Mari kita gunakan subjek : mahasiswa
Yang menjadikan saya sebagai mahasiswa yang cukup optimis saat ini barangkali adalah kata- kata beliau, Akh Danang Ambar Prabowo, sewaktu mengisi STOPMAP (Studi Menuju Mahasiswa Berprestasi) sekitar dua tahun lalu. Beliau mengatakan seperti ini : “ mahasiswa kalau tingkat akhir itu kadang- kadang bukannya seneng ya, tapi makin pusing ( dua tahun lalu galau belum eksis). Pengennya sih lulus cepet, tapi pas lulus ternyata pusing nyari kerjaan. Tapi kalo saya punya solusinya. Kalo nanti pas kita wisuda terus disalamin seseorang dan orang itu nanya, “habis lulus mau kemana mas?” jawab aja, “aduh, ini yang saya bingung.. sudah tiga sampai empat perusahaan yang ngejar- ngejar nih, jadi bingung milih yang mana.”
Haha, dahulu saya tangkap itu sebagai obat optimis yang terpatri. Jawaban yang dilontarkan di atas saya rasa bukan sekedar pengalihan, tapi masuk ke jiwa saya sebagai motivasi. Ya, kalau lulus nanti, gue juga harus ada di level aman dong. Atau paling tidak ada pegangan, ada batu loncatan, begitu pemikiran seorang saya yang semester 1.
Kemudian beberapa hari yang lalu saya pulang ke rumah. Dan bertemu dengan beberapa kawan yang bukannya “tidak luar biasa”. Sebut saja, sesama mantan pejuang organisasi (aseeek), sesama idealis muda yang pernah menggembar- gemborkan “entrepreneur never ending”, “jiwa muda harus punya mimpi”, yah.. gampangnya, mereka yang bukan “mahasiswa biasa- biasa saja”. Tapi ternyata, saya jumpai mereka ini dalam keadaan “masa menanti pekerjaan terbaik” a.k.a “galau” a.k.a “agak bingung menentukan nasib”. Ada yang sedang menanti panggilan dari satu perusahaan, ada yang udah kerja seadanya dengan alibi : yang penting nggak nganggur, nanti deh kalo kamu lulus pasti merasakan, perang mencari pekerjaan sekarang sudah beda ama jaman dulu. Nah lho, sejenak saya tertampar : AKTIPIS tidak BERBANDING LURUS dengan SUKSES USIA MUDA.
Saya menemui satu lagi potret sahabat yang juga mahasiswa yang cukup unik, adalah Afnan (sebut nama biar orangnya tambah keren), menempuh masa SMA selama 4 taun karena nggak naek kelas pas kelas satu, sempet menempuh pendidikan di Prodi Dakwah Islam UIN Jogjakarta selama setaun dan keluar dengan alasan nggak kuat kalo disuruh belajar bahasa Arab, kemudian larilah beliau ke UPN Jogja dengan status KTM mahasiswa Angkatan 2008 program studi ilmu komunikasi. Menyimak afnan ini barangkali adalah potret pemuda Indonesia yang jumlahnya juga tidak sedikit.
Kata Afnan, kalo boleh putus kuliah, aku lebih milih putus kuliah dah. Kuliah juga nggak jamin orang jadi sukses (konteksnya kayaknya sukses materi), aku males kuliah tapi serius bisnis jual beli mobil, sekali transaksi 30 juta di tangan. Mereka ( nunjuk mereka tadi) ternyata abis lulus juga bingung kan nyari kerjaan?
Analisis Afnan, mahasiswa sepinter apapun nggak punya jaringan dan pengalaman itu bahaya buat masa depannya. Tapi mahasiswa gebleg di kelas dengan jaringan dan pengalaman yang kuat, kata afnan “lebih meyakinkan masa depannya”. Dan guys, afnan ini walaupun saya yakin nggak pernah nulis PKM-K atau PMW, tapi ide- ide bisnisnya luar biasa dan nyata cuy. Dia cerita tentang analisis bisnis nasi pecel di Jogja, lengkap cerita tentang hasil survey tempat, bahan baku, dan tinjauan ekonomisnya secara detail, juga visualisasi keberlanjutan usaha yang sangat menarik.
Saya : sedikit mengiyakan afnan di bagian jaringan dan pengalaman.
Dunia perekonomian kini memang tidak lagi dunia barat. Sudah pidah tangan ke kaum- kaum KOMUNIS kapitalis, dan kata afnan yang pengalaman, transaksi dengan kaum komunis itu membutuhkan keahlian yang lebih canggih.
Deskripsi dua situasi mahasiswa diatas memang nyata terjadi di sekitar kita. Pun kita nggak pernah tahu motivasi afnan untuk menjadi wirausaha itu disebabkan karena emang cita- cita utama atau sekedar pelarian karena “kuliah bikin mumet”. Pun ketika jadi pelarian, positif juga sih ketika dia memang sukses, daripada mahasiswa- mahasiswa yang sering bolos dan kerjanya cuman minta tambahan jatah di tengah bulan berjalan. Afnan ini, walaupun sekolahnya lama, tapi dia nggak menyesal karena dia bisa membiayai kuliahnya sendiri. Yang dia sesalkan adalah kenapa ada SK rektor paling baru tentang masa studi maksimal mahasiswa adalah 14 semester. Hahaha.
Sementara, Para mahasiswa yang super luar biasa tetap pada prinsipnya yang ia dapatkan dari lingkungan dan teori yang saat ini ia percaya.
Mereka sebagian, ada yang menjawab : makanya, bikin lapangan pekerjaan dong, jangan mencari pekerjaan! Katanya mahasiswa? (lalu dijawab oleh si pencari kerja : semuanya butuh proses cuy, later on, cita- cita itu pasti akan berusaha kami raih, ini kita bikin orang tua tenang dulu dengan status anaknya yang udah wisuda dan akhirnya “dapat kerja”. Sukur- sukur di perusahaan yang bonafit)
Mereka sebagian ada yang menjawab : iya nih, nggak tau juga nanti gimana. Kita sih percaya aja ya, siapa menanam pasti akan memetik ( lalu ada yang menjawab : masalahnya udah jelas belum cuy lo sekarang lagi nanem apaan? Jangan- jangan lo berasa aktipis yang sibuk and capek, tapi lupa ama visi misi yang seharusnya terdefinisi secara jelas)
Sebagian dari mereka ada yang mengatakan : belajar yang rajin, lulus dengan nilai yang baik, berjuang mencari kerja dengan ikhtiar terbaik, insyaallah ada jalan. (lalu ada yang menjawab : tinggian kenapa targetnya?!)
Kemudian para aktivis kampus yang akrab dengan kata jaringan, wirausaha, kajian keilmuan, dan kekuatan mimpi dan tawakkal masih OPTIMIS dan memandang masa depan yang akan datang cukup cerah untuknya J (amiiiin)
#kemudian ada yang pura- pura mati
#kemudian ada yang sembunyi di kolong meja
#kemudian ada yang sholat hajat
#kemudian speechless