Dunia maya
memang ibarat belantara asing. Luas, namun tanpa arah. Pekan ini, ramai
diberitakan ihwal penangkapan administrator akun Twitter @TM2000 oleh Penyidik
Subdit Cyber Crime, Direktorat
Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. RN disinyalir melakukan tindakan
pemerasan terhadap salah satu petinggi PT. Telkom, berinisial AS. RN juga diduga
sebagai aktor interlektual di balik penyerangan akun twitter tersebut. Jamak
kita ketahui, sebelum berganti nama menjadi @TM2000, akun ini bernama
@TrioMacan2000. Akun yang mahsyur karena sering memberi kritik politik pedas
pada para politikus Indonesia ini juga sempat membuat heboh lini massa ketika sempat
memunculkan isu perselingkuhan Inggrid Kansil, istri mantan Menteri Koperasi
dan Usaha Kecil Menengah, Syarief Hasan dengan Ryan Syarif (CNNIndonesia, 2014).
Kasus diatas
hanyalah satu dari ratusan atau lebih kasus yang menjamur di dunia maya baik di
dalam maupun di luar kendali tim penyidik. Pekan ini, jagad dunia maya juga
digemparkan oleh kasus MA yang menghina Presiden Jokowi lewat fitur gambar.
Selain itu, kita telah kenyang dan kritis pada banyak akun juga situs-situs
yang terkenal melakukan aksi propaganda ke masyarakat maya dengan menyebarkan
fitnah atau kebencian.
Dunia dalam
jejaring (daring) dipenuhi oleh manusia-manusia yang mengerti teknologi
digital, namun sebagai manusia mereka tentu memiliki motif yang berbeda-beda.
Dunia bayang-bayang ini tidak hanya berisi manusia berpengetahuan yang
menyebarkan kebaikan, namun juga jenis manusia yang tidak bertanggung jawab.
Motif bisnis, politik, sosial, budaya bahkan sekadar iseng-iseng
berjalin-kelindan menjadi satu. Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang
menunjukan kesetiaannya terhadap moralitas, namun dalam dunia digital ia adalah
manusia ingkar. Sebaliknya, di alam nyata ia adalah sejenis manusia yang tidak
patuh terhadap moralitas, namun di dunia maya ia memoles kepribadiannya
tersebut melalui citra virtual.
Saya
ingin menarasikan sebuah paradoks, atau mungkin layak juga disebut ironi.
Begini. Setiap hari saya
menulis berita. Berita saya mengandung 5W+1H layaknya hardnews, saya unggah di laman dotcom dan dibaca oleh minimal
ribuan pembaca tiap harinya. Apakah saya seorang jurnalis? Bukan. Saya hanya
seorang kepepet yang kadang butuh uang untuk makan dan membeli buku. Saya
adalah kacung dari tuan dotcom (pemilik ratusan domain dotcom) yang dikelola
untuk menjadi lahan subur bagi dollar.
Saya tidak melakukan kerja-kerja
jurnalistik. Dalam menghasilkan berita, jika kebetulan saya sedang senggang,
maka berita akan saya sunting dan verifikasi berdasar teknik perbandingan
sumber berita mayoritas. Tapi jika saya sedang sibuk --jika tidak layak
menyebut malas-- tak jarang saya hanya melakukan kerja copy-paste dari sumber mana suka untuk memenuhi tenggat pekerjaan.
Berita produk copy-paste itu tersebar
luas dan nyatanya mendapat minimal viewer
mencapai angka puluhribu dalam hitungan jam. Viewer terkonversi menjadi Dollar.
Dollar diperoleh Bos saya. Saya puas hanya dengan recehan.
Situs itu memakai nama dan design meyakinkan hingga tampil layaknya
portal berita profesional. Siapa saja 'jurnalis' situs dotcom itu? Saya juga tidak
tahu. Maaf, saya menjadi buruh ketika benar-benar kepepet. Bos saya tiap bulan
bisa saja ganti-ganti. Seringnya, kami jarang kenal atau bertatap muka. Jika
relasi dengan Bos saja begitu, apalagi antar buruhnya --yang saya tak tahu
kualitas mereka; mungkin lebih baik atau lebih buruk dari saya. Pertanyaan
akhirnya, kenapa saya mau melakukan pekerjaan semacam itu? Dalam hal ini,
kembali saya menjawab ringan,”Apa anda yakin bahwa yang saya ceritakan itu
memang benar saya pribadi atau saya hanya sekadar menarasikan?”. Itulah absurditas
dunia dalam jejaring.
Kovach dan
Rosenstiel dalam Sembilan Elemen
Jurnalisme (2001) memaparkan sembilan unsur yang menjadi keabsahan laporan
jurnalistik. Hal pertama dan utama yang selalu menjadi perdebatan adalah
perihal kebenaran. Dalam setiap isu, masyarakat akan selalu bertanya : Kebenaran
yang mana? Kebenaran menurut siapa? Bukankah tiap-tiap agama, ideologi atau
filsafat pemikiran punya dasar perihal kebenaran yang tidak sama identik sama
satu dengan yang lain?
Kebenaran
jurnalisme media menurut Kovach adalah apa yang disebut sebagai kebenaran
fungsional, yakni tentang prosedur dan proses. Kebenaran dalam jurnalisme
adalah terlaksananya teknik penggalian informasi serta disiplin verifikasi. Jamak
dalam semua profesi, sebenarnya memberlakukan kebenaran sejenis. Polisi, hakim,
guru, pemimpin perusahaan adalah para justifier
kebenaran fungsional. Kebenaran dalam jurnalisme bukanlah kebenaran secara
hakikat, filsafati, namun sebatas kebutuhan seseorang kepada informasi yang
faktual dan aktual.
Problematikanya adalah, jika projournalism (jurnalisme profesional)
bekerja berdasar sembilan iman jurnalistik Bill Kovach, yang masih sangat
memperhatikan kebenaran fungsional, lalu dengan apa situs-situs dotcom tersebut
bekerja? Seven Deadly Sins.
Lukas Luwarso dalam buku Pelanggaran Etika Pers (2007) menyebut
ketujuh dosa besar itu adalah : Penyimpangan informasi, dramatisasi fakta,
serangan privasi, pembunuhan karakter, eksploitasi seks, meracuni pikiran anak
dan penyalahgunaan kekuasaan. Sayangnya, tujuh dosa besar itulah yang memiliki
lahan Dollar di Indonesia. Situs-situs dengan topik seks, hiburan dan
kecantikan tercatat paling banyak diakses dalam negeri darurat karakter ini.
Seven Deadly Sins adalah iman para bos peternak dotcom (yang kadang tak malu
menyebut diri melakukan kerja citizen
journalism). Berdasarkan iman seven
deadly sins, situs-situs itu dapat mengelola ratusan domain per hari hanya
dengan memainkan kata kunci untuk menyusun artikel hingga jebakan-jebakan pada
level judul. Mereka sangat paham budaya masyarakat yang gemar bergosip dan
anehnya kehidupannya menjadi sangat dinamis berkat gosip. Mereka sangat paham
bahwa hari ini banyak orang justru ingin menunjukkan bahwa saya tahu lebih
dulu, saya tahu lebih cepat, dan saya tahu lebih banyak. Maka,
berlomba-lombalah orang mengumpulkan berita, berkomentar, menyebarluaskan
kejadian atau informasi lewat media digital yang tidak dikekang-kekang, tidak
disunting-sunting, tidak dikontrol oleh pemilik media.
Hiperrealitas
dunia maya membuat manusia menjadi asing dengan dirinya dan dunia sekitarnya.
Yasraf Amir Pilliang (2011) menyebut hiperrealitas sebagai sebuah kondisi
terhadap matinya realitas, yaitu diambilnya posisi realitas itu oleh apa yang
sebelumnya disebut nonrealitas. Ia mewujudkan dirinya menjadi realitas
artifisial yang bersifat faktual, lewat kemampuan sains dan teknologi seni dan
citra. Ia adalah sebuah kondisi yang di dalamnya prinsip-prinsip realitas telah
dilampaui dan diambil alih oleh substitusi yang tercipta secara artifisial lewat
sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akibatnya, banyak orang mati-matian
membela antau menyebar fitnah dan caci maki pada Nabi-Nabi baru dalam dunia
jejaring, dengan kerelaan, tanpa memperoleh sanjungan apalagi imbalan.
Selamat datang pada mazhab berita
dimana orang merasa bebas untuk menyampaikan apa yang saya ingin sampaikan
tanpa rasa was-was, tanpa rasa malu ataupun bersalah. Toh, kalau kemudian
ternyata apa yang diwartakan tak sesuai
kenyataan, itu adalah hal gampang, tinggal koreksi dan buat saja berita baru.
Untuk situs detikan, hal tersebut adalah lahan subur bagi Dollar.
Ditulis oleh Kalis Mardi Asih
Lembaga Pers Mahasiswa Islam, HMI Cabang Surakarta