlah satu-satunya
nilai yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Tanpa kemerdekaan
manusia tidak mungkin dapat menjalani hidupnya sebagai manusia. Oleh karena
itu, harga diri setiap manusia justru diukur dengan derajat kemerdekaan yang
bisa dihayati dan dipertahankan manusia itu, untuk selanjutnya memanifestasi
dalam berbagai amal kebaikan untuk menjadi khalifah
fil ardh atau wakil Tuhan di bumi.