Pondasi perbaikan bangsa adalah perbaikan keluarga dan kunci perbaikan keluarga adalah perbaikan kaum wanitanya. Karena wanita adalah guru dunia, dialah yang menggoyang ayunan dengan tangan kanannya dan mengguncang dunia dengan tangan kirinya ( Hasan Al Banna)
Potret yang menggambarkan sosok wanita “beauty inside beauty outside” di negeri ini nampaknya masih jauh dari ideal walaupun konsep emansipasi dari R.A Kartini sudah dikenal lebih dari seabad lalu. Pasalnya, karakter yang tercitrakan dari banyak sinetron dan film di Indonesia adalah wanita sang tokoh utama dengan nasib yang kurang beruntung dengan hari- hari yang diliputi air mata. Si wanita dengan pasrah menerima takdir serta meratapi penderitaannya yang tiada henti sembari berkhayal datangnya si pangeran penolong yang diakhir kisah dipastikan akan menjadi jodohnya.
Jika dibandingkan dengan film- film bollywood misalnya, kisah- kisah yang mereka hadirkan jelas lebih berkarakter. Dalam film bollywood, jika ada tokoh anak laki- laki yang jahat, kriminalis atau kerapkali mengganggu lingkungan pasti mereka tetap tunduk dan sayang pada ibu mereka. Ya, karakter film bollywood adalah menempatkan perempuan pada strata tertinggi yang dihormati. Berbeda dengan film- film dalam negeri yang seringkali menokohkan ibu sebagai pribadi lemah, bodoh dan bebas dihujani sumpah serapah bahkan siksaan fisik.
Padahal, jika menilik kutipan dari Hasan Al Banna diatas, konsep diri dari wanita jelas luar biasa. Perumpamaan “menggoyang ayunan dengan tangan kanannya dan mengguncang dunia dengan tangan kirinya” berarti wanita memiliki kekuatan ganda yang bahkan tidak dimiliki kaum lelaki. Wanita dengan penuh kasih tetap melakoni kodratnya sebagai calon ibu. Di sisi lain, juga harus tetap cerdas, kritis, independen dan menjadi pembelajar sejati agar dapat mengguncang dunia dengan pemikiran yang revolusioner.
Sayangnya, wanita- wanita lemah seperti yang ditokohkan diatas juga benar adanya di dunia nyata. Tingkat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kasus kekerasan terhadap istri di Indonesia masih tinggi. Demikian kesimpulan dari catatan tahunan kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2010 yang dikeluarkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Selain karena paradigma publik yang sudah terpengaruh dampak media seperti sinetron dan film, sosiologi budaya dan masyarakat memberikan sumbangsih besar dalam pembentukan konsep diri wanita. Di Jawa sendiri misalnya, istilah 3 M “masak, macak, manak” yang menyimbolkan bahwa tugas wanita hanya terdiri dari tiga hal yaitu memasak, berdandan dan melahirkan keturunannya terlampau melekat erat terutama dalam kehidupan di sudut- sudut daerah.
Penulis sendiri bukannya tidak setuju dengan tautan diatas, namun alangkah lebih baik jika kita mampu memberikan makna yang lebih mendalam. Wanita idealnya memang berada dalam koridor ibu rumah tangga yang wajib pandai memasak dan berdandan untuk suami, namum kaitannya dengan manak, ia juga merangkap peran sebagai ibu yang berkewajiban tidak sekedar menyusui. Lebih dari itu, pesan moral dari manak saya pahami sebagai kewajiban sang ibu dalam memberikan pendidikan mulai dari ayunan hingga kelak sang anak menemukan jalan hidupnya sendiri. Peran sebagai guru primer inilah yang menyebabkan mengapa pendidikan kewanitaan menjadi penting.
Kartini, pahlawan emansipasi wanita mendirikan sekolah wanita atas keprihatinannya terhadap wanita- wanita pribumi yang susah mendapat pendidikan formal. Namun, sekolah yang dibangun Ibunda Kartini hanya berkisar pada tataran kognitif dan belum mampu membangun karakter positif sebagai bekal wanita ideal. Konsep Woman’s school yang penulis tawarkan adalah buah dari ketertarikan penulis menilik konsep wajib militer di Korea Selatan yang diwajibkan bagi kaum pria selama dua tahun dengan batas tempuh pendidikan maksimal usia 30 tahun. Kondisi negara yang rawan konflik merupakan cikal bakal diselenggarakannya wajib militer tersebut. Hal yang diharapkan adalah sewaktu- waktu apabila negara dalam keadaan gawat, posisi lelaki sebagai kepala keluarga minimal dapat menjadi pemimpin yang mengarahkan mulai dari komunitas paling kecil yaitu keluarga ataupun dirinya sendiri.
Konsep 3 good
Woman’s school yang berarti sekolah wanita gagasan penulis memiliki dasar konsep 3 good yang terdiri dari Good wife, good mother, dan good agent. Woman’s school memiliki konsep berbasis komunitas, tujuannya adalah untuk mewadahi latar belakang serta karakter yang beragam.
Implementasi konsep good wife berarti woman’s school mengajar bagaimana peran wanita seharusnya kelak dalam menjadi seorang istri. Ketua Komisi Pemantauan Komnas Perempuan, Arimbi Heroepoetri menyatakan bahwa penyebab terus meningkatnya tingkat kekerasan terhadap perempuan diantaranya disebabkan adanya relasi kuasa yang timpang antara perempuan dan laki-laki serta perangkat hukum yang ada belum maksimal melindungi perempuan dari kekerasan. Selain itu, para pejabat publik juga belum memiliki perspektif gender yang baik.
Oleh karenanya, konsep good wife akan diimplementasikan dengan pendekatan individu maupun pendekatan sosial. Pendekatan individu penting menilik perannya untuk memberikan pemahaman agama tentang kewajiban- kewajiban wanita terhadap suami. Nilai- nilai agama terutama agama islam adalah pendidikan terbaik sebagai media pembelajaran bagaimana seharusnya menjadi istri yang tidak hanya cantik dalam mengurus pekerjaan rumah tangga tetapi juga cantik dan bersinar di mata suami secara fisik. Oleh karenanya, di dalam kurikulum juga diajarkan bagaimana berdandan dengan cantik oleh komunitas ibu yang paham tentang rias dan kosmetik.
Konsep good mother mengajarkan bagaimana seorang wanita menjadi seorang ibu yang baik, termasuk di dalamnya menjadi sosok pendidik profesional bagi anak- anaknya. Bimbingan belajar sebaiknya tidak hanya diberikan kepada si anak namun kepada ibunya. Menjamurnya jasa bimbingan belajar anak usia sekolah dimanfaatkan oleh para orang tua sebagai media untuk mendidik putra-putri dengan alasan bahwa mereka tidak mampu mengikuti perkembangan pendidikan putra-putri yang semakin pesat. Dorongan kepada ibu untuk mengawasi pendidikan putra-putri setidaknya dengan mengambil langkah pengawasan ulangan harian anak, jadwal mata pelajaran, bahkan turut serta mengamati perkembangan kurikulum pendidikan anaknya perlu ditingkatkan.
Terakhir tetapi juga konsep paling penting yakni konsep good agent yang mengajarkan bagaimana kaum perempuan harus menjadi agen utama dalam memperjuangkan cita- citanya sendiri. Secara konseptual seorang suami adalah kepala keluarga yang memiliki tugas mencari nafkah dan sebagai pengambil keputusan dalam setiap kesepakatan yang terjadi dalam keluarga. Serta tugas yang melekat dalam peran sebagai istri adalah sebagai pengurus rumah tangga yang diharuskan memiliki kuantitas waktu yang banyak untuk menjaga keutuhan keluarganya. Dalam perannya untuk ‘macak, masak, manak’ seorang wanita tidak diidentikkan dengan pencapaian cita-citanya sendiri. Penanaman ideologi mengenai pentingnya wanita yang memiliki pondasi cita-cita terhadap dirinya sendiri untuk menjadi wanita yang tangguh, memiliki kelebihan tersendiri yang dianggap spesial selain sebagai istri yang hanya bisa dandan, memberikan suguhan makan untuk keluarga serta merawat anak-anaknya saja.
Melalui basis komunitas, implementasi konsep good agent akan menjadi lebih mudah dan efektif untuk memberdayakan para ibu yang memiliki pekerjaan tetap maupun generasi muda dan para ibu yang belum produktif. Misalnya, komunitas wanita yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang akan belajar bagaimana memberikan inovasi pada usaha yang telah dirintisnya. Generasi putri yang memiliki hobi menulis misalnya dapat belajar bersama komunitas penulis. Demikian pula golongan yang belum produktif dapat memperoleh pendidikan tentang pengembangan industri kreatif skala mikro, misalnya.
Woman’s School
Dalam konsep sekolah wanita ini perlu adanya pendekatan lewat kader-kader yang dianggap mampu untuk menyalurkan pendidikan karakter kepada para ibu. Sayangnya, di Indonesia tidak ada badan yang memiliki kekhususan dalam program pengembangan karakter wanita. Jika ada Lembaga Swadaya Masyarakat yang kadangkala peduli terhadap pendidikan perempuan mungkin kurikulum yang diberikan belum terintegrasi dengan baik sehingga memerlukan adanya revitalisasi.
Untuk itu penulis menggagaskan ide untuk pengadaan wajib terdidik kepada para wanita. Dalam implementasi yang nyata, cara pandang pikir masyarakat tergantung dari cara pandang idolanya seperti yang telah dijabarkan penulis di paragraf awal penulisan. Memanfaatkan keberadaan ibu-ibu PKK di desa atau dukuh setempat ataupun tokoh masyarakat setempat sebagai kader-kader yang akan berpengaruh pada perubahan di desanya sendiri. Melalui kader-kader yang notabene lebih dekat kepada masyarakat, selain itu pendekatan mereka sebagai orang-orang yang diidolakan oleh masyarakat dan memiliki pengaruh terhadap cara pandang masyarakat diharapkan akan mampu membentuk konsep 3 good melekat pada ibu-ibu di masyarakat tanpa mengesampingkan peran kuat seorang suami dalam sebuah keluarga.
Kita semua menyadari bahwa peran wanita dalam sejarah masa lalu telah banyak berbicara tentang kehidupan yang seimbang, kemerdekaan bahkan kesuksesan tokoh- tokoh besar di dunia ini. Maka selayaknya konsep pendidikan tentang pengembangan karakter wanita ideal patut menjadi pertimbangan. Wanita yang memiliki tiga pondasi bagaimana menjadi good wife, good mother dan good agent dapat menjadi jawaban konkret atas misteri “beauty inside, beauty outside”.