barangkali akhirnya setelah beberapa peristiwa, saya mengimani lontaran bijaksana dari Kal Al. Begini : kepekaan kita pada seseorang, jangan sampai membuat kita terluka? Loh, mengapa begitu? egoiskah kita sehingga menjadi orang yang tak mampu berkorban dan menderita? Bukan, sungguh bukan. karena telah kutemukan sendiri, semakin aku mencari dan mencari jawaban atas pertanyaan- pertanyaan di otakku yang tak terbendung jumlahnya, menimbulkan keresahan- keresahan yang membuatku tak enak tidur dan makan (sungguh, ini tak baik untuk anak- anakku kelak)... kita tak akan pernah mendapat suatu jawaban yang pasti. Aku mempertanyakan A, namun aku tak pernah menemukan jawaban A secara hakikat A, aku mendapat jawan atas A menurut B, C, dan D. Sehingga aku tak henti berfikir dan berfikir...
Lalu, inilah bentakan Kak Al : Befikirlah terus! dan lama- lama kau akan jadi orang yang anti agama lain, anti manusia, anti study, anti memikirkan kebenaran. Lalu, mau jadi apa aku ini nantinya?
Sungguh memang benar, keresahan- keresahan ini tak layak untuk menyakiti diriku sendiri, Barangkali, inilah sebabnya kita harus belajar hingga tuntas. Harus terus berfikir. Sebab sangat berbahaya jika keresahanmu terus bergulir namun proses belajarmu berhenti walau sejenak saja.
Wahai, aku kemudian menyimpulkan sesuatu. Akupun berhak untuk mencetuskan sebuah pemahaman atas sesuatu. Aku tak bisa terus menerus menyerah pada nilai 0. Aku menggunakan metode bab 2 pada penulisan karya tulis : A, B, C, D, E boleh berargumen. pada akhirnya aku harus meng-construct definisiku sendiri, dari pemahaman- pemahaman yang kudapatkan.
Namun, jika boleh memilih, aku ingin mengatakan padamu, Nak. Ibumu ini orang yang sangat frontal pada realitas- realitas setan opportunis, mungkin karena aku terlalu lama hidup bersama lumpur- lumpur kemiskinan. aku terlalu lama merumput pada ranah- ranah manusia yang menyengaja bodoh dan dibodohi, mengengaja miskin dan dimiskinkan. Jadi jangan salahkan aku jika menjadi manusia resah. Dan aku akan condong pada kutub- kutub manusia Idealis, yang memberi uluran tangan, bukan menyuarakan ayat suci. Aku mungkin tak peduli pada proporsi positif dan negatif. Aku ragu menjadi moderat atas kesepakatan pembagian jumlah positif dan negatif itu. Sebab aku tak tahu pasti, ketika aku menyepakati kepositifan, tetap akan tersembunyi tangisan- tangisan manusia yang dirampas hak- nya sebagai manusia.
Dan biarkan aku terus menjadi pengagum Rendra saja, yang mewarisi cara- cara fikir Rendra.