Cerpen Kalis Mardi Asih
Aku suka
tubuhmu yang kurus kecil. Nampak ringkih dan penyakitan, padahal kau pasti tak
pernah sampai kelaparan. Walaupun kau juga merokok seperti kami, kebutuhan
gizimu pastilah sangat tercukupi. Aku juga menyukai gelak tawa yang cair di
tengah-tengah ritual mendongengmu di sekolah terminal tiap dua kali seminggu.
Kalau boleh memohon pada Tuhan, sejak kedatanganmu, rasa-rasanya aku ingin
semua hari berubah menjadi Rabu dan Sabtu, hari ketika kau terjadwal datang ke markas
kami -sebuah ruang bekas pencatatan administrasi di belakang terminal kota
Depok- agar aku bebas memandangimu dalam waktu yang lebih dari lama.
Tidak hanya
aku yang menyukaimu. Hampir semua anak yang biasa mangkal di belakang terminal
membicarakanmu pada hari-hari senggang ketika kami menghitung uang hasil
mengamen sambil istirahat untuk sekadar minum bir oplosan dan menghisap uap lem aibon.
Menurut pendapat mereka, Kak Abdi adalah teman baik yang tidak perlu dicurigai
dan dilawan seperti para mahasiswa pengajar sekolah terminal yang lain. Kak
Abdi sangat berbeda, tidak seperti gerombolan orang-orang suci yang tiba-tiba
sering datang ke tempat kami dan memberikan ceramah tentang halal-haram, surga-neraka,
dan juga baik-buruk. Benturkan saja khotbah-khotbah khayal itu ke jidat kami
dan jangan harap sampai masuk ke kepala apalagi berharap kami percaya.
Dua bulan
lalu, sekolah terminal yang katanya program mahasiswa kampus ternama berjaket
almamater kuning cerah itu mendapat persetujuan Ustadz Khomeini, imam masjid
terminal yang rajin adzan lima kali sehari dan lebih sering sholat sendirian
karena sepertinya tak ada orang yang ingin pergi menjadi makmumnya. Terminal tetap hiruk pikuk diantara teriakan
dan makian, kepulan asap bis, angkutan umum, derit klakson mobil, motor dan
asap rokok. Bau-bau keringat para sopir, kondektur, pegawai dinas perhubungan, tukang
parkir, pedagang asongan, pengamen, pengemis, mucikari dan lonte yang biasa mangkal di losmen-losmen belakang terminal
tertinggal di warung-warung makan, kendaraan, loket, tembok, kursi tunggu, dan
angin di terik siang yang membakar kulit.
Aku tidak
pernah tahu apa arti nama Sahara. Lagipula sampai hari ketika kau datang aku
juga tak menganggap penting arti dari sebuah nama. Aku hanya tahu bahwa namaku
Sahara. Memang sepertinya aku pernah dengar dari pelajaran-pelajaran di sekolah
yang jarang kuperhatikan dengan sungguh-sungguh tentang sebuah gurun di Afrika
bernama Sahara. Tapi hanya kamu yang bilang kalau barangkali orangtuaku
menginginkan aku punya hati yang luas seperti luasnya gurun sahara.
Hati yang
luas? Ah, siapa peduli? Tidak sekalipun ibu atau bapak. Ibu hanya seorang buruh
cuci berbadan ringkih yang suka menangis ketika bapak pulang ke rumah. Kurasa
ia istri yang kurang beruntung dan sangat aneh karena tak pernah mengharapkan
suaminya pulang. Bapakku adalah seorang kondektur bis antar kota yang jarang
pulang. Barangkali karena manjurnya doa-doa ibu. Tapi semanjur-manjurnya doa
ibu, tetap saja sekali waktu bapak pulang. Bapak selalu pulang dengan membawa
perempuan muda yang badannya tidak ringkih seperti Ibu. Lalu ibu akan menangis
lagi. Dan aku tidak peduli.
Kata orang,
aku adalah anak bajingan. Kaupun juga bilang begitu. Sesuai usul Bonek, ketua
geng anak terminal, kami harus menceritakan semua aktivitas yang biasa kami
lakukan dengan jujur agar para mahasiswa yang membosankan itu tidak betah dan
tidak datang-datang lagi ke tempat kami. Bukankah program para manusia
terpelajar yang sudah-sudah juga begitu? Paling-paling hanya kuat paling lama
sebulan, mereka sudah tidak berminat “berkawan” dengan kami lagi seperti yang
mereka ucapkan di awal pertemuan.
Biasanya Bonek
akan bercerita dengan mantap kalau ia biasa membayar duapuluh ribu rupiah agar
bisa “dipijit” Tante Rina di losmen belakang terminal. Riko dan Deri akan
bercerita disertai tawa yang menggelegak mengingat pengalaman-pengalaman mereka
ketika saling memuaskan hasrat satu sama lain karena penghasilannya habis untuk
biaya sekolah adik-adiknya yang masih belajar di Sekolah Dasar. Puluhan anak
yang lain juga akan menceritakan hobi mereka kabur dari sekolah, memukuli teman
sekolahnya yang sok kuasa mentang-mentang kaya, dan yang paling banyak tentunya
tentang cerita-cerita menyedihkan mengapa mereka putus sekolah.
Aku yang katamu berhati luas ini, sudah
bergabung bersama geng Bonek untuk mengamen sejak usia sembilan tahun. Selain
mengamen, aku juga sering datang ke losmen untuk memijit. Aku kerap mengamen
dengan pakaian seksi, sebab seringkali ada om-om yang kemudian menawarku dan
kemudian minta dipijit di losmen. Hasilnya lumayan. Aku tidak perlu lagi minta
uang untuk bayar sekolah pada Ibu.
Tapi ketika berdekatan denganmu, rasanya aku
ingin yang lebih dari itu. Aku merasa aman ketika tempo hari kau mengelus
rambutku. Ada getar yang tak biasa, yang ingin sekali aku raih dan aku bungkam
dalam waktu. Entah apa.
Tempat kami
mengamen dibagi-bagi oleh Emon, lelaki seumuran ayah yang suka berbuat jahat
pada beberapa anak laki-laki. Seperti ayah, Emon suka memukul jika hasil
mengamen kami tidak terlalu banyak. Emon adalah satu-satunya alasan kami ikut
kegiatan-kegiatan membosankan semacam sekolah terminal karena kami punya alasan
jika pendapatan kami berkurang. Emon tidak akan berani berhadapan dengan Ustadz
Khomeini. Ia berkali-kali dilaporkan ke polisi oleh Pak Ustadz. Tapi ia selalu
saja bisa kembali menemukan markas kami setelah keluar dari penjara.
Anak-anak
orang kaya yang suka memakai baju dan barang-barang bagus itu mengajar matematika tiap hari Rabu dan
bahasa inggris tiap hari Sabtu. Mereka bilang dua pelajaran itu penting agar
kami bisa menjadi orang sukses. Padahal kami tidak pernah ingin jadi orang
sukses. Oh, sebenarnya kami tidak tahu arti sukses itu apa. Barangkali, orang
sukses itu adalah yang seperti mereka. Kalau benar begitu, aku dan geng anak
terminal tidak ingin jadi sukses. Kami hanya ingin terus sama-sama. Minum bir,
ngelem sambil sesekali mengendorkan otot-otot bareng tukang pijit di losmen
kalau ada uang hasil ngamen yang tersisa. Yang penting kami aman dari jeritan
dan makian yang ada di rumah. Aku juga aman dari ibu yang suka menangis dan
bapak yang suka memukul ibu.
“Kemarin malam
Kak Abdi datang ke Margonda. Dia ikut kita nongkrong sampai pagi.” Riko
bercerita sambil mengepulkan asap rokoknya ke udara kota yang pengap.
“Kak Abdi ikut
kalian ngelem? Atau ikut kalian ke losmen buat main-main sama Tante Rina?” Aku
bertanya dengan mata sedikit terbelalak. Kaget.
“Enggak lah.
Kita cuma minum-minum sedikit. Kak Abdi cuma ngeliatin kita sambil ngerokok dan
cerita-cerita sampai ketiduran disana.” Jawab Bonek dengan gerak kepalanya yang
khas, sepertinya ada sarafnya yang sudah putus karena kebanyakan ngobat.
“Kak Abdi
baik, Har,” Deri menyahut setelah menghabiskan seplastik es teh, ”Dia bilang
nggak apa-apa kita kayak gini. Tapi kata Kak Abdi, kita tetep harus inget kalau
Tuhan masih peduli sama kita.”
“Peduli?
Buktinya?” Aku menginterupsi kalimatnya. Hatiku selalu berdebar-debar tiap nama
Abdi disebut.
“Ya kalau
nggak peduli, kita nggak akan bisa seneng bareng-bareng kayak gini. Kita masih
dikasih banyak temen baik. Masih dikasih duit buat mabok, buat ngelem, buat
minta jatah Tante Rina…Kata Kak Abdi itu karena Tuhan yang Maha Baik.”
Ya. Aku tentu
juga masih ingat. Suatu sore Kak Abdi menatapku lekat sambil berujar,”Hara,
jika hidup mengharuskan kalian jadi bajingan, kalian harus jadi bajingan yang
tetap punya cinta di hati. Bajingan yang nggak akan pernah memukul Ibu.
Bajingan yang nggak menyusahkan hidup orang lain. Bajingan yang nggak membunuh…”
Aku adalah bajingan yang punya cinta di
hati. Cinta untukmu, Kak Abdi.
Kau tidak
lebih tampan dari teman-temanmu yang lain, para cendekia yang suka ha-ha-hi-hi
setelah mengajar seolah-olah kami adalah anak TK yang gampang dibohongi untuk
perintah menyanyi dan menari. Tapi matamu elang, senyummu sangat purba dan aku
terhempas tanpa daya di pusarannya. Berkat kau, teman-temanku tidak terlalu
melawan lagi pada para manusia terpelajar itu, mereka malah semakin bersemangat
datang tiap hari Rabu dan Sabtu. Lucunya, mereka hanya mau berkumpul jika kau
datang. Kau akan mulai mendongeng hal-hal lucu tentang Tuhan, menceritakan
pengalamanmu hari itu, menyanyi dan memetik gitar dengan tiba-tiba, serta
kadang-kadang berdiri untuk berlagak seperti artis sinetron yang memainkan
peran. Mereka mendengarkanmu dengan senang, tapi mereka tidak mau belajar
matematika ataupun bahasa inggris.
Pada satu hari
Sabtu ketika kau pamit pulang dari terminal, aku pernah membuntutimu dengan
menyambar motor Bang Mamat, tukang ojek terminal. Kau menuju ke arah kampus dan
memarkir motormu di pelataran gedung bertuliskan Fakultas Ilmu Budaya. Kau
melangkah cepat sekali masuk ke gedung itu hingga aku tak kuasa mengejar
sosokmu. Lagipula, dengan penampilanku yang beda kelas dengan manusia-manusia
kuliahan sebangsamu, aku tak punya cukup nyali.
Aku menikmati semua hal yang kau buat. Kurasa
inilah yang disebut jatuh cinta.
Hari Rabu pada
pekan yang ke sepuluh, akhirnya aku sudah tidak tahan lagi. Hari itu semua yang
kulihat di terminal hanyalah bunga dan kupu-kupu beraneka warna. Udara sesak
yang menguar berubah menjadi embun subuh hari yang menenangkan. Aku ingin
sekali kau tahu perasaanku. Kalau saja bisa, biarkan aku lahir sekali lagi menjadi
bunga. Yang kuncup, mekar, layu dan membusuk, pada dahan yang satu. Padamu. Kalau Tuhan memang Pemurah,
aku ingin dia memberiku kesempatan. Kali ini saja.
Aku memakai
pakaian terbaikku untuk pergi ke sekolah terminal. Aku juga memoles wajahku
dengan sedikit foundation dan bedak.
Penampilanku makin sempurna dengan memakai kaos ketat berwarna merah dan rok jins selutut andalanku. Kuharap kau akan
tertarik dan mimpi-mimpi tentangmu yang telah menghantui selama dua bulan ini
akan menjadi kenyataan.
Tapi,
sepertinya harapanku tersangkut pada pilar-pilar tembok terminal yang sering
membuat sinyal televisi rumah kami jadi buruk. Sore itu, Kak Abdi tak hadir
mengajar. Hanya ada rombongan pengajar matematika dan bahasa inggris yang tak
kami sukai. Demikian seterusnya pada pekan ke sebelas, ke dua belas dan
seterusnya, hingga geng anak terminal tidak ada lagi satupun yang mau hadir
untuk belajar pada hari Rabu dan Sabtu.
“Mereka memang
brengsek, Hara! Aku dengar sendiri percakapan mereka. Mereka sepakat Kak Abdi
nggak akan diundang buat ngajar lagi ke terminal.” Bonek kelihatan begitu
gusar. Entah sudah berapa botol bir yang ia tenggak habis.
“Mereka bilang
Kak Abdi ngajarin hal-hal buruk ke kita.” Deri berkata lirih sambil menghisap
batang rokoknya dalam-dalam. Dari matanya yang memerah, ia nampak sangat
kehilangan sosok seorang kakak yang selama ini ia dambakan.
Aku sendiri
sudah tak kuasa berkata-kata. Maka kutinggalkan teman-temanku itu menikmati
kekecewaan atas sebuah rasa percaya yang lagi-lagi dikhianati oleh seperangkat
aturan baik-buruk orang-orang suci.
Aku selalu
menunggumu di halte kampus depan gedung Fakultas Ilmu Budaya. Aku masih
mengamen, tapi aku sudah tidak lagi melayani sopir dan kondektur terminal yang
minta dipijit dan kemudian selalu menggagahiku hingga aku kelelahan. Untuk
menggantinya, aku kini berjualan koran. Hasilnya lumayan. Anak-anak orang kaya
yang belajar di gedung yang sama denganmu sering membeli koranku hingga habis
Aku masih
menunggumu dengan harapan yang sama untuk menjadi bunga yang kembang pada
dahanmu. Aku percaya kata-katamu, Tuhan pasti mendengar. Tugas kita hanya harus
percaya sambil mengisi hati dengan banyak cinta. Aku meyakini pesanmu, meski
hingga hari ini kau belum juga kulihat lagi.
Hingga suatu
pagi yang bukan Rabu atau Sabtu, aku melihat nama dan fotomu di salah satu
koran lokal yang kujajakan. Di foto itu kau tampak sumringah mendapat ucapan
selamat dari rektor kampusmu karena mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah
di Perancis.
Jalanan Depok semakin
bengkak.
Udara semakin
mampat.
Mataku berair.
Puisi-puisi
perlahan meninggalkanku.
Tapi aku masih
menyukai tubuh kecil, mata elang serta senyummu yang purba, Abdi Negara. Geng
anak terminal telah berikrar untuk menjadi insan bajingan penaka Tuhan.
Bajingan yang punya cinta. Dan aku menyimpan namamu hingga entah kapan kau
kembali kesini, di kampus ini.
*Cerpen ini dimuat dalam buku antologi "Botol-botol berisi senja" yang diterbitkan oleh Taman Budaya Jawa Tengah.