”Pendidikan itu tidak cuma untuk menciptakan anak pandai, tetapi juga harus membentuk warga yang berkarakter” (Nasution, 2010)
Beberapa hari lagi, pada tanggal 2 Mei nanti kita akan kembali memperingati Hari Pendidikan Nasional. Pada tahun- tahun lalu biasanya hari ini diwarnai dengan selebrasi meriah berupa lomba- lomba di bidang pendidikan seperti lomba siswa teladan, lomba guru teladan dan lain sebagainya. Bertolak dari kegiatan tahunan tersebut, ada baiknya kita menilik sejarah dari Hari Pendidikan Nasional itu sendiri di masa lalu. Bahwa tanggal 2 Mei 1889 adalah tanggal lahir tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantoro. Beliau merupakan cikal bakal lahirnya sekolah taman siswa yang memiliki basis asah, asih, asuh dan motto ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani serta menjalankan pendidikan dengan sistem among. Lalu, adakah sistem pendidikan nasional kita masih menjunjung tinggi prinsip- prinsip kearifan tersebut? Ataukah tut wuri handayani pada masa sekarang hanya menjadi slogan?
Sistem pendidikan nasional Indonesia telah mengindikasikan peluang terciptanya kesenjangan sosial yang semakin melebar. Acuan sistem pendidikan nasional adalah Negara- Negara maju, terutama yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development ( OECD). Acuan ini menyebabkan berbagai macam komersialisasi pendidikan yang Nampak jelas kita amati kini. Biaya pendidikan yang semakin mahal serta status sekolah mulai dari sekolah dengan pelayanan minimal hingga sekolah berstandard nasional semakin membuat jalan kesenjangan melebar. Pasalnya, masyarakat ekonomi atas akan berbuat apa saja agar anaknya mendapatkan pendidikan yang terbaik. Namun, perspektif pendidikan seperti apakah yang dimaksud? Padahal,tujuan pendidikan nasional yang termaktub dalam Undang- Undang telah jelas, yakni membentuk masyarakat yang cerdas, berkeadilan, serta berkarakter keindonesiaan.
Pendidikan yang hanya bermain pada ranah kognitif memforsir otak sebagai mesin tunggal yang harus dipekerjakan namun melupakan prinsip- prinsip paling dasar pada moral value. Akibatnya banyak kita lihat dalam berita harian televise tentang pelajar atau mahasiswa yang di usia dini telah melakukan berbagai aksi kriminalitas, seks bebas, narkotika dan perkara lain yang melanggar hukum.
Banyak pendapat yang berhembus, terutama dari para penggiat sastra dalam negeri sendiri, bahwa hal itu disebabkan pendidikan sekarang yang mengabaikan pembelajaran sastra. Menurut telaah penulis, hal ini dapat dibenarkan. Sastra ikut mempengaruhi pembentukan karakter siswa lewat karakter- karakter keindonesiaan yang ditanamkan dalam proses yang natural. Pada zaman penjajahan Belanda, setiap siswa harus membaca 25 buku sastra setiap tahun. Tetapi pada zaman sekarang, belum tentu siswa membaca satu buku sastra dalam setahun.
Karya sastra Indonesia adalah segenap cipta sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia , disertai adanya nafas dan ruh keindonesiaan, serta mengandung aspirasi dan kultur Indonesia ( Mujiyanto, 2010 : 1). Dengan membaca karya sastra Indonesia dari berbagai periodesasinya, secara tidak langsung siswa mempelajari bab nasionalisme melalui deskripsi kisah dan latar tempat yang disajikan para sastrawan dengan indah. Bukan mempelajari nasionalisme secara teoritis, menghafal secara sistematis tentag definisi dan jenis pada saat ulangan saja.
Dari makna kebahasaan, sastra juga erat kaitannya dengan dunia pendidikan. Sastra berasal dari bahasa sansekerta “castra” yang artinya belajar, pembelajaran. Sastra bersifat memanusiakan manusia karena meninjau suatu kajian terhadap sesuatu secara menyeluruh, wujud sastra dalam karya sastra adalah dulce et utile yang artinya berguna dan menyenangkan. Melalui makna ini, jelas bahwa sastra berbicara lebih dari sekedar teori. Pun, setiap proses penciptaan karya sastra itu sendiri tidak lepas dari unsur intrinsik berupa amanat yang menyatu dalam karya.
Problematikanya adalah mengapa sastra dalam kurikulum yang harusnya menjadi bahan penyegaran otak siswa, ibarat kerupuk yang bersifat renyah tetapi terasa kurang jika tidak kita temui keberadaannya dalam makanan, justru menjadi momok bagi siswa. Jawabannya adalah tentu saja terjadi kesalahpahaman pada pendidik dalam hal pembinaan apresiasi sastra. Penyair, sastrawan sekaligus Dosen pada FKIP UNS program studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Yant Mujiyanto mengungkapkan dalam bukunya Sejarah Sastra Indonesia bahwa pembinaan apresiasi sastra bukanlah sesuatu yang bersifat kognitif, informatif dan ilmiah, melainkan bersifat intuitif, afektif, estetis dan kreatif. Lebih lanjut, Yant menjelaskan bahwa mengajarkan sastra bukan berarti mengajarkan novel/ sanjak ini dikarang oleh sastrawan A, menganut aliran X dari angkatan sekian, tetapi lebih dari itu anak diharapkan mampu memahami kedalaman makna serta merasakan keindahannya.
Oleh karena begitu kompleks fakta yang memojokkan kehidupan sastra di lapangan, maka kita harus kembali merestrukturisasi keberadaan sastra di tengah- tengah dunia pendidikan. Mendalami arti puisi misalnya, sama sekali tidak pernah sayadapati di sekolah formal. Bahwa jika banyak guru sastra di sekolah yang alih- alih membuat siswa pandai bersyair tetapi ujungnya malah membuat siswa alergi terhadap syair itu sendiri, maka sekali lagi sastra harus melalui pendekatan yang berbeda. Sastra harus di dekati dengan santai, jenaka tapi intens. Guru harus mengajarkan betapa karya sastra begitu bermakna dalam setiap penulisannya.
Mengarang, menulis puisi, seharusnya dihadapi seperti berbicara. Ya, menulis puisi bisa dianggap sama dengan berbicara karena sama- sama memberdayakan fungsi bahasa. Ketika anak- anak belajar berbicara, mereka tidak pernah diharapkan pada teori atau seperangkat aturan yang memaksa. Anak- anak hanya belajar berbicara dan mengeja makna dalam lingkungan kecil yang akrab dan mudah memahami dia. Jika di analogikan dalam dunia penulisan misalnya, sastrawan pemula tidak perlu takut terhadap seperangkat aturan misalnya, ia hanya butuh menulis apa saja yang ada dalam imajinya. Hanya saja bedanya, ketika menulis kita bukan lagi berada di lingkungan kecil yang akrab. Kita berada pada lingkungan pembaca yang lebih luas, yang memiliki hak prerogative terhadap jutifikasinya sehingga pelan- pelan sastrawan harus mempelajari strategi dan tangkisan- tangkisan kecil yang diperlukan.
Menyikapi hal ini, penulis tidak bermaksud merendahkan teori- teori atau kutipan- kutipan ilniah namun justru berusaha memberikan pendekatan baru dalam edukasi sastrawi. Jika 25 tahun lalu Arswendo Atmowiloto sudah menerapkan jurus yang sama melalui buku Mengarang itu Gampang (Gramedia : Jakarta, 1982). Maka karya sastra lain seperti puisi pun sah- sah saja jika didekati dengan jalan yang sama.
Guru masa kini rasanya tidak perlu lagi berkamuflase sebagai ahli sastra jika ia tidak menguasai. Ia tidak penting lagi untuk menyuguhkan pembacaan puisi yang membuat siswa menjadi kaku karena metode pembelajaran modern telah memfasilitasi berbagai media seperti LCD, layar, dan laptop. Maka yang perlu dilakukan hanya mencari video tentang pembacaan puisi Rendra, video- video pembelajaran sastra dan biarkan biarkan siswa mengenal lebih dekat tentang Indonesia bersama para pujangganya, menyelam ke masa lalu, masa dimana sastra berada pada tingkat kejayaannya. Selanjutnya, biarkan mereka menjadi generasi sastra masa kini yang mengejawantah menjadi pejuang degradasi moral bangsa.
Sastra adalah keindahan, dan segala sesuatu yang indah selalu bersumber dari hati. Salam Pendidikan Nasional, Jayalah sastra Indonesia !