Negara Indonesia memang unik. Bukan menyoal tentang kekayaan budaya adat yang tidak perlu diragukan lagi, namun juga tentang beberapa “paradigma kuno” yang mengakar dan menyatu dalam jiwa bangsa sehingga menjadi identitas dan karakter. Cerita tentang keburukan birokrasi dan prestasi korupsi kita itu biasa. Tetapi yang menjadi menarik adalah membicarakan karakter Indonesia dari sudut pandang yang lain. Bukan melulu menyudutkan tentang birokrasi Pemerintah, tetapi mencoba menyingkap sebagian fakta masyarakat kita.
Masih hangat di ingatan, betapa ironi yang terjadi di Gelora Bung Karno Selasa malam (6/9) lalu sungguh amat mencoreng muka negeri ini. Pertandingan laga pra kualifikasi piala dunia antara Indonesia melawan Bahrain terpaksa dihentikan di menit ke tujuhpuluhlima di depan mata Menpora Andi Mallarangeng dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Keputusan memalukan tersebut diambil menindaklanjuti peringatan Pengawas FIFA dan AFC tentang kondisi pendukung Timnas Indonesia tidak digubris. Pendukung timnas Indonesia dianggap rusuh karena menyalakan petasan dan kembang api yang suaranya dianggap cukup mengganggu jalannya pertandingan. Setelah diingatkan beberapa kali dan tidak ada perubahan, akhirnya lahirlah keputusan yang berbuah masuknya Timnas Bahrain ke kamar ganti karena pertandingan dihentikan selama kurang lebih 20 menit untuk diplomasi.
Prestasi pendukung sepakbola yang buruk memang bukan pertama kalinya dibahas. Namun jika hal tersebut terjadi berulang- ulang hingga merugikan Timnas Indonesia maka kita wajib mempertanyakan apakah mereka datang ke lapangan pertandingan benar- benar untuk mendukung tim yang didukungnya atas nama nasionalisme atau munkin hanya karena euforia semu komunitas belaka? Apakah sebagai supporter kita benar- benar memberikan dukungan, motivasi dan api untuk menang kepada Timnas kita atau justru kita malah memperlebar luka mereka? Sebuah renungan yang patut untuk dijawab dalam diri masing- masing kita.
Dalam tulisan ini, saya ingin bercerita tentang salah satu komunitas supporter sepakbola paling loyal di negeri ini. Dalam suatu pertandingan, ternyata tim kesayangan mereka kalah. Toh, mereka pulang meninggalkan lapangan pertandingan tetap dengan heboh memainkan alat perkusi, berdiri diatas motor dengan memutar syal kebanggaan simbol komunitas mereka, lalu memadati jalanan dengan ugal- ugalan tanpa memperhatikan rambu lalu lintas. Jika sudah begini, apa mereka benar- benar berangkat atas nama nasionalisme? Sementara, pengguna jalan yang lain dengan sabar menunggu barisan mereka hingga habis daripada membahayakan diri sendiri jikalau melawan arus lalu lintas. Kesabaran itu sebenarnya hanya sebuah ekstase keterpaksaan atas budaya buruk “pengkultusan komunitas” yang dianggap besar.
Budaya Protes
Beralih dari cerita tentang pendukung Timnas sepakbola Indonesia, penulis juga ingin menghadirkan fakta lain. Isu sosial kemasyarakatan tentang operasi yustisi misalnya. Operasi identitas yang terpaksa dilakukan di beberapa kota besar sebab fenomena urban yang tidak terbendung jumlahnya memadati ibukota. Dalam konteks reportase, biasanya Pemerintah yang terus disudutkan akibat tidak berhasil menciptakan lapangan pekerjaan yang cukup di daerah. Padahal jika kita telusuri lebih jauh, Pemerintah dari tahun ke tahun telah berusaha menghasilkan regulasi kesejahteraan ekonomi, tentang Otonomi Daerah (OtDa) misalnya. Hanya saja paradigma kuno tentang kemilau ibukota telah menyilaukan mata para pencari kerja dari daerah.
Datang dengan tanpa bekal keahlian bahkan tanpa tujuan, kemudian menjadi benalu ibukota. Maraknya tindak kriminalitas, menjamurnya para pengamen, pengemis, gelandangan serta PSK, semakin menambah beban Pemerintah. Jika sudah begitu, maka yang dimintai pertanggungjawaban sepenuhnya adalah pemerintah. Bukan mereka yang melakukan aksi pembangkangan dan menambah beban negara. Ya, Paradigma kuno yang telah mengakar dalam jiwa bangsa ini adalah paradigma protes. Pernyataan Guru Besar bangsa yakni Sukarno tentang “jangan tanya apa yang telah negara berikan padamu, tapi tanyalah apa yang telah kau berikan untuk negara ini” nampaknya hanya isapan jempol belaka.
Cerita tentang negeri ini juga kurang lengkap tanpa fakta dari dunia pendidikan kita. Hingga saat ini, dunia pendidikan dianggap belum stabil karena tujuan yang tidak terpetakan dengan baik, sistem uji kualitas yang carut marut hingga pembangunan pemenuhan kebutuhan infrastruktur yang tersendat- sendat. Dari tahun ke tahun, isu Ujian Nasional misalnya, tidak kunjung selesai dan menyalahkan Pemerintah. Di sisi lain, faktanya Pemerintah juga tidak tinggal diam. Mereka telah terus menerus melakukan pembenahan seperti peningkatan kesejahteraan guru melalui sertifikasi, sistem ujian ulang serta memacu akselerasi pendidikan melalui program Sekolah berstandar Nasional bahkan Internasional.
Tetapi dapat kita lihat apa yang terjadi di masyarakat. Sebagai agen pendidikan, siswa maupun guru telah terbiasa dengan menyontek dan korupsi. Menyontek berjamaah telah menjadi kesepakatan rutin antara guru dan siswa setiap tahunnya. Proyek jual beli syarat sertifikasi guru juga bukan berita baru. Semua dilakukan agar mendapat materi yang dijanjikan Pemerintah dengan instan. Padahal maksud Pemerintah adalah agar kualitas guru dalam mengajar semakin baik dan termotivasi. Jika begini, siapa yang patut salah dan menyalahkan. Budaya menyudutkan Pemerintah, tapi kita justru tidak pernah sadar dan meraba diri kita sendiri apakah kita termasuk agen yang memperburuk kondisi negeri ini serta menambah beban anggaran Pemerintah.
Banyak cerita lain yang dapat kita jadikan bahan renungan tentang posisi kita sebagai rakyat yang mendapat hak perlindungan dari negeri ini sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Jika negara telah banyak memberikan rasa tenteram dan hingga hari ini kita masih bisa hidup nyaman diatas negeri subur kaya raya, hendaknya kita menengok dalam diri kita, apa yang telah kita perbuat setidaknya untuk menjaga negeri ini saja, bukan semakin memperburuk kondisinya. Kita mungkin dapat menggunakan istilah 3 M dari da’i kondang K.H Abdullah Gymnastiar. Mulailah berbenah dari diri sendiri tanpa menunggu inisiatif orang lain. Misalnya sekedar untuk membuang sampah pada tempatnya atau memungut sampah yang tergeletak di jalanan. Mulailah dari hal- hal kecil seperti mematikan lampu kamar kita sehingga tidak menambah beban pengeluaran energi negeri ini, atau menjaga kesehatan kita dengan sarapan sehingga tanpa sadar kita akan menghemat anggaran layanan kesehatan publik bagi negara ini. Dan mulailah sekarang juga. Jika kita tak mampu berkontribusi, setidaknya jadilah rakyat yang baik dengan tidak menjadi benalu dan menambah keruwetan negara ini.
Terakhir, kembali untuk memberikan dukungan terbaik kepada Timnas sepakbola kita, penulis berharap agar Timnas mampu menjadi Kaka Slank yang dapat membentuk solid fans ala Slankers. Kita simak saja bendera slankers yang senantiasa berkibar di konser apapun di negeri ini sekalipun Grup Slank sedang tidak ada jadwal manggung. Semoga supporter sepakbola kita tetap solid dan berjiwa besar walaupun squad Garuda pulang dengan kata menang atau kalah. Maju terus, Garuda!